Selasa, 14 Mei 2013

MADINAH DAN LABORATORIUM TOLERANSI [2]


Bagian Kedua
 
Ada satu buku yang menarik sebagai referensi untuk membahas tentang topik ini, yaitu buku karya Zuhairi Misrawi, Madinah (Jakarta: Kompas, 2010). Sejarah tampaknya menjadi aspek kuat yang melandasi buku ini. Dan tokoh besar yang cukup memberikan kontribusi besar adalah Ibn Khaldun. Sosiolog pertama Islam ini begitu menginspirasi Zuhairi, sehingga kesadarannya akan sejarah juga dipengaruhi secara kuat oleh Ibn Khaldun.
Sejarah, tulis Zuhairi, adalah seni yang luas, bermanfaat, dan mempunyai tujuan mulia. Sejarah akan menjadikan seseorang mengerti latar historis umat-umat terdahulu, para Nabi dan para penguasa dalam misi politik dan mengelola pemerintahan secara umum. Sejarah adalah ilmu yang amat penting, terutama bagi mereka yang ingin mengetahui  urusan dunia dan akherat. Bahkan sejarah dapat menyelamatkan seseorang dari kekeliruan dan keterpelesetan.
Kesadaran sejarah inilah yang kemudian mengilhami penulisan buku ini. Buku ini hadir sebagai akumulasi kegelisahan, keinginannya mengunjungi kota di mana Nabi pernah dengan sangat sukses membangun peradaban, dan juga kepentingan penulisnya untuk menyosialisasikan paradigma Islam yang dianut, yaitu Islam toleran, humanis dan pluralis.
Ada beberapa hal menarik yang—berdasarkan penangkapan sekilas penulis—dapat  dicatat sebagai bahan refleksi. Pertama, Madinah adalah inspirasi untuk membangun sebuah masyarakat yang ideal.  Madinah memiliki sejarah panjang untuk menjadi sebuah wilayah yang rukun dan damai. Jauh sebelum Nabi hijrah, Madinah selalu dilanda konflik. Keragaman suku, agama, ras dan berbagai bentuk keragaman lainnya senantiasa terlibat dalam pertentangan dan bentrok tak berkesudahan. Hadirnya Nabi di wilayah yang semula bernama Yatsrib ini menandai babak baru kehidupan yang rukun dalam bingkai keragaman. Inspirasi kehidupan Madinah nampaknya memiliki konteks yang tepat untuk membaca kehidupan masyarakat Indonesia hari ini yang sarat dengan pertentangan dan konflik karena berbagai faktor perbedaan dalam masyarakat. Zuhairi memberikan argumentasi secara meyakinkan bahwa jika ingin membangun kehidupan sosial kemasyarakatan sekarang ini, Madinah adalah rujukan yang sangat ideal. Madinah adalah contoh nyata tentang bagaimana mengelola sebuah masyarakat yang penuh damai, tanpa konflik dan sarat dengan nilai-nilai kebajikan.
Kedua, kepemimpinan yang berwibawa. Fondasi sebuah masyarakat yang ideal adalah kepemimpinan yang berwibawa. Masyarakat mana pun akan mampu eksis jika ditopang oleh kepemimpinan yang penuh kewibawaan, dihormati lawan maupun kawan, dan selalu menunjukkan komitmen pribadinya sebagai seorang pemimpin. Jika seorang pemimpin telah kehilangan kewibawaannya, maka masyarakat yang dipimpinnya akan kacau dan idealitas mewujudkan masyarakat yang damai akan sulit terwujud.
Realitas carut marutnya kehidupan Indonesia hari ini, jika ditelisik secara cermat, bermuara pada rendahnya kewibawaan pemimpin. Jika saja pemimpinnya adalah pemimpin yang berwibawa, sebagaimana di Madinah, besar kemungkinan kita akan mampu melewati berbagai persoalan rumit kehidupan sosial kemasyarakatan yang terus saja datang mendera negeri ini.
