Minggu, 21 April 2013

SABAR (BAGIAN KEDUA)


Bagian Kedua


Penelusuran pustaka saya mengenai sabar mengantarkan saya pada buku monumental karya Daniel Goleman, Emotional Intelligence. Buku ini belum pernah saya baca sampai tuntas, tetapi beberapa kali saya membacanya secara skimming demi kepentingan tertentu, seperti saat menulis catatan ini.
Pada bab empat bukunya (2005: 62-63), ada cerita menarik mengenai sabar. Goleman mengisahkan tentang seorang samurai Jepang yang suka bertarung. Samurai itu menantang guru Zen untuk menjelaskan konsep surga dan neraka. Tetapi, pendeta itu menjawab dengan nada menghina, ”Kau hanyalah orang bodoh—aku tidak mau menyia-nyiakan waktu untuk orang macam kamu!”
Merasa harga dirinya direndahkan, samurai itu naik darah. Sambil menghunus pedang ia berteriak. ”Aku dapat membunuhmu karena kekurangajaranmu.”
”Nah,” jawab pendeta itu dengan tenang, ”itulah neraka.”
Takjub melihat kebenaran yang ditunjukkan oleh sang guru akan amarah yang menguasai dirinya, samurai itu menjadi tenang, menyarungkan pedangnya, dan membungkuk sambil mengucapkan terima kasih kepada pendeta itu atas penjelasannya.
”Dan,” kata sang pendeta, ”itulah surga.”
Kisah ini memberikan sebuah pembelajaran penting mengenai satu hal: kesadaran-diri. Goleman memaksudkannya sebagai perhatian secara terus-menerus terhadap keadaan batin seseorang. Kesadaran diri bukanlah perhatian yang larut ke dalam emosi, bereaksi secara berlebihan dan melebih-lebihkan apa yang dicerap. Kesadaran-diri lebih merupakan modus netral yang mempertahankan refleksi-diri, bahkan di tengah badai.
Goleman tidak berbicara secara eksplisit mengenai sabar. Tetapi sepanjang saya baca dan pahami uraian tentang kesadaran-diri, saya memahaminya sebagai sabar. Hal ini dijelaskan lebih lanjut oleh Goleman (2005: 65) saat ia membangun tipologi gaya-gaya khas orang dalam menangani dan mengatasi emosi. Ia membaginya menjadi tiga; sadar diri, tenggelam dalam masalah, dan pasrah.
Saya akan fokus saja pada sadar diri. Dua yang lainnya tidak perlu saya ulas. Berkaitan dengan sadar ini, Goleman menjelaskan bahwa orang yang sadar diri itu peka akan suasana hati ketika mengalami. Kejernihan pikiran mereka tentang emosi boleh jadi melandasi ciri-ciri kepribadian lain: mereka mandiri dan yakin akan batas-batas yang mereka bangun, kesehatan jiwanya bagus, dan cenderung berpendapat positif akan kehidupan. Bila suasana hatinya sedang jelek, mereka tidak risau dan tidak larut ke dalamnya, dan mereka mampu melepaskan diri dari suasana itu dengan lebih cepat. Dan menurut saya, orang sadar diri inilah yang disebut dengan orang sabar.
Melengkapi uraian tentang sabar ini, dalam buku saya Character Building (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2012), saya kembali mengutip Goleman yang berkisah tentang enam mahasiswa yang sedang bercengkerama sambil main kartu. Tiba-tiba, keributan pecah dalam kumpulan enam mahasiswa ini. Silang pendapat antara Mack dan Ted semakin seru dan memanas sampai Mack naik pitam, berteriak dan memaki—sedangkan Ted tetap tenang dan waspada. Namun, emosi Mack sudah tidak terkendali; ia berdiri dan menantang Ted berkelahi. Ted menanggapi tantangan Mack dengan tenang sekali, antara lain mengatakan bahwa ia akan melayani keinginan Mack, tapi kalau permainan kartu sudah selesai.
Mack, walaupun darahnya sudah naik sampai ke ubun-ubun, terpaksa setuju. Selama beberapa menit kemudian permainan berlanjut. Semua teman yang lain mengikuti saran Ted untuk menuntaskan permainan, seolah-olah tadi tidak ada keributan. Ini memeri kesempatan kepada Mack untuk menenangkan hati dan menjernihkan pikirannya. Pada akhir permainan Ted dengan tenang berkata kepada Mack, ”Sekarang, kalau kamu masih ingin melanjutkan pembicaraan tadi, mari kita selesaikan.” Namun, Mack, yang sudah berkesempatan merenungkan seluruh kejadian, minta maaf atas  ledakan emosinya [Anda bisa membaca lebih lengkapnya di buku saya, khususnya halaman 78-80]..
Kisah antara Mack dan Ted ini menunjukkan betapa kecerdasan emosional yang termanifestasi—salah satunya—dalam sifat sabar memiliki peranan penting saat menghadapi situasi yang rumit. Bisa Anda bayangkan apa jadinya jika Ted menanggapi tantangan Mack secara emosional juga. Tentu, perkelahian pun tidak dapat di antara. Ketenangan dan kesabaran Ted merupakan sebuah bukti mengenai bagaimana kecerdasan emosional memainkan peranan penting dalam kehidupan.
Uraian ini, Insyaallah, akan saya lanjutkan tentang bagaimana penelitian mengenai melatih kesabaran pada anak-anak sekolah. Kalau Anda sabar, catatan ini akan kembali menyapa Anda besok. Salam! [Parakan Trenggalek, 21 April 2012].

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah berkenan membaca tulisan ini. Komentar anda sangat saya hargai.