Senin, 13 Mei 2013

MADINAH DAN LABORATORIUM TOLERANSI [1]

Bagian Pertama
Oleh Ngainun Naim

Salah satu persoalan besar yang kini harus dihadapi oleh bangsa Indonesia adalah rendahnya kesadaran toleransi masyarakat. Perbedaan yang seharusnya menjadi bagian dari kekayaan kehidupan justru menjadi potensi konflik dan kekerasan. Antar kelompok yang berbeda seringkali terlibat dalam pertengkaran yang berujung pada kekerasan.
Tidak terlalu sulit menemukan fenomena kekerasan antar kelompok ini. Lihat saja berita kriminal di televisi, atau berita di koran. Nyaris setiap hari selalu diwarnai dengan berita-berita semacam itu. Padahal, penyebab berbagai konflik dan kekerasan tersebut tidak jarang hanyalah persoalan sepele yang sebenarnya bisa diselesaikan dengan jalan damai dan penuh kekeluargaan.
Realitas ini sekaligus menunjukkan betapa demokrasi masih menghadapi tantangan yang tidak ringan. Demokrasi yang berkembang di Indonesia masih berada pada tataran prosedural. Sementara pada tataran substansi, masih belum mampu terinternalisasi menjadi wawasan, pengetahuan dan kesadaran masyarakat secara nyata dalam konteks kehidupan sehari-hari.
Oleh karena itu dibutuhkan berbagai usaha dan langkah-langkah strategis agar demokrasi semakin berkualitas di Indonesia. Kualitas demokrasi ditandai—di antaranya—dengan kesadaran toleransi masyarakat yang semakin tinggi. Masyarakat yang memiliki kesadaran demokrasi tinggi akan menghadapi berbagai persoalan dengan tetap mempertimbangkan berbagai dimensi kebersamaan dan kemanusiaan. 
Dalam kerangka inilah, salah satu cara yang dapat digunakan adalah belajar dari sejarah. Sejarah bukan sekedar pengalaman perjalanan kehidupan masa lalu, tetapi sesungguhnya sejarah memiliki makna yang jauh lebih luas. Sejarah adalah bagian dari dinamika perjalanan yang tidak bisa dinafikan eksistensinya. Kesadaran terhadap signifikansi sejarah menjadi modal penting untuk membangun kehidupan ke depan yang lebih baik. Tanpa kesadaran sejarah, proyeksi kehidupan—individu, komunitas, dan juga bangsa—akan kehilangan titik pijak yang determinan. Sangat mungkin dalam rentang perjalanannya, terdapat diskontinuitas yang memutus mata rantai kesinambungan emosional.  Salam [Trenggalek, 12 Mei 2013].

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah berkenan membaca tulisan ini. Komentar anda sangat saya hargai.