Jumat, 24 Mei 2013

KISAH BELAJAR PARA ULAMA BESAR


Oleh Ngainun Naim

Tradisi belajar menjadi kunci kemajuan hidup. Karena itu, tradisi belajar penting untuk terus ditumbuhkembangkan secara luas.
Berkaitan dengan tradisi belajar ini, kita bisa belajar kepada para ulama besar. Kebesaran mereka tidak datang begitu saja, melainkan hasil dari perjuangan keras dan belajar dengan serius.
Kita bisa mengambil satu contoh, yaitu Syah Waliyullah ad-Dihlawi. Beliau lahir pada 4 Syawal 1114 H atau 21 Februari 1703 M di Delhi atau Dihli, sehingga di belakang namanya tercantum sebutan ad-Dihlawi. Pada usia 5 tahun ia masuk pendidikan dasar, dan pada usia 7 tahun ia pun telah mampu menghafal al-Qur’an seluruhnya. Prestasi yang cukup mengagumkan ini diikuti oleh berbagai prestasi lain, sehingga dalam usianya yang baru menginjak 15 tahun ia telah melengkapi diri dengan berbagai ilmu yang pada masanya merupakan bahan kajian tingkat tinggi. Pada saat itu Syah Waliyullah bukan hanya memperdalam ilmu hukum, tafsir, dan hadits, tetapi juga ilmu logika, filsafat, astronomi, kedokteran, dan matematika, yang semuanya menjadi bekal mengajar pada madrasah yang didirikan ayahnya.
Syah ’Abd ar-Rahim, ayah Syah Waliyullah, adalah ulama terkemuka pada masanya, dan murid berbakat dari pemikir besar Mirza Muhammad Zahid Hirawi (w. 1111 H). Dia juga anggota Tim Penyusun Fatawi Hindiyyah, sebuah kodifikasi yurisprudensi Islam berdasarkan Madzhab Hanafi, yang disusun atas perintah Raja Aurangzeb, Bahadur Alamgir (1618-1707 M.).
Dalam mendidik putranya, Syah ’Abd ar-Rahim tidak hanya memperhatikan perkembangan intelektual dan pelajaran agama semata, melainkan juga menaruh perhatian besar pada perkembangan aspek keruhanian melalui latihan-latihan dalam tarekat. Beliau sendiri adalah pemimpin lokal dari Tarekat Naqsyabandiyah. Setelah Syah ’Abd ar-Rahim meninggal pada tahun 1131 H/1719 M, tugas dan kedudukannya di madrasah dan khanqah digantikan Syah Waliyullah.
Pada tahun 1143 H/1731 M, Syah Waliyullah merantau ke Hijaz selama 14 bulan. Di sana ia memperdalam ilmu-ilmu keagamaan, baik hadits, fikih, maupun tasawuf. Tentang perjalanan ke Hijaz ini, umumnya penulis menyebut kemauan memperluas ilmu sebagai motivasi utama, di samping menunaikan ibadah haji (A. Malik Madani, 2010: 23-24).
Perjuangan keras dalam menuntut ilmu dan kemudian mengajarkan ilmunya menjadi ciri hampir semua ulama besar dalam perjalanan panjang sejarah umat Islam. Syah Waliyullah ad-Dihlawi merupakan sebuah contoh tentaang bagaimana kerasnya usaha dan kerja keras dalam belajar.
Contoh lainnya adalah Syaikh Ali Thanthawi. Beliau bercerita tentang bagaimana aktivitasnya membaca. “Jika dihitung bilangan jam waktu yang kupergunakan untuk membaca, niscaya lebih dari sepuluh jam setiap hari, karena sejak kecil aku hampir jarang keluar rumah. Jika dikalkulasi rata-rata setiap jamnya sepuluh halaman, dengan perbandingan sepuluh halaman untuk buku berat dan sepuluh halaman untuk buku ringan, niscaya setiap hari aku telah membaca dua ratus halaman. Maka coba kalkulasikan sendiri berapa halaman yang telah kulahap semenjak pertama kali menelaah buku hingga dalam rentang waktu tujuh puluh tahun.
Tujuh puluh tahun yang dalam setahunnya ada dua belas bulan, tiap bulan terdiri dari tiga puluh hari, lalu kali seratus halaman per hari. Sejak dulu hingga kini, aku masih eksis membaca berbagai disiplin ilmu, semacam tafsir, fikih, tarikh, sastra (Arab dan Prancis) dan disiplin ilmu yang lain.”
Jika diambil rata-rata, beliau dalam sehari mampu menghabiskan 100 halaman. Dengan demikian, sampai usia tujuh puluh tahun telah membaca paling tidak 2.520.000 halaman. Dan jika dalam sehari mampu menelaah sampai 200 halaman, berarti beliau telah membaca 5.040.000 halaman dalam rentang waktu 70 tahun.
Syaikh Thanthawi juga berkata, ”Aku juga telah menulis lebih banyak dibanding orang-orang yang kukenal, kecuali beberapa orang semisal Amir Syakib Arsalan dan Abbas Mahmud al-Akkad. Dan artikelku yang dimuat media massa lebih dari tiga belas ribu halaman, sedangkan yang hilang sejumlah itu juga dan bahkan lebih” (Jasiem M. Badr al-Muthowi’, 2004: 34-35).
Kisah hidup Syaikh Ali Thanthawi, sebagaimana juga kisah hidup Syah Waliyullah, menunjukkan bagaimana semangat menuntut ilmu yang sedemikian tinggi. Walaupun tidak secara eksplisit disebutkan, tetapi tradisi belajar mereka diperoleh dari guru-guru mereka. Salam. [Kampus STAIN Tulungagung, Jum’at, 24/5/2013].

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah berkenan membaca tulisan ini. Komentar anda sangat saya hargai.