Bagian Kedua
Penelusuran
pustaka saya mengenai sabar mengantarkan
saya pada buku monumental karya Daniel Goleman, Emotional Intelligence. Buku ini belum pernah saya baca sampai
tuntas, tetapi beberapa kali saya membacanya secara skimming demi kepentingan tertentu, seperti saat menulis catatan
ini.
Pada bab empat
bukunya (2005: 62-63), ada cerita menarik mengenai sabar. Goleman mengisahkan tentang
seorang samurai Jepang yang suka bertarung. Samurai itu menantang guru Zen
untuk menjelaskan konsep surga dan neraka. Tetapi, pendeta itu menjawab dengan
nada menghina, ”Kau hanyalah orang bodoh—aku tidak mau menyia-nyiakan waktu
untuk orang macam kamu!”
Merasa harga
dirinya direndahkan, samurai itu naik darah. Sambil menghunus pedang ia
berteriak. ”Aku dapat membunuhmu karena kekurangajaranmu.”
”Nah,” jawab
pendeta itu dengan tenang, ”itulah neraka.”
Takjub melihat
kebenaran yang ditunjukkan oleh sang guru akan amarah yang menguasai dirinya,
samurai itu menjadi tenang, menyarungkan pedangnya, dan membungkuk sambil
mengucapkan terima kasih kepada pendeta itu atas penjelasannya.
”Dan,” kata sang
pendeta, ”itulah surga.”
Kisah ini
memberikan sebuah pembelajaran penting mengenai satu hal: kesadaran-diri. Goleman memaksudkannya sebagai perhatian secara
terus-menerus terhadap keadaan batin seseorang. Kesadaran diri bukanlah
perhatian yang larut ke dalam emosi, bereaksi secara berlebihan dan
melebih-lebihkan apa yang dicerap. Kesadaran-diri lebih merupakan modus netral
yang mempertahankan refleksi-diri, bahkan di tengah badai.
Goleman tidak
berbicara secara eksplisit mengenai sabar. Tetapi sepanjang saya baca dan
pahami uraian tentang kesadaran-diri, saya memahaminya sebagai sabar. Hal ini
dijelaskan lebih lanjut oleh Goleman (2005: 65) saat ia membangun tipologi
gaya-gaya khas orang dalam menangani dan mengatasi emosi. Ia membaginya menjadi
tiga; sadar diri, tenggelam dalam masalah, dan pasrah.
Saya akan fokus
saja pada sadar diri. Dua yang lainnya tidak perlu saya ulas. Berkaitan dengan
sadar ini, Goleman menjelaskan bahwa orang yang sadar diri itu peka akan
suasana hati ketika mengalami. Kejernihan pikiran mereka tentang emosi boleh
jadi melandasi ciri-ciri kepribadian lain: mereka mandiri dan yakin akan
batas-batas yang mereka bangun, kesehatan jiwanya bagus, dan cenderung
berpendapat positif akan kehidupan. Bila suasana hatinya sedang jelek, mereka
tidak risau dan tidak larut ke dalamnya, dan mereka mampu melepaskan diri dari
suasana itu dengan lebih cepat. Dan menurut saya, orang sadar diri inilah yang
disebut dengan orang sabar.
Melengkapi uraian tentang sabar ini, dalam buku saya Character Building (Yogyakarta: Ar-Ruzz
Media, 2012), saya kembali mengutip Goleman yang berkisah tentang enam mahasiswa yang sedang bercengkerama
sambil main kartu. Tiba-tiba, keributan pecah dalam kumpulan enam mahasiswa
ini. Silang pendapat antara Mack dan Ted semakin seru dan memanas sampai Mack
naik pitam, berteriak dan memaki—sedangkan Ted tetap tenang dan waspada. Namun,
emosi Mack sudah tidak terkendali; ia berdiri dan menantang Ted berkelahi. Ted
menanggapi tantangan Mack dengan tenang sekali, antara lain mengatakan bahwa ia
akan melayani keinginan Mack, tapi kalau permainan kartu sudah selesai.
Mack, walaupun darahnya sudah naik sampai ke ubun-ubun,
terpaksa setuju. Selama beberapa menit kemudian permainan berlanjut. Semua
teman yang lain mengikuti saran Ted untuk menuntaskan permainan, seolah-olah
tadi tidak ada keributan. Ini memeri kesempatan kepada Mack untuk menenangkan
hati dan menjernihkan pikirannya. Pada akhir permainan Ted dengan tenang
berkata kepada Mack, ”Sekarang, kalau kamu masih ingin melanjutkan pembicaraan
tadi, mari kita selesaikan.” Namun, Mack, yang sudah berkesempatan merenungkan
seluruh kejadian, minta maaf atas
ledakan emosinya [Anda bisa
membaca lebih lengkapnya di buku saya, khususnya halaman 78-80]..
Kisah antara Mack dan Ted ini menunjukkan betapa
kecerdasan emosional yang termanifestasi—salah satunya—dalam sifat sabar memiliki peranan penting saat menghadapi situasi yang
rumit. Bisa Anda bayangkan apa jadinya jika Ted menanggapi tantangan Mack
secara emosional juga. Tentu, perkelahian pun tidak dapat di antara. Ketenangan
dan kesabaran Ted merupakan sebuah bukti mengenai bagaimana kecerdasan
emosional memainkan peranan penting dalam kehidupan.
Uraian ini,
Insyaallah, akan saya lanjutkan tentang bagaimana penelitian mengenai melatih
kesabaran pada anak-anak sekolah. Kalau Anda sabar, catatan ini akan kembali menyapa Anda besok. Salam! [Parakan Trenggalek, 21 April 2012].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah berkenan membaca tulisan ini. Komentar anda sangat saya hargai.