Senin, 20 Mei 2013

BELAJAR TOLERAN KEPADA GADAMER [2]


Dalam buku karya Mega Hidayati ini disebutkan bahwa salah satu persoalan penting, bahkan kritis, yang dihadapi oleh bangsa Indonesia adalah bagaimana kita memahami satu sama lain dalam perbedaan. Perbedaan memang merupakan sebuah khazanah yang berwajah ambigu; satu sisi bisa memperkaya warna hidup, namun di sisi lain dapat mengarah pada kontak fisik dan konflik berkepanjangan.
Dalam masyarakat multikultur dan multiagama seperti Indonesia, perbedaan merupakan realitas yang penuh dengan beragam potensi destruktif. Setidaknya ada beberapa hal negatif dalam menyikapi perbedaan. Pertama, prasangka. Salah satu yang mempengaruhi prasangka adalah opini yang telah terbentuk atau identitas yang telah diberikan oleh masyarakat tertentu. Prasangka ini kemudian memunculkan efek kedua yang lebih buruk, yaitu munculnya kesalahpahaman. Kesalahpahaman yang tidak terjembatani dapat memicu munculnya  konflik dan kekerasan.
Oleh karena itu, dibutuhkan usaha serius menjembatani perbedaan yang ada sehingga dapat ditemukan penyelesaian yang tidak merugikan satu sama lain. Dialog nampaknya masih tetap menjadi pilihan terbaik untuk memahami perbedaan menuju terwujudnya toleransi kehidupan. Dalam kerangka inilah, pemikiran Hans-Georg Gadamer dapat dijadikan sebagai pisau analisa dan alat bantu untuk membangun dialog dan toleransi. Pikiran-pikiran Gadamer yang dieksplorasi secara mendalam dan dijadikan alat analisis dalam buku ini terasa cukup aktual dan operatif. Substansi pemikiran Gadamer adalah bagaimana masing-masing pihak menyadari terhadap keterbatasannya. Tidak ada manusia yang sempurna. Semua manusia memiliki keterbatasan. Kesadaran terhadap keterbatasan merupakan modal penting dalam dialog. Ada pernyataan Gadamer  yang menarik yang dapat dijadikan sebagai titik pijak, “Orang yang berpengalaman bukanlah mereka yang tahu lebih banyak sebagaimana pemikiran umum, tetapi orang yang dapat membuka dirinya pada pengalaman baru dan mampu belajar dari pengalaman tersebut” [hal. 37].
Kesadaran semacam ini dapat diperoleh melalui dialog. Namun dialog yang dilakukan bukanlah sebatas formalitas atau basa-basi. Dalam bahasa Gadamer, dialog bukanlah sesuatu yang kita ciptakan, tetapi kita terlibat di dalamnya, dan ini merupakan percakapan fundamental di mana tidak ada yang memimpin dan dipimpin. Pada posisi semacam inilah, dimungkinkan tercapainya sebuah kebenaran sejati, yaitu ketika masing-masing partisipan fokus seutuhnya pada inti diskusi dan menemukan kebenaran-kebenaran. Percakapan sejati harus fokus untuk memperoleh argumen yang kuat dari partisipan lain, bukan untuk mempertahankan pandangan sendiri atau mengalahkan pandangan yang lain. Jika orientasinya bagaimana memenangkan argumen masing-masing, maka kebenaran sejati tidak akan mungkin tercapai.
Untuk itu, dialog haruslah dilandasi dengan keterbukaan, yaitu penerimaan terhadap pandangan orang lain sebagai sesuatu yang layak untuk dipertimbangkan dan melihat apa yang dikatakan, bukan siapa yang mengatakan. Keterbukaan bukan hanya melihat apakah argumen orang lain bernilai, tetapi juga menyebabkan seseorang mempertimbangkan kembali argumennya sendiri. Oleh karena itu, masing-masing pihak harus memiliki sikap; saling menghormati, saling percaya, persamaan, memahami yang lain, terbuka, belajar dari yang lain, dan kebebasan. Saling percaya dan saling menghormati merupakan kunci untuk mencapai dialog yang penuh makna. Selain itu, diperlukan peleburan cakrawala agar dapat saling memahami.
Agar dialog dapat berfungsi dengan tepat, Gadamer memberikan beberapa persyaratan. Pertama, partisipan menggunakan bahasa yang sama agar tidak terjadi kesalahpahaman. Bahasa yang sama akan memungkinkan partisipan memasuki permainan bahasa melalui dialektika bertanya dan menjawab.
Persyaratan kedua, tidak ada partisipan dialog yang mengontrol percakapan. Jika partisipan mengontrol, percakapan yang benar tidak akan terjadi karena hasilnya hanya mencukupi keinginan partisipan yang mengontrol. Karena itu, percakapan tersebut menjadi tidak berguna.
Persyaratan ketiga, seseorang tidak memaksakan pandangannya pada orang lain, karena tujuan percakapan bukan untuk menemukan pandangan yang sama. Jika masing-masing partisipan memiliki pandangan yang berbeda, akan selalu ada kompromi. Jadi, partisipan fokus pada usaha memperoleh argumen yang kuat, daripada mempertahankan argumennya sendiri atau mengalahkan pandangan yang lain.
Persyaratan keempat, partisipan fokus pada inti diskusi. Hanya dengan cara semacam ini dialog yang benar dapat tercapai. Masing-masing partisipan harus konsentrasi pada diskusi sehingga pernyataannya ditujukan pada kebenaran yang mungkin.
Persyaratan kelima berkaitan dengan keterbukaan. Masing-masing partisipan harus membuka diri dalam arti belajar dan menanggapi. Masing-masing partisipan seharusnya ingin mempelajari pernyataan orang lain yang membawanya menanggapi pernyataan tersebut. Keterbukaan diindikasikan dari masing-masing partisipan yang mengakui bahwa yang lain memiliki nilai dalam opini mereka. Jadi, mereka saling menyimak, bukan hanya mendengar sepintas lalu.
Persyaratan keenam berhubungan dengan pertanyaan dan jawaban selama percakapan. Pertanyaan dan jawaban ditujukan untuk menemukan kebenaran-kebenaran dan mengklarifikasi prasangka. Lagi pula, pertanyaan-pertanyaan tersebut mensyaratkan pengetahuan yang baru dan memelihara orientasi keterbukaan.
Persyaratan terakhir, partisipan harus sadar dengan persyaratan-persyaratan di atas. Kesadaran atas persyaratan-persyaratan ini akan mengarahkan percakapan berfungsi dengan tepat (hal. 145-146).
Pemikiran filosof Hans-Georg Gadamer terasa relevansinya dengan realitas aktual yang kini sedang dihadapi oleh Indonesia. Perbedaan tidak akan bisa diselesaikan dengan jalan kekerasan. Justru—meminjam terminologi Dom Helder Camara—kekerasan akan menjadi spiral yang akan memicu lahirnya kekerasan demi kekerasan berikutnya. Alur kekerasan ini harus diputus dengan melakukan dialog untuk menemukan kebenaran sejati. Di sinilah kontribusi penting buku ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah berkenan membaca tulisan ini. Komentar anda sangat saya hargai.