Bagian Pertama
Oleh Ngainun Naim
Salah satu persoalan besar yang kini
harus dihadapi oleh bangsa Indonesia adalah rendahnya kesadaran toleransi
masyarakat. Perbedaan yang seharusnya menjadi bagian dari kekayaan kehidupan
justru menjadi potensi konflik dan kekerasan. Antar kelompok yang berbeda
seringkali terlibat dalam pertengkaran yang berujung pada kekerasan.
Tidak terlalu sulit menemukan fenomena
kekerasan antar kelompok ini. Lihat saja berita kriminal di televisi, atau
berita di koran. Nyaris setiap hari selalu diwarnai dengan berita-berita
semacam itu. Padahal, penyebab berbagai konflik dan kekerasan tersebut tidak
jarang hanyalah persoalan sepele yang sebenarnya bisa diselesaikan dengan jalan
damai dan penuh kekeluargaan.
Realitas ini sekaligus menunjukkan
betapa demokrasi masih menghadapi tantangan yang tidak ringan. Demokrasi yang
berkembang di Indonesia masih berada pada tataran prosedural. Sementara pada
tataran substansi, masih belum mampu terinternalisasi menjadi wawasan,
pengetahuan dan kesadaran masyarakat secara nyata dalam konteks kehidupan
sehari-hari.
Oleh karena itu dibutuhkan berbagai
usaha dan langkah-langkah strategis agar demokrasi semakin berkualitas di
Indonesia. Kualitas demokrasi ditandai—di antaranya—dengan kesadaran toleransi masyarakat
yang semakin tinggi. Masyarakat yang memiliki kesadaran demokrasi tinggi akan
menghadapi berbagai persoalan dengan tetap mempertimbangkan berbagai dimensi
kebersamaan dan kemanusiaan.
Dalam
kerangka inilah, salah satu cara yang dapat digunakan adalah belajar dari
sejarah. Sejarah bukan sekedar pengalaman perjalanan kehidupan masa lalu,
tetapi sesungguhnya sejarah memiliki makna yang jauh lebih luas. Sejarah adalah
bagian dari dinamika perjalanan yang tidak bisa dinafikan eksistensinya.
Kesadaran terhadap signifikansi sejarah menjadi modal penting untuk membangun
kehidupan ke depan yang lebih baik. Tanpa kesadaran sejarah, proyeksi
kehidupan—individu, komunitas, dan juga bangsa—akan kehilangan titik pijak yang
determinan. Sangat mungkin dalam rentang perjalanannya, terdapat diskontinuitas
yang memutus mata rantai kesinambungan emosional. Salam [Trenggalek, 12 Mei 2013].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah berkenan membaca tulisan ini. Komentar anda sangat saya hargai.