Iklan yang dibuat
Jaringan Islam Liberal (JIL) sekitar tahun 2003 yang bertema “Islam Warna
Warni” menimbulkan berbagai protes. Iklan tersebut dinilai kurang sesuai dengan
Islam. Salah satu argumen pemrotes adalah Islam itu satu. Kata warna-warni
menunjukkan bahwa Islam itu tidak satu, tetapi bermacam-macam.
JIL merupakan salah satu
organisasi yang kiprahnya sering menjadi sorotan, khususnya berkaitan
dengan pemikiran yang mereka usung. Kata liberal menjadi spirit dasar dalam
pemikiran yang mereka kembangkan. Kelompok liberal berusaha menafsirkan ulang
ajaran Islam dan mengontekstualisasikannya dengan
perkembangan zaman sehingga Islam mampu merespon masalah keumatan. Kelompok ini
mencoba melakukan reinterpretasi ajaran Islam dengan lebih mengedepankan rasio
daripada wahyu.
Di sisi yang berbeda,
hadir juga ”wajah” Islam yang juga
banyak menarik perhatian publik, yakni Front Pembela Islam (FPI). FPI merupakan ormas yang cukup
sering di-cover media dalam
hubungannya dengan kehidupan sosial keagamaan di Indonesia. Kiprah FPI yang
disorot—terutama—berkaitan dengan aksi-aksinya yang sarat dengan kekerasan, seperti
merusak tempat-tempat hiburan malam, kafe, diskotik, dan tempat-tempat lain
yang dinilai sebagai sarang kemaksiatan.
FPI dideklarasikan pada 7 Agustus 1998 oleh Mohammad Rizieq Shihab. Ia merupakan
kelompok yang didirikan para habib yang berusaha menegakkan amar ma’ruf nahi
munkar agar tercipta masyarakat madani. Namun dalam implementasinya, gerakan
mereka ternyata lebih banyak menggunakan jalan kekerasan, bukan jalan damai.
JIL dan FPI adalah dua contoh organisasi yang keberadaan,
kiprah, dan aksi-aksinya sering menimbulkan kontroversi. Cara berpikir dan
bertindak mereka sering dinilai tidak sesuai dengan tradisi Indonesia. JIL
dengan watak liberalnya dinilai sarat dengan kepentingan Barat. Sementara FPI mewakili
karakteristik tekstualis yang memahami teks secara apa adanya. Mereka menolak
realitas yang tidak sesuai dengan ajaran normatif teks sebagaimana yang mereka
pahami. Agar realitas ’sesuai’ dengan bunyi teks, cara apa pun mereka lakukan,
termasuk dengan kekerasan.
Dua kelompok ini secara umum menimbulkan resistensi. Ada
beragam tanggapan, respon, komentar, dan juga kritik terhadap peran dan kiprah
mereka. Secara prinsip, dalam konteks kehidupan yang berbasis demokrasi, semua
orang atau kelompok berhak hidup di Indonesia, sepanjang tidak melanggar aturan
hukum yang berlaku.
Secara normatif, Islam sesungguhnya tunggal. Rujukannya
adalah al-Qur’an dan Hadis. Tetapi dalam realitasnya, Islam bisa tampil dengan
”wajah” yang beragam. Ada Islam yang tampil dengan ”wajah” lembut, ”wajah”
sangar, ”wajah” rasional, dan berbagai manifestasi lainnya. Selain itu, ada
juga Islam yang masuk dalam ranah politik, sosial, budaya, pendidikan, dan
ekonomi.
Keragaman ”wajah” Islam ini setidaknya disebabkan oleh
dua hal. Pertama, ajaran-ajaran di
dalam Islam tidak semuanya bercorak satu pemaknaan. Ada beragam tafsir terhadap
ajaran Islam. Keragaman ini disebabkan oleh faktor lingkungan, budaya,
pendidikan, dan juga faktor-faktor lain yang saling berkaitan satu sama lain.
Hal ini dapat dicermati dari munculnya madzhab-madzhab dan aliran-aliran Islam.
