Sabtu, 04 Mei 2013

MENGGALI ENERGI SYUKUR


Bagian Pertama
Oleh Ngainun Naim


Setelah lima hari bekerja dalam iklim birokrasi yang semakin hari semakin ketat, hari sabtu dan minggu seharusnya bisa dipakai bersantai. Tetapi ternyata hari sabtu dan minggu sudah terjadwal agenda kegiatan. Sabtu ini saya mengisi dua kegiatan, yaitu pelatihan guru-guru yang tergabung dalam MGMP PAI Tulungagung dan seminar ”The Power of Reading”. Sementara besuk ada kegiatan ceramah kecil-kecilan di acara reuni keluarga.
Saya merasakan semua ini sebagai anugerah besar yang harus saya syukuri. Kalau bukan karena anugerah-Nya, tidak akan mungkin orang menaruh kepercayaan kepada saya. Karena itu, satu hal besar yang harus saya lakukan: mensyukuri semua itu sebagai bagian dari karunia dan keagungan-Nya.
Sebuah kata akan memiliki makna mendalam ketika seseorang mampu menemukan keterkaitan antara kata tersebut dengan pengalaman eksistensialnya (ke-diri-annya). Keterkaitan inilah yang mampu menjadikan seseorang larut, hanyut, dan merasakan keterlibatan emosi secara mendalam. Pada kondisi semacam ini, kedirian bisa menyatu dan membangun sebuah makna baru.
Namun demikian, situasi semacam ini biasanya tidak berlangsung lama. Seiring perjalanan waktu, segenap keterkaitan itu akan lenyap dengan sendirinya. Segala pengalaman yang begitu intim dan emosional akan dengan mudahnya terlupakan begitu saja.
Kata yang bisa kita jadikan sebagai contoh adalah kata syukur. Sangat sering kata ini kita dengar. Kita sendiri sering menganjurkan dan juga mengucapkannya. Nyaris dalam setiap acara, khususnya acara keagamaan, kata ini disebut. Anjuran untuk selalu bersyukur selalu dikumandangkan. Tetapi karena tidak ada keterkaitan dengan pengalaman eksistensial, kata ini seolah berlalu begitu saja. Maknanya tidak mampu menyentuh kelembutan batin. Syukur pun kemudian berhenti hanya sebatas sebagai ucapan lisan yang kering akan makna.
Pernahkah Anda mendapat rejeki di luar dugaan yang begitu Anda butuhkan? Bagaimana perasaan ketika dalam kondisi semacam ini? Puji syukur tentu tak henti untuk diucapkan. Rasanya rejeki yang baru diperoleh itu nikmat sekali. Perasaan penuh terima kasih merasuk tidak hanya secara lisan, tetapi juga ke hati sanubari dan juga perilaku. Namun seiring dengan anugerah Allah yang sering diterima, misalnya dalam bentuk rejeki yang rutin diperoleh, hal semacam itu menjadi biasa saja.  Bahkan kemudian sangat mungkin kita menganggap bukan sebagai suatu hal yang penting untuk disyukuri.
Ada cukup banyak contoh dalam kehidupan kita sehari-hari berkaitan dengan makna syukur ini. Semua orang pasti pernah mengalami pasang surut kehidupan yang membuat mampu merasakan betapa nikmatnya sebuah anugerah. Namun, semuanya juga mengalami pasang surut dalam penghayatan terhadap makna syukur ini.
Oleh karena itu, hal mendasar yang seyogyanya dilakukan adalah membangun kesadaran untuk terus-menerus mampu bersyukur. Artinya, rasa syukur itu tidak perlu menunggu datangnya momentum yang menjadikan kita secara natural harus bersyukur, tetapi kita sendiri yang menciptakan momentum itu. Membangun momentum itu harus dilakukan dengan memandang segala hal yang kita terima, sampai pada hal yang paling kecil sekali pun, sebagai anugerah dan nikmat yang luar biasa yang dianugerahkan oleh Allah Swt. 
Saya sendiri belum mampu melakukan hal ini. Tetapi tulisan ini saya niatkan sebagai ajakan kepada diri saya sendiri untuk selalu bersyukur. Saya merasakan betul betapa anugerah yang Allah berikan tidak terhitung jumlahnya. Oleh karena itu, tulisan ini saya jadikan pengingat buat diri saya sendiri agar jangan menjadi makhluk pengeluh. Salam [Parakan, Trenggalek, 4/5/2013].

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah berkenan membaca tulisan ini. Komentar anda sangat saya hargai.