Saya sedang
membuat artikel tentang Filsafat Ilmu Pengetahuan. Artikel ini membahas tentang
hal-ihwal pengetahuan ditinjau dari sudut pandang filsafat. Tetapi saya tidak
akan memaparkan substansi tulisan tersebut di catatan ini. Tulisan itu sendiri
tinggal editing akhir dan akan saya kirim ke sebuah Jurnal Ilmiah kampus.
Semoga saja ada yang mau memuatnya. Kalaupun tidak dimuat juga tidak apa-apa.
Saya berusaha membangun prinsip: tugas penulis ya menulis, sementara memuat itu
tugasnya redaksi. Kalaupun tidak dimuat, saya sangat yakin hanya waktu dan
kesempatan saja yang belum berpihak. Suatu saat tulisan yang tertolak itu pasti
ada gunanya. Dan yang penting, saya selalu berusaha merawat spirit menulis agar
tetap konsisten.
Menulis topik
Filsafat Ilmu Pengetahuan ini mengharuskan saya mencari berbagai referensi
pendukung. Dan alhamdulillah, Allah memudahkan saya dalam kerja ini. Walaupun
juga harus dipahami, bukan berarti tidak ada hambatan sama sekali.
Bersamaan dengan
penelusuran pustaka ini, saya menemukan sebuah tulisan tentang seorang profesor
ITS di Harian Jawa Pos edisi Jumat,
19 April 2013. Judul tulisan itu memikat saya, ”Abdullah Shahab Tak Merasa
Butuh Ponsel meski Banyak Aktivitas, Janjian Lancar dengan Memanfaatkan Telepon
Rumah dan Kantor”. Tulisan tentang Prof. Abdullah Shahab ini menarik karena
menurut saya, beliau adalah seorang intelektual yang mampu menjadikan dirinya
tidak terhegemoni oleh teknologi.
Saya pernah
hadir dalam sebuah seminar yang bertema “Integrasi Islam
dan Sains serta Etika Profesi dalam Implementasi Perkuliahan PAI dan Mata
Kuliah Berbagai Bidang Disiplin Ilmu”, oleh Pusat Pengembangan Agama Islam
Universitas Brawijaya, Kamis, 6 Mei 2010. Salah seorang
pembicaranya adalah Prof. Abdullah Shahab. Saya terpukau oleh kedalaman
wawasannya, termasuk wawasan agama Islam. Beliau sangat menguasai topik yang
dibawakan lengkap dengan landasan filosofisnya dalam Islam.
Berita di Jawa
Pos itu menulis dengan kalimat pembuka yang menarik. ”Sampai saat ini Prof Dr Ir Abdullah Shahab MSc belum punya ponsel.
Bukan karena dia tak sanggup membeli atau gaptek. Tetapi, pilihan itu
didasarkan pada sikap rasional untuk tidak terbawa arus”.
Pilihan beliau
tidak menggunakan ponsel bukan karena ingin tampil beda, tetapi lebih didasari oleh
pertimbangan yang rasional. ”Saya tak butuh alasan untuk pakai ponsel”, kata
beliau. Sebaliknya, beliau menjelaskan, orang yang menggunakan ponsel itu harus
punya alasan. Sebab, dulu, ketika orang tak punya ponsel, toh kehidupan juga
berlangsung dengan baik. Jika alasannya untuk memudahkan komunikasi, Prof.
Shahab menolaknya karena ternyata tidak selalu orang yang memiliki ponsel mudah
untuk dihubungi.
Tetapi
perspektif yang menarik—dan menurut saya filosofis—adalah saat beliau
menyatakan, para pengguna ponsel itu tidak serta merta diartikan sebagai
kalangan melek teknologi. Menurut Prof. Shahab, kebanyakan pengguna ponsel
hanyalah pemakai atau operator. Sementara itu, teknologi dalam ponsel tersebut
sama sekali tidak dikuasai.
Kondisi semacam
itu, tegas Prof. Shahab, malah akan membuat manusia jadi malas berpikir. Dengan
nada kritis, beliau mengatakan, ”Ibaratnya, jempolnya akan lebih besar dari
otaknya”. Ya, pengguna ponsel lebih banyak mendayagunakan jempolnya daripada
otaknya.
Walaupun tanpa
ponsel, kegiatan Prof. Shahab tetap berjalan lancar. Semua itu terjadi karena
beliau memiliki perencanaan yang matang.
Tulisan tentang Prof. Abdullah Shahab—Guru Besar
bidang Proses dan Manajemen Manufaktur ITS—mengajarkan kepada saya bahwa produk
teknologi seperti ponsel itu memang penting, tetapi jangan sampai keberadaannya
membuat kita kehilangan otonomi kemanusiaan kita. Ketika ponsel telah
’menjajah’, maka ponsel tidak lagi menjadi sarana untuk memudahkan kita dalam
menjalani kehidupan, Justru ponsel membuat kita tidak lagi manusiawi, hidup
merasa tidak sempurna, dan terbawa arus kehidupan yang sesungguhnya tidak ada
ujungnya. Pada titik inilah, pilihan sikap Prof. Abdullah Shahab—walaupun kita
tidak harus menyetujuinya—mengajarkan kepada kita untuk tidak taklid buta sepenuhnya kepada ponsel. Salam! [Kampus STAIN Tulungagung, 30 April 2013].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah berkenan membaca tulisan ini. Komentar anda sangat saya hargai.