Bagian Kedua
Ada satu buku yang menarik sebagai
referensi untuk membahas tentang topik ini, yaitu buku karya Zuhairi Misrawi, Madinah (Jakarta: Kompas, 2010). Sejarah
tampaknya menjadi aspek kuat yang melandasi buku ini. Dan
tokoh besar yang cukup memberikan kontribusi besar adalah Ibn Khaldun. Sosiolog
pertama Islam ini begitu menginspirasi Zuhairi, sehingga kesadarannya akan
sejarah juga dipengaruhi secara kuat oleh Ibn Khaldun.
Sejarah, tulis Zuhairi, adalah seni
yang luas, bermanfaat, dan mempunyai tujuan mulia. Sejarah akan menjadikan
seseorang mengerti latar historis umat-umat terdahulu, para Nabi dan para
penguasa dalam misi politik dan mengelola pemerintahan secara umum. Sejarah
adalah ilmu yang amat penting, terutama bagi mereka yang ingin mengetahui urusan dunia dan akherat. Bahkan sejarah
dapat menyelamatkan seseorang dari kekeliruan dan keterpelesetan.
Kesadaran sejarah inilah yang kemudian
mengilhami penulisan buku ini. Buku ini hadir sebagai akumulasi kegelisahan,
keinginannya mengunjungi kota di mana Nabi pernah dengan sangat sukses
membangun peradaban, dan juga kepentingan penulisnya untuk menyosialisasikan
paradigma Islam yang dianut, yaitu Islam toleran, humanis dan pluralis.
Ada beberapa hal menarik
yang—berdasarkan penangkapan sekilas penulis—dapat dicatat sebagai bahan refleksi. Pertama, Madinah
adalah inspirasi untuk membangun sebuah masyarakat yang ideal. Madinah memiliki sejarah panjang untuk menjadi
sebuah wilayah yang rukun dan damai. Jauh sebelum Nabi hijrah, Madinah selalu
dilanda konflik. Keragaman suku, agama, ras dan berbagai bentuk keragaman
lainnya senantiasa terlibat dalam pertentangan dan bentrok tak berkesudahan.
Hadirnya Nabi di wilayah yang semula bernama Yatsrib ini menandai babak baru
kehidupan yang rukun dalam bingkai keragaman. Inspirasi kehidupan Madinah
nampaknya memiliki konteks yang tepat untuk membaca kehidupan masyarakat
Indonesia hari ini yang sarat dengan pertentangan dan konflik karena berbagai
faktor perbedaan dalam masyarakat. Zuhairi memberikan argumentasi secara
meyakinkan bahwa jika ingin membangun kehidupan sosial kemasyarakatan sekarang
ini, Madinah adalah rujukan yang sangat ideal. Madinah adalah contoh nyata
tentang bagaimana mengelola sebuah masyarakat yang penuh damai, tanpa konflik
dan sarat dengan nilai-nilai kebajikan.
Kedua, kepemimpinan yang berwibawa. Fondasi
sebuah masyarakat yang ideal adalah kepemimpinan yang berwibawa. Masyarakat
mana pun akan mampu eksis jika ditopang oleh kepemimpinan yang penuh
kewibawaan, dihormati lawan maupun kawan, dan selalu menunjukkan komitmen
pribadinya sebagai seorang pemimpin. Jika seorang pemimpin telah kehilangan kewibawaannya,
maka masyarakat yang dipimpinnya akan kacau dan idealitas mewujudkan masyarakat
yang damai akan sulit terwujud.
Realitas carut marutnya kehidupan
Indonesia hari ini, jika ditelisik secara cermat, bermuara pada rendahnya
kewibawaan pemimpin. Jika saja pemimpinnya adalah pemimpin yang berwibawa,
sebagaimana di Madinah, besar kemungkinan kita akan mampu melewati berbagai
persoalan rumit kehidupan sosial kemasyarakatan yang terus saja datang mendera
negeri ini.
Ketiga, kesalehan individual dan sosial.
