Jumat, 03 Mei 2013

DILTHEY [BAGIAN KEDUA]


Bagi teman-teman yang menekuni kajian filsafat, khususnya hermeneutika, nama Dilthey memang cukup melegenda. Dilthey adalah seorang ilmuwan yang memiliki obsesi untuk mengangkat hermeneutika, khususnya sejarah, menjadi satu metode ilmiah. Bagi Dilthey, hermeneutika dapat berfungsi sebagai dasar bagi semua disiplin yang berpusat pada pemahaman terhadap karya manusia.
Saya tidak akan banyak mengungkap substansi pemikiran Dilthey yang memang rumit itu. Buku Supriyo Priyanto sendiri belum tuntas saya baca. Sebagaimana buku-buku filsafat lainnya, memang dibutuhkan energi lebih besar dan pengetahuan pendukung yang memadai sebelum memahami buku ini. Bagi teman-teman yang belum membaca dan akrab dengan kajian hermeneutika, jelas buku ini akan sulit dipahami.
Saya hanya ingin mengungkap aspek penting yang layak untuk diapresiasi dalam catatan ini. Pertama, Dilthey menjadi ilmuwan besar karena ia memiliki dasar yang kuat di keluarganya. Diceritakan dalam buku ini, sejak kecil Dilthey sudah akrab dengan buku. Ayahnya memiliki koleksi buku yang cukup banyak. Hal ini memungkinkan Dilthey untuk mengakses bacaan yang tersedia. Minat bacanya tumbuh dan berkembang semenjak kecil. Karena itu wajar jika ia kemudian menjadi ilmuwan besar yang berpengaruh.
Kedua, akibat dari bacaannya yang luas, juga karena pengaruh pendidikannya, Dilthey menjadi ilmuwan multidisiplin ilmu. Ia menguasa sejarah, sastra, musik, teori sejarah pendidikan kuno dab modern, politik, budaya, dan—tentu saja—filsafat.
Ketiga, Dilthey seorang pekerja keras. Diceritakan bahwa Dilthey bercita-cita untuk bisa hidup sampai usia 110 tahun. Namun dalam tahun 1896, ia sudah menderita psikosomatis dan insomnia. Namun demikian, semangat kerjanya begitu luar biasa. Dia selalu bangun pukul empat pagi dan terus menulis paling tidak selama dua belas jam sehari [h. 14].
Cita-cita Dilthey untuk berumur panjang tidak tercapai. Saat menikmati liburan di sebuah hotel di Seis, Schlern, pada tanggal 30 September 1911, ia terkena infeksi yang membawa kematiannya. Dilthey meninggal pada usia 74 tahun [h. 14-15]. 
Dilthey telah mengajarkan kepada saya bahwa tradisi membaca, penguasaan pengetahuan, dan kerja keras merupakan rangkaian kerja intelektual yang dapat memengaruhi kehidupan manusia. Dilthey sudah lama tiada, tetapi karyanya terus dibaca dan diperdebatkan. Dilthey terus bekerja dan menulis tanpa pernah peduli apakah karyanya akan terbit atau tidak. Bahkan selama hidup ia hanya sempat menyaksikan tiga bukunya yang terbit. Ratusan naskah tulisan tangan lainnya baru dikumpulkan oleh para muridnya setelah ia meninggal. Tetapi satu hal yang pasti bahwa karya tulis itu lebih abadi dibandingkan suara lisan. Jadi, mari kita menulis semampu kita agar ide-ide kita lebih awet. Dalam hal ini, Dilthey adalah salah satu tokoh yang layak untuk diteladani. Salam [Parakan Trenggalek, 3/5/2013].

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah berkenan membaca tulisan ini. Komentar anda sangat saya hargai.