Bagian Kedua
Oleh Ngainun Naim
”Kita harus bersedia menerima kebenaran meskipun datang dari orang yang
”tidak mengesankan” bagi kita”—Nurcholish Madjid.
Dialog yang digelar sesungguhnya dilakukan dalam kerangka mencapai
kebenaran. Ini hal penting yang harus disepakati terlebih dahulu agar dialog
yang dilakukan—lewat dialog langsung ataupun tulisan—tidak terjatuh dalam
saling hujat dan permusuhan.
Kebenaran yang dicari dalam dialog dalam realitasnya tidak harus
disampaikan dengan lugas jika pada akhirnya memecah persatuan, membangun kebencian,
dan menambah panjang daftar musuh. Apalah artinya membuka ruang dialog jika
buntutnya justru merusak relasi antarmanusia.
Tujuan dialog adalah untuk membangun
pemahaman dan saling pengertian, bukan untuk meraih kemenangan. Hal ini harus
dipahami secara baik oleh pelaku dialog. Bagi mereka yang bertanya-tanya dalam
dialog demi mencari kemenangan, maka menjawab pertanyaan tentu lebih sulit dari
mengajukan pertanyaan. Padahal, pertanyaan sesungguhnya adalah langkah pertama
yang mesti ditempuh agar sesuatu yang dipersoalkan memperlihatkan diri, dan
itulah yang sulit. Mengajukan pertanyaan berarti membuka diri terhadap jawaban
yang belum tentu. Pertanyaan yang benar adalah pertanyaan yang memiliki
keterbukaan, tidak seperti pernyataan retoris atau pedagogis.
Namun demikian, keterbukaan pertanyaan
bukan tak terbatas, karena batasnya adalah cakrawala pertanyaan itu sendiri.
Jika pertanyaan tak terbatas, maka itu adalah pertanyaan mengambang. Pertanyaan
yang benar memang memiliki arah kemungkinan jawaban yang tak bisa dipastikan
terlebih dahulu, namun dia tetap punya alternatif spesifik. Dengan kata lain,
setiap pertanyaan yang benar “mesti” ada jawabannya; bertanya berarti terbuka,
tapi itu sekaligus juga berarti terbatas.
Keterbukaan
pertanyaan selalu mengandung penilaian positif maupun negatif (positive and
negative judgment). Inilah relasi hakiki antara pengetahuan dan pertanyaan.
Pengetahuan bukan saja berarti menilai sesuatu secara tepat, namun juga
menyisihkan apa saja yang tidak tepat. Pertanyaan, dengan demikian, adalah
jalan menuju pengetahuan. Sebab, pada hakikatnya pengetahuan adalah memandang
dan menyelidiki apa yang kontra. Keutamaan pengetahuan daripada pendapat yang
diamini begitu saja (doxa) terletak pada kemampuannya mencandra
kemungkinan yang berlawanan, dan karena itulah pengetahuan sedari awal bersifat
dialektis. Pengetahuan akan datang pada orang yang mau bertanya dan membuka
diri pada antitesis berupa ya / tidak (Inyiak Ridwan Mudzier, Hermeneutika
Filosofis Hans-Georg Gadamer (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2008), hlm.
158-159).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah berkenan membaca tulisan ini. Komentar anda sangat saya hargai.