Kesalehan tidak lengkap jika hanya diwujudkan dalam bentuk individual, tetapi
juga harus diimbangi dengan kesalehan sosial. Dengan cara demikian, kesalehan
yang terbentuk tidak parsial, tetapi total atau kaffah. Dalam perspektif
inilah, Zuhairi memberikan cara pandang obyektif tentang fenomena kontemporer
yang tengah berlangsung di Madinah. Pembangunan secara mewah berbagai Masjid di
Madinah memang merupakan kebutuhan mengingat jumlah masyararakat yang melakukan
ziarah semakin meningkat dari waktu ke waktu. Namun demikian, ada efek
negatifnya juga di mana di berbagai negara, keinginan kuat untuk membangun
masjid secara mewah, padahal sesungguhnya ada banyak kebutuhan kemanusiaan lain
yang lebih mendesak. Kemiskinan, anak-anak terlantar dan berbagai persoalan
lain jauh lebih mendesak untuk ditangani. Pada titik inilah, penekananannya
pada kesalehan yang utuh menemukan relevansinya.
Keempat, masjid sebagai pusat peradaban.
Perhatian terhadap masjid menjadi titik perhatian khusus dalam buku ini. Di
halaman 331-384 ada uraian secara khusus tentang Masjid Nabawi dan beberapa
masjid besar dan bersejarah lainnya, seperti Masjid Qubba, Masjid Qiblatain,
Masjid Jumat, Masjid Sajadah dan lainnya. Pembahasan tentang beberapa masjid
ini bukan hanya menunjukkan bahwa masjid adalah bagian dari kehidupan keagamaan
umat Islam, tetapi juga masjid sesungguhnya menjadi “ruh” dalam segenap
aktivitas umat Islam. Spirit ini nampaknya semakin banyak tergeser. Semakin
banyak masjid yang tidak ramah terhadap umat. Juga, masjid semakin berkurang
aktivitasnya selain untuk kepentingan rutinitas ibadah. Padahal, dalam masa
awal sejarahnya, masjid merupakan tempat yang menjadi pusat seluruh kegiatan
Islam. Aspek inilah yang ingin ditegaskan kembali oleh Zuhairi dalam buku ini.
Kelima, basis spiritualitas. Dimensi
spiritualitas mendapat tekanan kuat dalam buku ini. Dan Madinah adalah
inspirasinya. Madinah, kata Zuhairi, adalah titik awal dari kebangkitan yang
memancar spirit dan pencerahan batib yang amat luar biasa (h. 70). Lebih dari
itu, Madinah adalah kota mimpi yang disulap oleh Nabi menjadi kota peradaban
yang mana spiritualitas dan moralitas mempunyai tempat yang sangat
terhormat (h. 19). Dengan spiritualitas yang kuat, Islam mampu berjaya.
Menafikan dimensi spiritualitas akan menjadikan gerakan Islam kehilangan basis
penopang yang kokoh.
Keenam, spirit toleransi. Penghargaan terhadap
yang lain menjadi bagian yang dikampanyekan secara serius dalam buku ini. Tidak
hanya itu, Zuhairi bahkan meyakini bahwasanya bendera toleransi, dialog, dan
hidup damai harus dikibarkan berapa pun ongkos yang harus dibayar. Sebab hal
tersebut merupakan salah satu prasyarat untuk menjadikan bumi ini sebagai surga
dunia yang di dalamnya tidak ada lagi konflik yang dapat merugikan kemanusiaan
(h. 45).
Uraian dalam keseluruhan buku ini
menarik karena menghadirkan inspirasi bagi peningkatan kualitas demokrasi di
Indonesia. Madinah yang diulas secara panjang lebar oleh Zuhairi Misrawi
merupakan protipe “laboratorium toleransi” yang menarik untuk dibaca secara
tepat dalam konteks Indonesia. Dengan cara semacam ini, sejarah Madinah bukan
hanya dilihat sebagai bagian yang romatis dari perjalanan umat Islam, tetapi
memiliki makna operasional dan kontekstual dalam kehidupan sekarang ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah berkenan membaca tulisan ini. Komentar anda sangat saya hargai.