Rabu, 29 Mei 2013

KEBENARAN DAN KEARIFAN [2]


Bagian Kedua
Oleh Ngainun Naim


”Kita harus bersedia menerima kebenaran meskipun datang dari orang yang ”tidak mengesankan” bagi kita”—Nurcholish Madjid.

Dialog yang digelar sesungguhnya dilakukan dalam kerangka mencapai kebenaran. Ini hal penting yang harus disepakati terlebih dahulu agar dialog yang dilakukan—lewat dialog langsung ataupun tulisan—tidak terjatuh dalam saling hujat dan permusuhan.
Kebenaran yang dicari dalam dialog dalam realitasnya tidak harus disampaikan dengan lugas jika pada akhirnya memecah persatuan, membangun kebencian, dan menambah panjang daftar musuh. Apalah artinya membuka ruang dialog jika buntutnya justru merusak relasi antarmanusia.
Tujuan dialog adalah untuk membangun pemahaman dan saling pengertian, bukan untuk meraih kemenangan. Hal ini harus dipahami secara baik oleh pelaku dialog. Bagi mereka yang bertanya-tanya dalam dialog demi mencari kemenangan, maka menjawab pertanyaan tentu lebih sulit dari mengajukan pertanyaan. Padahal, pertanyaan sesungguhnya adalah langkah pertama yang mesti ditempuh agar sesuatu yang dipersoalkan memperlihatkan diri, dan itulah yang sulit. Mengajukan pertanyaan berarti membuka diri terhadap jawaban yang belum tentu. Pertanyaan yang benar adalah pertanyaan yang memiliki keterbukaan, tidak seperti pernyataan retoris atau pedagogis.
Namun demikian, keterbukaan pertanyaan bukan tak terbatas, karena batasnya adalah cakrawala pertanyaan itu sendiri. Jika pertanyaan tak terbatas, maka itu adalah pertanyaan mengambang. Pertanyaan yang benar memang memiliki arah kemungkinan jawaban yang tak bisa dipastikan terlebih dahulu, namun dia tetap punya alternatif spesifik. Dengan kata lain, setiap pertanyaan yang benar “mesti” ada jawabannya; bertanya berarti terbuka, tapi itu sekaligus juga berarti terbatas. 
Keterbukaan pertanyaan selalu mengandung penilaian positif maupun negatif (positive and negative judgment). Inilah relasi hakiki antara pengetahuan dan pertanyaan. Pengetahuan bukan saja berarti menilai sesuatu secara tepat, namun juga menyisihkan apa saja yang tidak tepat. Pertanyaan, dengan demikian, adalah jalan menuju pengetahuan. Sebab, pada hakikatnya pengetahuan adalah memandang dan menyelidiki apa yang kontra. Keutamaan pengetahuan daripada pendapat yang diamini begitu saja (doxa) terletak pada kemampuannya mencandra kemungkinan yang berlawanan, dan karena itulah pengetahuan sedari awal bersifat dialektis. Pengetahuan akan datang pada orang yang mau bertanya dan membuka diri pada antitesis berupa ya / tidak (Inyiak Ridwan Mudzier, Hermeneutika Filosofis Hans-Georg Gadamer (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2008), hlm. 158-159).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah berkenan membaca tulisan ini. Komentar anda sangat saya hargai.