Menulis sesunguhnya bukan hanya persoalan sulit atau
mudah. Sastrawan senior Arswendo Atmowiloto pernah menulis sebuah buku yang
terus mengalami cetak ulang sejak pertama terbit pada tahun 1980-an, judulnya Menulis Itu Gampang. Lewat buku yang
formatnya tanya jawab tersebut, Arswendo berusaha mematahkan mitos bahwa
menulis itu memang tidak sulit.
Banyak yang tidak setuju dengan pendapat Arswendo.
Tips-tips yang ia bagikan dalam bukunya ternyata tidak mudah dipraktikkan.
Banyak orang telah berusaha untuk menulis, tetapi lebih banyak yang gagal
daripada yang sukses. Seorang penulis senior mengatakan bahwa dari sepuluh
orang yang belajar menulis, ada satu yang sukses itu sudah merupakan hal luar
biasa. Selebihnya, gagal dalam menjalani proses.
Mencermati kondisi semacam ini, wajar jika sastrawan
Prof. Dr. Budi Darma membuat pernyataan yang bertentangan dengan pernyataan
Arswendo. Beliau mengatakan, ”menulis itu sulit”. Menghasilkan sebuah tulisan
membutuhkan proses dan perjuangan yang tidak ringan. Banyak yang tidak tahan
menjalaninya sehingga tulisan gagal dibuat. Kesibukan rutin, rasa malas,
kecilnya penghargaan, dan berbagai faktor lainnya yang menjadi penghambat
proses menulis.
Budaya menulis sebenarnya telah memiliki landasan yuridis
yang kokoh bagi berbagai profesi, khususnya guru dan dosen. Profesi pendidik
ini mensyaratkan membuat karya ilmiah dan juga karya penelitian untuk syarat
kenaikan pangkat. Ini berarti mereka harus menulis. Namun sayangnya, kewajiban
menulis ini tidak diikuti dengan pembinaan dan penumbuhan iklim yang memadai.
Akibatnya, karya tulis yang dihasilkan banyak yang sekadar memenuhi syarat
administratif agar lolos naik pangkat semata. Bahkan tidak jarang tulisan yang
dibuat tidak orisinil.
Menulis memang bukan hanya persoalan mudah atau sulit,
tetapi juga berkaitan dengan banyak faktor yang saling berkaitan antara satu
dengan yang lainnya. Pada titik pandang inilah, menulis lebih ditentukan oleh
”ruh”. ”Ruh” yang dimaksud adalah spirit kepenulisan. Spirit inilah yang menentukan
proses kepenulisan seseorang: apakah akan terus berkembang atau berhenti.
Kreativitas kepenulisan hanya dimiliki oleh mereka yang
mampu menjaga dan terus menghidupkan ”ruh” menulis. Penulis semacam ini selalu
berusaha berkarya dengan memanfaatkan segala hal yang mendukung lahirnya
tulisan.
Salah satu faktor yang dapat dimanfaatkan adalah SMS.
Mungkin Anda bertanya, bagaimana mungkin SMS dapat menjadi pendorong lahirnya
karya? Pertanyaan semacam ini wajar, tetapi bagi orang yang kreatif, SMS pun
dapat menjadi pemantik lahirnya sebuah karya.
SMS bukan hanya alat untuk mengirim pesan pendek, tetapi
juga dapat menjadi ”tambang ide” yang penuh dengan potensi. Ponsel dapat
menyimpan data-data penting. Penulis terkenal yang menggagas Mengikat Kata, Hernowo, juga sering
menulis lewat ponselnya. Penulis-penulis lainnya juga tidak sedikit yang
melakukan hal semacam ini.
Memang tidak mudah menangkap ide dan mengembangkannya
lewat ponsel. Tetapi bagi penulis kreatif, media apapun—termasuk ponsel—dapat
dijadikan wahana menulis.
Tetapi barangkali yang paling ”heboh” adalah menulis
novel via SMS. Penulis yang mampu melakukannya adalah seorang penulis Jepang
yang bernama Katsura Okiyama. Ia menulis di telepon selulernya. Lewat ponsel 3G
merek Sharp, ia telah menulis sebuah novel.
Novel ponsel–dalam bahasa Jepang disebut keita
shosetsu–pertamanya ditulis dengan kecepatan mengalahkan Barbara Cartland
menulis buku. “Saya pikir saya menulis 20 halaman dalam dua jam per hari. Itu
saya lakukan selama sebulan,” kata Okiyama, yang rata-rata menulis 100 pesan
pendek (SMS) untuk novelnya itu. “Saya menulis hanya saat bayi saya sedang
bobok.”
Media lain yang dapat menjadi pemantik munculnya karya
adalah twitter. Media jejaring sosial yang hanya memuat 140 karakter ini memang
sepintas tidak mungkin dipakai sebagai sarana menghasilkan tulisan. Tetapi di
tangan penulis kreatif yang memiliki ”ruh” menulis tinggi, twitter justru
dimanfaatkan secara kreatif bagi munculnya ide-ide segar kepenulisan.
Salah satu penulis Indonesia yang sukses menghasilkan
karya dari timeline twitter adalah
Ika Natassa. Profilnya dimuat di harian Jawa Pos edisi 27 Februari 2012. Ia
telah menulis lima buku. Debutnya adalah novel berjudul A Very Yuppy Wedding yang dirilis tahun 2007. Setahun kemudian terbit
Divortiare. Lalu, tahun 2010, dia
meluncurkan Underground. Dua buku
terbarunya hanya berjarak setahun, yaitu Antologi
Rasa dan Twivortiare pada 2011.
Novel Twivortiare itulah
yang menjadi bahan pembicaraan. Karya ini merupakan kelanjutan dari novel Divortaire yang telah terbit tahun 2008. Divortaire mengisahkan kisah cinta
Alexandra Rhea Wicaksono dan Beno. Pasangan ini pada akhir cerita dikisahkan
bercerai. Lewat novel Twivortiare, keduanya
dikisahkan berbaikan dan meresapi kembali makna cinta dalam kebersamaan yang
indah.
Novel Twivortiare menarik
bukan hanya karena tema dan cara menceritakan, tetapi juga konsepnya yang
benar-benar tidak jamak. Novel ini tidak banyak berisi rangkaian kata-kata,
tetapi memajang rangkaian posting tweet
tokoh utama. Media
apapun memungkinkan lahirnya sebuah karya. SMS, Twitter, Facebook, atau media
lainnya bisa menjadi sumber inspirasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah berkenan membaca tulisan ini. Komentar anda sangat saya hargai.