Minggu, 26 Mei 2013

MENJADI MANUSIA BERAKHLAK MULIA


Bagian Pertama
Oleh Ngainun Naim


Tadi siang saya diminta rekan dan rekanita IPNU-IPPNU Anak Cabang Ngunut untuk mengisi acara selapanan. Saya bukan mubaligh dan jarang mengisi ceramah laiknya mubalig. Memang pernah saya mengisi acara semacam itu, tetapi kebanyakan lebih karena tidak ada pilihan lain. Kalau boleh memilih, saya lebih suka menulis. Karena itu, di acara ini, saya membuat catatan singkat sesuai dengan tema yang diminta panitia. Catatan ini, demi kepentingan kemashlahatan yang lebih luas, saya share di media sosial (FB dan Blog).
Membentuk Akhlak Mulia itu bukan sebuah kegiatan yang bisa ditentukan kapan pencapaiannya. Memang ada tolok ukur tertentu yang bisa dijadikan indikator bahwa seseorang telah memiliki akhlak mulia. Namun demikian bukan berarti setelah itu prosesnya selesai.
Hidup manusia selalu memiliki dinamika dan tantangan. Tidak ada manusia yang akhlaknya sempurna, selain Rasulullah SAW. Semua manusia memiliki kelemahan dan kekurangan, termasuk manusia yang sekarang ini kita lihat sebagai manusia yang dalam pandangan kita telah memenuhi kriteria berakhlak mulia atau berkarakter.
Di dunia ini, hanya Nabi Muhammas Saw. saja yang memiliki kesempurnaan akhlak. Hal ini bisa dimengerti karena dalam hadits yang diriwayatkan oleh Siti Aisyah dinyatakan bahwa akhlak beliau adalah al-Qur’an. Bisa dibayangkan bagaimana keagungan akhlak beliau karena segala pernik hidup beliau, termasuk juga karakter beliau, merupakan gambaran dari al-Qur’an. Dan al-Qur’an adalah kitab suci yang menjadi pedoman dan petunjuk hidup seorang Muslim.
Selain itu, Nabi Muhammad adalah sosok yang dilindungi Allah dari melakukan dosa (ma’shum). Perilaku beliau terjaga dari hal-hal buruk. Tidak pernah sekalipun dalam hidupnya Nabi Muhammad melakukan dosa.
Hal-hal semacam itulah yang menjadikan karakter Nabi Muhammad sudah mantap. Sementara kita sebagai manusia biasa selalu tumbuh dan berkembang. Kadang-kadang kita berada dalam kondisi yang diliputi kebaikan, namun di saat yang lain kita berada dalam lingkaran keburukan. Tidak semua manusia mampu mempertahankan karakter dirinya dalam dinamika kehidupan yang terus berkembang. Kadang karakter baik yang telah tertanam kuat juga goyah. Dengan demikian, menurut penulis, karakter manusia biasa memang tidak selamanya kokoh. Hal ini menjadi indikasi bahwasanya akhlak itu memang harus selalu dijaga, dipertahankan, dan ditumbuhkan kembangkan. Artinya, proses pengembangan akhlak bukan proses yang sekali jadi, melainkan proses yang terus-menerus tiada henti.
Ada banyak pendapat yang berkaitan dengan proses yang tiada berhenti ini. Sebagai proses yang tiada berhenti, secara sederhana pembentukan akhlak dibagi menjadi empat tahap. Pertama,  pada usia dini disebut tahap pembentukan. Kedua, pada usia remaja disebut tahap pengembangan. Ketiga, pada usia dewasa disebut tahap pemantapan. Dan keempat, pada usia tua disebut tahap pembijaksanaan.
Namun demikian tidak semua orang setuju dengan pembagian ini sebab dalam realitasnya, tidak sedikit orang yang sudah dewasa ternyata karakternya belum terbentuk secara mapan. Hal ini menunjukkan bahwa akhlak itu tidak harus disesuaikan dengan umur. Sementara dari dinamika perkembangannya; mulai dari pembentukan hingga pembijaksanaan, secara umum tidak banyak dipersoalkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah berkenan membaca tulisan ini. Komentar anda sangat saya hargai.