Kedua, pada level praktis, keragaman
semakin terbuka karena usaha implementasi ajaran agama Islam dalam kehidupan
sehari-hari yang tidak lepas dari konteks budaya. Dialektika Islam dengan
budaya lokal menghasilkan karakteristik Islam yang khas.
Era reformasi menjadi pintu bagi lahirnya kebebasan dalam
skala luas. Dalam kehidupan sosial keagamaan, muncul puluhan organisasi dengan
ideologi dan orientasi gerakan yang berbeda. Masing-masing berusaha untuk
tampil merebut perhatian publik, menunjukkan eksistensinya, dan menyebarkan
pengaruh lewat beragam cara.
Bukan hal mudah untuk memahami keberadaan setiap
organisasi. Selain jumlahnya yang cukup banyak, juga karena dalam satu
organisasi sendiri memiliki ”sayap-sayap” tersendiri. Tentu saja, kondisi
semacam ini menambah kompleks dan rumit.
Kemunculan dua ”wajah” Islam—tektualis dan liberal—yang
sering menimbulkan kontroversi merupakan konsekuensi dari kehidupan demokrasi.
Pilihan gerakan mereka memang seharusnya kita hormati. Tetapi sebenarnya secara
sederhana kita dapat menyatakan bahwa Islam tekstualis berusaha mengusung
”wajah” Arab ke Indonesia karena mereka memaksakan ajaran agama secara
tekstualis, sementara Islam liberal berusaha mengusung ”wajah” Barat ke
Indonesia karena pemikiran mereka memang banyak yang diimpor dari Barat.
Kita selayaknya belajar pada para tokoh-tokoh besar
Indonesia yang mampu menerapkan ajaran Islam secara baik, namun juga mempertahankan
warna budaya dan tradisi Indonesia. Mereka menempuh pendidikannya di luar
negeri namun tidak membawa, apalagi memaksakan budaya luar negeri, saat mereka
kembali ke Indonesia. Pola keberagamaan yang mereka terapkan adalah
”menusantarakan Islam” (meminjam istilah Dr. Aksin Wijaya) atau
”mengindonesiakan Islam” (meminjam istilah Dr. Mujiburrohman), bukan ”mengislamkan
nusantara” atau ”mengislamkan Indonesia”.
Kiai Hasyim Asy’ari misalnya, belajar Islam langsung ke
pusatnya Islam, yaitu Mekah. Namun beliau tidak lantas membawa mentah-mentah
budaya Arab ke Indonesia. Bertahun-tahun belajar dan tinggal di Arab Saudi,
tetapi tetap menjadi orang Indonesia. Berperilaku dan berpakaian sebagai orang
Indonesia. Dalam banyak hal yang sangat mendasar bahkan beliau mengkritik
tradisi dan pemikiran Islam yang tumbuh di Saudi Arabia, yang dikenal
literalistik dan kurang menghargai tradisi. Kiai Hasyim dan juga kiai-kiai lain
yang lama belajar di Saudi Arabia dan Timur Tengah tidak mempromosikan pakaian
gamis model Arab. Mereka hanya mengenakan pakaian gamis sewaktu shalat saja.
Tetapi ketika ke luar rumah, semuanya berpakaian ala Indonesia.
Kita juga bisa belajar pada Bung Hatta yang lama tinggal
di Eropa, tetapi tetap menjadi orang Indonesia. Menjaga dan memperjuangkan
kepribadian Indonesia. Meski lama tinggal di Barat, mendalami ilmu dari Barat,
tetapi beliau berani berkonfrontasi dengan Barat ketika kekuatan Barat
merugikan bangsanya sendiri.
Potret kedua tokoh besar Indonesia dapat kita jadikan
sebagai cermin dalam berislam. Berislam yang tumbuh dalam kultur Indonesia
seyogyanya sesuai dengan budaya Indonesia, bukan yang kearab-araban atau kebarat-baratan.
Sekarang ini yang dibutuhkan adalah Islam yang mampu berinteraksi dengan budaya
Indonesia. Islam semacam inilah yang mampu menghadirkan interaksi kondusif
dalam kehidupan masyarakat Indonesia yang multikultural.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah berkenan membaca tulisan ini. Komentar anda sangat saya hargai.