Dalam buku karya Mega Hidayati ini disebutkan bahwa salah satu persoalan
penting, bahkan kritis, yang dihadapi oleh bangsa Indonesia adalah bagaimana
kita memahami satu sama lain dalam perbedaan. Perbedaan memang merupakan sebuah
khazanah yang berwajah ambigu; satu sisi bisa memperkaya warna hidup, namun di
sisi lain dapat mengarah pada kontak fisik dan konflik berkepanjangan.
Dalam masyarakat multikultur
dan multiagama seperti Indonesia, perbedaan merupakan realitas yang penuh
dengan beragam potensi destruktif. Setidaknya ada beberapa hal
negatif dalam menyikapi perbedaan. Pertama, prasangka. Salah satu yang
mempengaruhi prasangka adalah opini yang telah terbentuk atau identitas yang
telah diberikan oleh masyarakat tertentu. Prasangka ini kemudian memunculkan
efek kedua yang lebih buruk, yaitu munculnya kesalahpahaman.
Kesalahpahaman yang tidak terjembatani dapat memicu munculnya konflik dan kekerasan.
Oleh karena itu,
dibutuhkan usaha serius menjembatani perbedaan yang ada sehingga dapat
ditemukan penyelesaian yang tidak merugikan satu sama lain. Dialog nampaknya masih
tetap menjadi pilihan terbaik untuk memahami perbedaan menuju terwujudnya
toleransi kehidupan. Dalam kerangka inilah, pemikiran Hans-Georg Gadamer dapat
dijadikan sebagai pisau analisa dan alat bantu untuk membangun dialog dan
toleransi. Pikiran-pikiran Gadamer yang dieksplorasi secara mendalam dan
dijadikan alat analisis dalam buku ini terasa cukup aktual dan operatif.
Substansi pemikiran Gadamer adalah bagaimana masing-masing pihak menyadari
terhadap keterbatasannya. Tidak ada manusia yang sempurna. Semua manusia
memiliki keterbatasan. Kesadaran terhadap keterbatasan merupakan modal penting
dalam dialog. Ada pernyataan Gadamer
yang menarik yang dapat dijadikan sebagai titik pijak, “Orang yang
berpengalaman bukanlah mereka yang tahu lebih banyak sebagaimana pemikiran
umum, tetapi orang yang dapat membuka dirinya pada pengalaman baru dan mampu
belajar dari pengalaman tersebut” [hal. 37].
Kesadaran semacam
ini dapat diperoleh melalui dialog. Namun dialog yang dilakukan bukanlah
sebatas formalitas atau basa-basi. Dalam bahasa Gadamer, dialog bukanlah
sesuatu yang kita ciptakan, tetapi kita terlibat di dalamnya, dan ini merupakan
percakapan fundamental di mana tidak ada yang memimpin dan dipimpin. Pada
posisi semacam inilah, dimungkinkan tercapainya sebuah kebenaran sejati, yaitu
ketika masing-masing partisipan fokus seutuhnya pada inti diskusi dan menemukan
kebenaran-kebenaran. Percakapan sejati harus fokus untuk memperoleh argumen
yang kuat dari partisipan lain, bukan untuk mempertahankan pandangan sendiri
atau mengalahkan pandangan yang lain. Jika orientasinya bagaimana memenangkan
argumen masing-masing, maka kebenaran sejati tidak akan mungkin tercapai.
Untuk itu, dialog
haruslah dilandasi dengan keterbukaan, yaitu penerimaan terhadap pandangan
orang lain sebagai sesuatu yang layak untuk dipertimbangkan dan melihat apa
yang dikatakan, bukan siapa yang mengatakan. Keterbukaan bukan hanya melihat
apakah argumen orang lain bernilai, tetapi juga menyebabkan seseorang mempertimbangkan
kembali argumennya sendiri. Oleh karena itu, masing-masing pihak harus memiliki
sikap; saling menghormati, saling percaya, persamaan, memahami yang lain,
terbuka, belajar dari yang lain, dan kebebasan. Saling percaya dan saling
menghormati merupakan kunci untuk mencapai dialog yang penuh makna. Selain itu,
diperlukan peleburan cakrawala agar dapat saling memahami.
Agar dialog dapat
berfungsi dengan tepat, Gadamer memberikan beberapa persyaratan. Pertama, partisipan
menggunakan bahasa yang sama agar tidak terjadi kesalahpahaman. Bahasa yang
sama akan memungkinkan partisipan memasuki permainan bahasa melalui dialektika
bertanya dan menjawab.
Persyaratan kedua,
tidak ada partisipan dialog yang mengontrol percakapan. Jika partisipan
mengontrol, percakapan yang benar tidak akan terjadi karena hasilnya hanya
mencukupi keinginan partisipan yang mengontrol. Karena itu, percakapan tersebut
menjadi tidak berguna.
Persyaratan ketiga,
seseorang tidak memaksakan pandangannya pada orang lain, karena tujuan
percakapan bukan untuk menemukan pandangan yang sama. Jika masing-masing
partisipan memiliki pandangan yang berbeda, akan selalu ada kompromi. Jadi,
partisipan fokus pada usaha memperoleh argumen yang kuat, daripada
mempertahankan argumennya sendiri atau mengalahkan pandangan yang lain.
Persyaratan keempat,
partisipan fokus pada inti diskusi. Hanya dengan cara semacam ini dialog
yang benar dapat tercapai. Masing-masing partisipan harus konsentrasi pada
diskusi sehingga pernyataannya ditujukan pada kebenaran yang mungkin.
Persyaratan kelima
berkaitan dengan keterbukaan. Masing-masing partisipan harus membuka diri
dalam arti belajar dan menanggapi. Masing-masing partisipan seharusnya ingin
mempelajari pernyataan orang lain yang membawanya menanggapi pernyataan tersebut.
Keterbukaan diindikasikan dari masing-masing partisipan yang mengakui bahwa
yang lain memiliki nilai dalam opini mereka. Jadi, mereka saling menyimak,
bukan hanya mendengar sepintas lalu.
Persyaratan keenam
berhubungan dengan pertanyaan dan jawaban selama percakapan. Pertanyaan dan
jawaban ditujukan untuk menemukan kebenaran-kebenaran dan mengklarifikasi
prasangka. Lagi pula, pertanyaan-pertanyaan tersebut mensyaratkan pengetahuan
yang baru dan memelihara orientasi keterbukaan.
Persyaratan terakhir,
partisipan harus sadar dengan persyaratan-persyaratan di atas. Kesadaran
atas persyaratan-persyaratan ini akan mengarahkan percakapan berfungsi dengan
tepat (hal. 145-146).
Pemikiran filosof
Hans-Georg Gadamer terasa relevansinya dengan realitas aktual yang kini sedang
dihadapi oleh Indonesia. Perbedaan tidak akan bisa diselesaikan dengan jalan
kekerasan. Justru—meminjam terminologi Dom Helder Camara—kekerasan akan menjadi
spiral yang akan memicu lahirnya kekerasan demi kekerasan berikutnya. Alur
kekerasan ini harus diputus dengan melakukan dialog untuk menemukan kebenaran
sejati. Di sinilah kontribusi penting buku ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah berkenan membaca tulisan ini. Komentar anda sangat saya hargai.