Bagian Pertama
Oleh Ngainun Naim
Setelah lima hari bekerja dalam iklim birokrasi yang semakin hari semakin
ketat, hari sabtu dan minggu seharusnya bisa dipakai bersantai. Tetapi ternyata
hari sabtu dan minggu sudah terjadwal agenda kegiatan. Sabtu ini saya mengisi dua
kegiatan, yaitu pelatihan guru-guru yang tergabung dalam MGMP PAI Tulungagung dan
seminar ”The Power of Reading”. Sementara besuk ada kegiatan ceramah
kecil-kecilan di acara reuni keluarga.
Saya merasakan semua ini sebagai anugerah besar yang harus saya syukuri. Kalau
bukan karena anugerah-Nya, tidak akan mungkin orang menaruh kepercayaan kepada
saya. Karena itu, satu hal besar yang harus saya lakukan: mensyukuri semua itu
sebagai bagian dari karunia dan keagungan-Nya.
Sebuah kata akan memiliki makna mendalam ketika seseorang mampu menemukan
keterkaitan antara kata tersebut dengan pengalaman eksistensialnya
(ke-diri-annya). Keterkaitan inilah yang mampu menjadikan seseorang larut, hanyut, dan merasakan keterlibatan emosi secara mendalam. Pada
kondisi semacam ini, kedirian bisa menyatu dan membangun sebuah makna baru.
Namun demikian, situasi semacam ini biasanya tidak berlangsung lama.
Seiring perjalanan waktu, segenap keterkaitan itu akan lenyap dengan
sendirinya. Segala pengalaman yang begitu intim dan emosional akan dengan
mudahnya terlupakan begitu saja.
Kata yang bisa kita jadikan sebagai contoh adalah kata syukur. Sangat
sering kata ini kita dengar. Kita sendiri sering
menganjurkan dan juga mengucapkannya. Nyaris dalam
setiap acara, khususnya acara keagamaan, kata ini disebut. Anjuran untuk selalu
bersyukur selalu dikumandangkan. Tetapi karena tidak ada keterkaitan dengan
pengalaman eksistensial, kata ini seolah berlalu begitu saja. Maknanya tidak
mampu menyentuh kelembutan batin. Syukur pun kemudian berhenti hanya sebatas
sebagai ucapan lisan yang kering akan makna.
Pernahkah Anda mendapat rejeki di luar dugaan yang begitu Anda butuhkan?
Bagaimana perasaan ketika dalam kondisi semacam ini? Puji syukur tentu tak
henti untuk diucapkan. Rasanya rejeki yang baru diperoleh itu nikmat sekali.
Perasaan penuh terima kasih merasuk tidak hanya secara lisan, tetapi juga ke
hati sanubari dan juga perilaku. Namun seiring dengan anugerah Allah yang
sering diterima, misalnya dalam bentuk rejeki yang rutin diperoleh, hal semacam
itu menjadi biasa saja. Bahkan kemudian
sangat mungkin kita menganggap bukan sebagai suatu hal yang penting untuk
disyukuri.
Ada cukup banyak contoh dalam kehidupan kita sehari-hari berkaitan dengan
makna syukur ini. Semua orang pasti pernah mengalami pasang surut kehidupan
yang membuat mampu merasakan betapa nikmatnya sebuah anugerah. Namun, semuanya
juga mengalami pasang surut dalam penghayatan terhadap makna syukur ini.
Oleh karena itu, hal mendasar yang seyogyanya dilakukan adalah membangun
kesadaran untuk terus-menerus mampu bersyukur. Artinya, rasa syukur itu tidak
perlu menunggu datangnya momentum yang menjadikan kita secara natural harus
bersyukur, tetapi kita sendiri yang menciptakan momentum itu. Membangun
momentum itu harus dilakukan dengan memandang segala hal yang kita terima,
sampai pada hal yang paling kecil sekali pun, sebagai anugerah dan nikmat yang
luar biasa yang dianugerahkan oleh Allah Swt.
Saya
sendiri belum mampu melakukan hal ini. Tetapi tulisan ini saya niatkan sebagai
ajakan kepada diri saya sendiri untuk selalu bersyukur. Saya merasakan betul
betapa anugerah yang Allah berikan tidak terhitung jumlahnya. Oleh karena itu,
tulisan ini saya jadikan pengingat buat diri saya sendiri agar jangan menjadi
makhluk pengeluh. Salam [Parakan,
Trenggalek, 4/5/2013].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah berkenan membaca tulisan ini. Komentar anda sangat saya hargai.