Oleh Ngainun Naim
Tradisi belajar menjadi
kunci kemajuan hidup. Karena itu, tradisi belajar penting untuk terus
ditumbuhkembangkan secara luas.
Berkaitan dengan
tradisi belajar ini, kita bisa belajar kepada para ulama besar. Kebesaran mereka
tidak datang begitu saja, melainkan hasil dari perjuangan keras dan belajar
dengan serius.
Kita bisa mengambil satu contoh, yaitu Syah Waliyullah
ad-Dihlawi. Beliau lahir pada 4 Syawal 1114 H atau 21 Februari 1703 M di Delhi
atau Dihli, sehingga di belakang namanya tercantum sebutan ad-Dihlawi. Pada
usia 5 tahun ia masuk pendidikan dasar, dan pada usia 7 tahun ia pun telah
mampu menghafal al-Qur’an seluruhnya. Prestasi yang cukup mengagumkan ini
diikuti oleh berbagai prestasi lain, sehingga dalam usianya yang baru menginjak
15 tahun ia telah melengkapi diri dengan berbagai ilmu yang pada masanya
merupakan bahan kajian tingkat tinggi. Pada saat itu Syah Waliyullah bukan
hanya memperdalam ilmu hukum, tafsir, dan hadits, tetapi juga ilmu logika,
filsafat, astronomi, kedokteran, dan matematika, yang semuanya menjadi bekal
mengajar pada madrasah yang didirikan ayahnya.
Syah ’Abd ar-Rahim, ayah Syah Waliyullah, adalah ulama
terkemuka pada masanya, dan murid berbakat dari pemikir besar Mirza Muhammad
Zahid Hirawi (w. 1111 H). Dia juga anggota Tim Penyusun Fatawi Hindiyyah, sebuah kodifikasi yurisprudensi Islam berdasarkan
Madzhab Hanafi, yang disusun atas perintah Raja Aurangzeb, Bahadur Alamgir
(1618-1707 M.).
Dalam mendidik putranya, Syah ’Abd ar-Rahim tidak hanya
memperhatikan perkembangan intelektual dan pelajaran agama semata, melainkan
juga menaruh perhatian besar pada perkembangan aspek keruhanian melalui
latihan-latihan dalam tarekat. Beliau sendiri adalah pemimpin lokal dari
Tarekat Naqsyabandiyah. Setelah Syah ’Abd ar-Rahim meninggal pada tahun 1131
H/1719 M, tugas dan kedudukannya di madrasah dan khanqah digantikan Syah Waliyullah.
Pada tahun 1143 H/1731
M, Syah Waliyullah merantau ke Hijaz selama 14 bulan. Di sana ia memperdalam
ilmu-ilmu keagamaan, baik hadits, fikih, maupun tasawuf. Tentang perjalanan ke
Hijaz ini, umumnya penulis menyebut kemauan memperluas ilmu sebagai motivasi
utama, di samping menunaikan ibadah haji (A. Malik Madani, 2010: 23-24).
Perjuangan keras dalam
menuntut ilmu dan kemudian mengajarkan ilmunya menjadi ciri hampir semua ulama
besar dalam perjalanan panjang sejarah umat Islam. Syah Waliyullah ad-Dihlawi
merupakan sebuah contoh tentaang bagaimana kerasnya usaha dan kerja keras dalam
belajar.
Contoh lainnya adalah Syaikh Ali Thanthawi. Beliau bercerita tentang bagaimana aktivitasnya membaca.
“Jika dihitung bilangan jam waktu yang kupergunakan untuk membaca, niscaya
lebih dari sepuluh jam setiap hari, karena sejak kecil aku hampir jarang keluar
rumah. Jika dikalkulasi rata-rata setiap jamnya sepuluh halaman, dengan
perbandingan sepuluh halaman untuk buku berat dan sepuluh halaman untuk buku
ringan, niscaya setiap hari aku telah membaca dua ratus halaman. Maka coba
kalkulasikan sendiri berapa halaman yang telah kulahap semenjak pertama kali
menelaah buku hingga dalam rentang waktu tujuh puluh tahun.
Tujuh puluh tahun yang
dalam setahunnya ada dua belas bulan, tiap bulan terdiri dari tiga puluh hari,
lalu kali seratus halaman per hari. Sejak dulu hingga kini, aku masih eksis
membaca berbagai disiplin ilmu, semacam tafsir, fikih, tarikh, sastra (Arab dan
Prancis) dan disiplin ilmu yang lain.”
Jika diambil rata-rata,
beliau dalam sehari mampu menghabiskan 100 halaman. Dengan demikian, sampai
usia tujuh puluh tahun telah membaca paling tidak 2.520.000 halaman. Dan jika
dalam sehari mampu menelaah sampai 200 halaman, berarti beliau telah membaca
5.040.000 halaman dalam rentang waktu 70 tahun.
Syaikh Thanthawi juga
berkata, ”Aku juga telah menulis lebih banyak dibanding orang-orang yang
kukenal, kecuali beberapa orang semisal Amir Syakib Arsalan dan Abbas Mahmud
al-Akkad. Dan artikelku yang dimuat media massa lebih dari tiga belas ribu
halaman, sedangkan yang hilang sejumlah itu juga dan bahkan lebih” (Jasiem M.
Badr al-Muthowi’, 2004: 34-35).
Kisah hidup Syaikh Ali
Thanthawi, sebagaimana juga kisah hidup Syah Waliyullah, menunjukkan bagaimana
semangat menuntut ilmu yang sedemikian tinggi. Walaupun tidak secara eksplisit
disebutkan, tetapi tradisi belajar mereka diperoleh dari guru-guru mereka. Salam. [Kampus STAIN Tulungagung, Jum’at,
24/5/2013].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah berkenan membaca tulisan ini. Komentar anda sangat saya hargai.