Senin, 22 April 2013

SMS, TWITTER, DAN INSPIRASI KEPENULISAN


Menulis sesunguhnya bukan hanya persoalan sulit atau mudah. Sastrawan senior Arswendo Atmowiloto pernah menulis sebuah buku yang terus mengalami cetak ulang sejak pertama terbit pada tahun 1980-an, judulnya Menulis Itu Gampang. Lewat buku yang formatnya tanya jawab tersebut, Arswendo berusaha mematahkan mitos bahwa menulis itu memang tidak sulit.
Banyak yang tidak setuju dengan pendapat Arswendo. Tips-tips yang ia bagikan dalam bukunya ternyata tidak mudah dipraktikkan. Banyak orang telah berusaha untuk menulis, tetapi lebih banyak yang gagal daripada yang sukses. Seorang penulis senior mengatakan bahwa dari sepuluh orang yang belajar menulis, ada satu yang sukses itu sudah merupakan hal luar biasa. Selebihnya, gagal dalam menjalani proses.
Mencermati kondisi semacam ini, wajar jika sastrawan Prof. Dr. Budi Darma membuat pernyataan yang bertentangan dengan pernyataan Arswendo. Beliau mengatakan, ”menulis itu sulit”. Menghasilkan sebuah tulisan membutuhkan proses dan perjuangan yang tidak ringan. Banyak yang tidak tahan menjalaninya sehingga tulisan gagal dibuat. Kesibukan rutin, rasa malas, kecilnya penghargaan, dan berbagai faktor lainnya yang menjadi penghambat proses menulis.
Budaya menulis sebenarnya telah memiliki landasan yuridis yang kokoh bagi berbagai profesi, khususnya guru dan dosen. Profesi pendidik ini mensyaratkan membuat karya ilmiah dan juga karya penelitian untuk syarat kenaikan pangkat. Ini berarti mereka harus menulis. Namun sayangnya, kewajiban menulis ini tidak diikuti dengan pembinaan dan penumbuhan iklim yang memadai. Akibatnya, karya tulis yang dihasilkan banyak yang sekadar memenuhi syarat administratif agar lolos naik pangkat semata. Bahkan tidak jarang tulisan yang dibuat tidak orisinil.
Menulis memang bukan hanya persoalan mudah atau sulit, tetapi juga berkaitan dengan banyak faktor yang saling berkaitan antara satu dengan yang lainnya. Pada titik pandang inilah, menulis lebih ditentukan oleh ”ruh”. ”Ruh” yang dimaksud adalah spirit kepenulisan. Spirit inilah yang menentukan proses kepenulisan seseorang: apakah akan terus berkembang atau berhenti.
Kreativitas kepenulisan hanya dimiliki oleh mereka yang mampu menjaga dan terus menghidupkan ”ruh” menulis. Penulis semacam ini selalu berusaha berkarya dengan memanfaatkan segala hal yang mendukung lahirnya tulisan.
Salah satu faktor yang dapat dimanfaatkan adalah SMS. Mungkin Anda bertanya, bagaimana mungkin SMS dapat menjadi pendorong lahirnya karya? Pertanyaan semacam ini wajar, tetapi bagi orang yang kreatif, SMS pun dapat menjadi pemantik lahirnya sebuah karya.
SMS bukan hanya alat untuk mengirim pesan pendek, tetapi juga dapat menjadi ”tambang ide” yang penuh dengan potensi. Ponsel dapat menyimpan data-data penting. Penulis terkenal yang menggagas Mengikat Kata, Hernowo, juga sering menulis lewat ponselnya. Penulis-penulis lainnya juga tidak sedikit yang melakukan hal semacam ini.
Memang tidak mudah menangkap ide dan mengembangkannya lewat ponsel. Tetapi bagi penulis kreatif, media apapun—termasuk ponsel—dapat dijadikan wahana menulis.
Tetapi barangkali yang paling ”heboh” adalah menulis novel via SMS. Penulis yang mampu melakukannya adalah seorang penulis Jepang yang bernama Katsura Okiyama. Ia menulis di telepon selulernya. Lewat ponsel 3G merek Sharp, ia telah menulis sebuah novel.
Novel ponsel–dalam bahasa Jepang disebut keita shosetsu–pertamanya ditulis dengan kecepatan mengalahkan Barbara Cartland menulis buku. “Saya pikir saya menulis 20 halaman dalam dua jam per hari. Itu saya lakukan selama sebulan,” kata Okiyama, yang rata-rata menulis 100 pesan pendek (SMS) untuk novelnya itu. “Saya menulis hanya saat bayi saya sedang bobok.”
Media lain yang dapat menjadi pemantik munculnya karya adalah twitter. Media jejaring sosial yang hanya memuat 140 karakter ini memang sepintas tidak mungkin dipakai sebagai sarana menghasilkan tulisan. Tetapi di tangan penulis kreatif yang memiliki ”ruh” menulis tinggi, twitter justru dimanfaatkan secara kreatif bagi munculnya ide-ide segar kepenulisan.
Salah satu penulis Indonesia yang sukses menghasilkan karya dari timeline twitter adalah Ika Natassa. Profilnya dimuat di harian Jawa Pos edisi 27 Februari 2012. Ia telah menulis lima buku. Debutnya adalah novel berjudul A Very Yuppy Wedding yang dirilis tahun 2007. Setahun kemudian terbit Divortiare. Lalu, tahun 2010, dia meluncurkan Underground. Dua buku terbarunya hanya berjarak setahun, yaitu Antologi Rasa dan Twivortiare pada 2011.
Novel Twivortiare itulah yang menjadi bahan pembicaraan. Karya ini merupakan kelanjutan dari novel Divortaire yang telah terbit tahun 2008. Divortaire mengisahkan kisah cinta Alexandra Rhea Wicaksono dan Beno. Pasangan ini pada akhir cerita dikisahkan bercerai. Lewat novel Twivortiare, keduanya dikisahkan berbaikan dan meresapi kembali makna cinta dalam kebersamaan yang indah.
Novel Twivortiare menarik bukan hanya karena tema dan cara menceritakan, tetapi juga konsepnya yang benar-benar tidak jamak. Novel ini tidak banyak berisi rangkaian kata-kata, tetapi memajang rangkaian posting tweet tokoh utama. Media apapun memungkinkan lahirnya sebuah karya. SMS, Twitter, Facebook, atau media lainnya bisa menjadi sumber inspirasi. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah berkenan membaca tulisan ini. Komentar anda sangat saya hargai.