Bagian Kedua
Oleh Ngainun Naim
Bersyukur itu tidak hanya secara lisan, melainkan harus melibatkan seluruh
totalitas diri kita. Jadi bersyukur itu tidak hanya lisan kita yang mengucahkan
alhamudillah saja, sementara hati kita pasif. Oleh karena itu, rasa syukur itu mensyaratkan pengendalian ego kita. Kita harus melihat
sesuatu yang ada pada kita sebagai sebuah kelebihan. JIka melakukan perbandingan, harus melihat kepada mereka yang berada di bawah kita,
bukan yang di atas kita. Melihat yang di atas secara terus-menerus akan membuat
kita senantiasa dipenuhi perasaan resah, gelisah, dan terus mengejar sesuatu
yang kita belum memilikinya. Sementara memandang yang di bawah akan membuat
kita merasakan betapa keberuntungan telah menyapa kita.
Perintah agar kita bersyukur itu dengan tegas dan jelas termuat dalam
al-Qur’an. Dalam QS Ibrahim disebutkan, “Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu
memaklumkan, ‘Sesungguhnya jika kamu bersyukur niscaya Aku akan menambahkan
(nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka pasti azab-Ku
sangat berat”. Walaupun al-Qur’an dengan jelas memerintahkan agar kita
semua bersyukur, namun dalam kenyataannya mengekspresikan syukur itu bukan hal
yang mudah untuk dilakukan. Syukur lebih mudah untuk diucapkan, tetapi
melaksanakannya ternyata tidak gampang.
Banyak orang yang tidak menyadari bahwa syukur merupakan sebuah kesadaran
dan perilaku yang memiliki manfaat sangat besar dalam hidup manusia. Bahkan
jika kita mau melakukan instropeksi diri, rasanya sebagian besar dari kita
banyak yang kurang mampu mengungkapkan syukur sebagai bagian yang erat dalam
kehidupan kita. Kita merasa apa yang kita peroleh sebagai hal biasa yang tidak
penting untuk disyukuri.
Menarik menyimak kisah yang menunjukkan betapa orang yang mau bersyukur itu
ternyata hanya sebagian kecil saja. Dikisahkan bahwa suatu ketika Umar bin
Khattab sempat terkejut mendengar doa yang dipanjatkan oleh seorang sahabat
yang dilakukan dengan tulus dan khusyu’. Sahabat tersebut berdoa, “Ya Allah,
jadikanlah aku termasuk (golongan) yang sedikit (Allahummaj’ alni minal
qalili)”. Mendengar doa tersebut, Umar berkomentar, “Aneh, apa maksud Anda
dengan doa tersebut?”. Dengan tenang, sahabat tadi menjawab, “Bukan sesuatu
yang aneh, wahai Umar. Bukankah Allah sendiri telah berfirman: “Dan sungguh
sangat sedikit sekali di antara hamba-hamba-Ku yang benar-benar bersyukur”
(QS Saba’: 13). Jadi, yang saya maksud wahai Umar, semoga saya menjadi orang
yang terdaftar dalam golongan yang bersyukur dalam arti yang sebenarnya, yang
jumlahnya tidak banyak tersebut”.
Kisah ini memberikan pelajaran kepada kita bahwa ternyata ada kecenderungan
pada kita untuk tidak bersyukur. Syukur sendiri, sebagaimana didefinisikan oleh
Ibnu Abi Dunya, memiliki makna yang mencakup tiga hal, yaitu syukur dengan hati
(bil qalbi), syukur dengan lisan (bil lisāni), dan syukur dengan anggota atau amal (bil jawarihi,
bil a’mall). Bersambung. Salam
[Parakan Trenggalek, Minggu pagi, 5/5/2013].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah berkenan membaca tulisan ini. Komentar anda sangat saya hargai.