Ketiga, kesalehan individual dan sosial. Kesalehan tidak lengkap jika hanya diwujudkan dalam bentuk individual, tetapi juga harus diimbangi dengan kesalehan sosial. Dengan cara demikian, kesalehan yang terbentuk tidak parsial, tetapi total atau kaffah. Dalam perspektif inilah, Zuhairi memberikan cara pandang obyektif tentang fenomena kontemporer yang tengah berlangsung di Madinah. Pembangunan secara mewah berbagai Masjid di Madinah memang merupakan kebutuhan mengingat jumlah masyararakat yang melakukan ziarah semakin meningkat dari waktu ke waktu. Namun demikian, ada efek negatifnya juga di mana di berbagai negara, keinginan kuat untuk membangun masjid secara mewah, padahal sesungguhnya ada banyak kebutuhan kemanusiaan lain yang lebih mendesak. Kemiskinan, anak-anak terlantar dan berbagai persoalan lain jauh lebih mendesak untuk ditangani. Pada titik inilah, penekananannya pada kesalehan yang utuh menemukan relevansinya.
Keempat, masjid sebagai pusat peradaban. Perhatian terhadap masjid menjadi titik perhatian khusus dalam buku ini. Di halaman 331-384 ada uraian secara khusus tentang Masjid Nabawi dan beberapa masjid besar dan bersejarah lainnya, seperti Masjid Qubba, Masjid Qiblatain, Masjid Jumat, Masjid Sajadah dan lainnya. Pembahasan tentang beberapa masjid ini bukan hanya menunjukkan bahwa masjid adalah bagian dari kehidupan keagamaan umat Islam, tetapi juga masjid sesungguhnya menjadi “ruh” dalam segenap aktivitas umat Islam. Spirit ini nampaknya semakin banyak tergeser. Semakin banyak masjid yang tidak ramah terhadap umat. Juga, masjid semakin berkurang aktivitasnya selain untuk kepentingan rutinitas ibadah. Padahal, dalam masa awal sejarahnya, masjid merupakan tempat yang menjadi pusat seluruh kegiatan Islam. Aspek inilah yang ingin ditegaskan kembali oleh Zuhairi dalam buku ini.
Kelima, basis spiritualitas. Dimensi spiritualitas mendapat tekanan kuat dalam buku ini. Dan Madinah adalah inspirasinya. Madinah, kata Zuhairi, adalah titik awal dari kebangkitan yang memancar spirit dan pencerahan batib yang amat luar biasa (h. 70). Lebih dari itu, Madinah adalah kota mimpi yang disulap oleh Nabi menjadi kota peradaban yang mana spiritualitas dan moralitas mempunyai tempat yang sangat terhormat (h. 19). Dengan spiritualitas yang kuat, Islam mampu berjaya. Menafikan dimensi spiritualitas akan menjadikan gerakan Islam kehilangan basis penopang yang kokoh.
Keenam, spirit toleransi. Penghargaan terhadap yang lain menjadi bagian yang dikampanyekan secara serius dalam buku ini. Tidak hanya itu, Zuhairi bahkan meyakini bahwasanya bendera toleransi, dialog, dan hidup damai harus dikibarkan berapa pun ongkos yang harus dibayar. Sebab hal tersebut merupakan salah satu prasyarat untuk menjadikan bumi ini sebagai surga dunia yang di dalamnya tidak ada lagi konflik yang dapat merugikan kemanusiaan (h. 45).
Uraian dalam keseluruhan buku ini menarik karena menghadirkan inspirasi bagi peningkatan kualitas demokrasi di Indonesia. Madinah yang diulas secara panjang lebar oleh Zuhairi Misrawi merupakan protipe “laboratorium toleransi” yang menarik untuk dibaca secara tepat dalam konteks Indonesia. Dengan cara semacam ini, sejarah Madinah bukan hanya dilihat sebagai bagian yang romatis dari perjalanan umat Islam, tetapi memiliki makna operasional dan kontekstual dalam kehidupan sekarang ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah berkenan membaca tulisan ini. Komentar anda sangat saya hargai.