Tanggal 2 April lalu saya membuat catatan
dengan judul TERBURU-BURU. Catatan tersebut mendapatkan tanggapan dan komentar dari banyak teman yang
membaca. Bahkan ada seorang sahabat yang meminta saya menulis topik yang secara
langsung berkaitan dengan tema tersebut, yaitu sabar dan sukses.
Permintaan teman
tersebut disampaikan via inbox beberapa hari lalu. Sebenarnya saya ingin segera
memenuhi permintaan tersebut, tetapi ada berbagai hal yang membuat saya belum
berhasil memenuhinya. Alasan yang paling klasik adalah kesibukan.
Selain itu, wawasan
saya tentang tema ini kurang luas. Saya harus membuka dan mencari buku-buku
yang mengulas tema ini. Saya tidak ingin menjawab secara asal-asalan. Paling
tidak ada buku rujukan yang menjadi dasar saya menulis, walaupun dalam tulisan
ini tidak saya cantumkan secara ketat seperti tulisan ilmiah [makalah, skripsi,
tesis, disertasi, dan sejenisnya].
Hasil penelusuran
saya menemukan bahwa kata sabar bentuk aslinya adalah shabar dari akar kata shabara-yashbiru-shabran,
yang memiliki beberapa arti. Salah satu artinya adalah: tahan menderita
sesuatu (tidak lekas marah, tidak lekas patah hati, tidak lekas putus asa, dan
sebagainya), tenang, tidak tergesa-gesa, tidak terburu nafsu. Arti lainnya
adalah: akraha, alzama=memaksa,
mewajibkan; amsaka: menahan,
mencegah.
Mahmud Sujuthi
(1995: 66-67) menjelaskan bahwa di dalam al-Qur’an terdapat tiga buah kisah
tentang ”peristiwa sabar” dalam versi yang berbeda sekaligus menggambarkan tiga
wajah makna sabar.
Kisah pertama
adalah tentang Nabi Ibrahim, sebagaimana termuat dalam ayat 100 sampai ayat 111
Surat Ash-Shaffat. Ayat ini memuat kisah pengorbanan yang tiada tara sepanjang
sejarah hidup manusia. Seorang yang telah ”tega” menyembelih seorang anak yang
sangat dicintai dan disayanginya. Semua itu dilakukan oleh Ibrahim karena satu
alasan: perintah Allah. Berkaitan dengan perintah ini, Sujuthi menulis bahwa
sebagai manusia biasa, bukan tidak mungkin hati Ibrahim bergejolak saat
menerima perintah tersebut. Namun sebagai manusia pilihan, dengan ikhlas dan
tawakkal, Ibrahim ”siap” melaksanakan perintah Ilahi. Apa yang dilakukan
Ibrahim merupakan bentuk sabar dalam
menaati perintah Allah.
Kisah kedua
adalah tentang Nabi Yusuf, waktu digoda oleh Zulaikha, istri tuannya sendiri
(ayat 23 sampai 35 Surat Yusuf). Sebagai laki-laki normal, sebenarnya Yusuf
juga tertarik oleh kecantikan Zulaikha. Secara menarik Sujuthi menyebut
Zulaikha sebagai wanita yang sangat ”marak” dan ”menyala”. Hampir-hampir saja
Yusuf terjerumus ke lembah nista, seandainya dia tidak melihat ”burhan”, yaitu
petunjuk yang nyata dari Allah, sehingga nafsu yang sudah bergolak dan berkobar
itu padam seketika. Kisah Nabi Yusuf memberikan indikasi tentang sabar jenis
kedua, yaitu sabar menjauhi maksiat.
Kisah ketiga
adalah tentang Nabi Ayub, yang mendapat ujian dan cobaan yang sangat berat
(Surat Shad ayat 41 s/d 44; Surat Al-Anbiya’ ayat 83). Harta benda habis ludes,
sang istri yang semula setia merawatnya akhirnya tidak tahan lagi dan
meninggalkannya. Duka nestapa dialami Nabi Ayub seorang diri. Namun demikian,
Ayub tidak pernah mengeluh, tidak pernah mengaduh, apalagi menunjukkan sikap
”jengkel” terhadap Allah yang telah menimpakan ujian dan cobaan demikian
hebatnya. Dikala derita sampai pada puncaknya dan rasa sakit yang luar biasa
pedihnya, dengan bibir gemetar dan suara yang nyaris tidak terdengar, Ayub
munajat ke hariaan Ilahi: Ya Rabbi,
sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit dan Engkaulah Yang Paling Penyayang. Alangkah
halus dan lembutnya doa permohonan Ayub. Dia ”hanya melaporkan” bahwa penyakit
yang dideritanya sudah sangat berat dan membahayakan jiwanya. Ayub tidak
terus-terang memohon diberi kesembuhan oleh Allah. Dia hanya memuji dan
”melaporkan” saja. Soal sembuh atau tidak itu urusan Allah.
Berkat kesabaran
Ayub yang luar biasa, akhirnya Ayub diberi kesembuhan, diganti lagi anak-anak
dan harta yang telah lenyap dengan yang lebih baik dan lebih banyak, termasuk
kembalinya sang istri yang sangat dicintainya.
Dengan demikian,
Sujuthi (1995: 68) menyimpulkan ada beberapa jenis sabar. Pertama, sabar melaksanakan perintah atau taat. Kedua, sabar menjauhi maksiat. Ketiga, sabar menghadapi musibah.
Kajian pustaka
yang dilakukan Sujuthi menemukan adanya sabar keempat, yaitu sabar menerima nikmat. Nikmat tidak hanya harus
disyukuri, tetapi juga harus disabari. Sabar menerima nikmat berarti
mengendalikan diri dalam menggunakan nikmat agar tidak terjerumus dalam sikap berlebihan
dan melampaui batas.
Ada banyak hal yang ingin saya ulas lagi, tetapi mohon
sabar menunggu catatan selanjutnya.
Salam!. Parakan Trenggalek, Sabtu,
20/4/2013.
nggeh.. nggeh.. saya sabar menunggu tulisan lanjutannya pak!
BalasHapusJadi tertantang untuk segera menyelesaikannya karena ada yang SABAR menunggu.
HapusSaya tidak nantang lho pak! Menikmati mawon. hehehe ...
HapusJebul ono foto sing ora koyo iklan he he he
Hapushahahaa... tapi sepeprtinya gimana...gitu!
Hapus