Minggu, 19 Mei 2013

BELAJAR TOLERAN KEPADA GADAMER [1]


Setelah bertahun-tahun membaca sumber-sumber keislaman, saya semakin yakin bahwa Islam yang tidak humanistik adalah Islam yang keliru. Islam adalah pesan kasih sayang, rahmat, cinta, dan keindahan”.
Kalimat penuh kearifan ini diucapkan oleh Khaled M. Abou El-Fadl, guru besar hukum Islam dari UCLA, Amerika Serikat. Khaled adalah seorang intelektual yang memiliki perhatian serius terhadap dinamika umat Islam, terutama dengan fenomena gerakan Islam puritan. Ia merasa sangat resah dan prihatin dengan munculnya kelompok-kelompok di kalangan umat Islam yang dalam aksinya menggunakan cara-cara kekerasan, menebarkan ketakutan, dan menodai nilai-nilai kemanusiaan dengan berlindung di balik baju agama. Bagi Khaled, kelompok puritan jumlahnya tidak banyak, tetapi mereka semakin mewarnai wajah Islam karena aksinya yang memperoleh perhatian secara luas dari media. Sementara, Islam moderat yang penuh dengan kedamaian, mengedepankan cara-cara manusiawi, toleran, dan menghargai pluralitas justru menjadi “mayoritas diam”.
Kegelisahan Khaled menemukan relevansi faktualnya di Indonesia. Kekerasan berlatarbelakang agama masih saja terus terjadi. Rasanya sulit memahami bagaimana orang yang mengaku beragama tetapi dengan tega menindas dan bahkan membunuh mereka yang berbeda keyakinan.
Pada titik inilah, saya menemukan buku yang menarik sekaligus relevan untuk membaca realitas semacam ini. Memang bukan sebuah buku yang baru, tetapi saya melihat manfaat dan konteksnya masih cukup tinggi.
Buku ini saya beli langsung dari penulisnya, Mega Hidayati. Mega—begitu biasanya saya memanggil—adalah tipikal intelektual muda yang selalu penuh semangat. Riwayat pendidikannya juga mengagumkan. Kalau tidak salah ingat, Mega menyelesaikan S1 di UIN Sunan Kalijaga Jurusan Akidah Filsafat dan juga di S1 Sastra Inggris UGM. S2 dia selesaikan di CRCS UGM. Dan saat S3, ia menempuhnya di ICRS; sebuah program doktor kerjasama UGM, UIN, dan UKDW. Nah, saat dia mengambil mata kuliah di UIN itulah, aku beberapa kali sekelas.
Suatu ketika dia bercerita bahwa tesisnya tentang Gadamer akan terbit di Kanisius. Tentu ini prestasi yang luar biasa. Karena itu, saat ia membawa bukunya yang sudah terbit, saya segera membelinya. Saya baca buku itu. Luar biasa. Mungkin itulah ciri buku ilmiah; sulit dipahami. Tetapi tidak mengapa. Saya membacanya lagi, dan lumayan mendapatkan pemahaman yang lebih baik dibandingkan sebelumnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah berkenan membaca tulisan ini. Komentar anda sangat saya hargai.