Minggu, 24 Mei 2020

Takbiran dan Bangku Sekolah


Ngainun Naim
Kenangan

Shalat magrib baru saja usai aku tunaikan. Tidak seberapa lama kemudian terdengar takbir dari berbagai masjid dan mushola. Takbir menjadi pertanda bahwa Ramadhan telah usai.
Saat mendengarkan takbir pada lebaran kali ini, hati terasa perih. Entahlah, aku berusaha menyembunyikan keperihan hati ini. Rasa itu begitu menyayat. Tidak mudah melukiskannya dalam barisan kata-kata, tetapi aku benar-benar merasakannya.
Ya, inilah malam menjelang lebaran yang pertama kali dalam sejarah hidupku dalam suasana duka. Kepergian Bapak dua minggu lalu benar-benar meninggalkan rasa pedih mendalam. Sebuah rasa yang meskipun aku usahakan untuk tidak aku ekspresikan dalam aktivitas sehari-hari, tetapi pada saat tertentu aku benar-benar tak kuasa menahannya.
Tidak ada manusia yang sangat kuat. Sedih selalu beriringan dengan bahagia. Hanya soal waktu. Tidak ada orang yang selalu bisa merasakan bahagia karena sesungguhnya bahagia akan bisa dirasakan oleh orang yang pernah merasakan sedih.
Tetiba aku teringat akan sebuah kenangan. Kenangan indah di mana pada malam takbiran saat aku usia SD sampai MTsN, Bapak selalu memerintahkan satu hal, yaitu meminjam bangku dan kursi dari SD tempatku sekolah. Hal ini dilakukan karena memang meja kursi di rumah pasti tidak mampu menampung tamu yang datang melimpah sejak hari pertama sampai hari ketujuh. Bahkan setelah hari ketujuh lebaran pun selalu saja ada tamu yang datang ke rumah.
Kami harus meminjam bangku dan kursi karena memang tidak memiliki bangku dan kursi dalam jumlah yang memadai di rumah. Adanya hanya 3 kursi kecil dan satu kursi besar plus satu meja. Jelas itu tidak mampu menampung jumlah tamu yang berlimpah. Pinjam ke SD merupakan pilihan karena memang itu yang gratis. Selain memang pada masa itu—mungkin juga sampai kini—tidak lazim di daerah kami ada peminjaman bangku dan kursi.
Usai shalat magrib aku dan adik lelakiku bergegas ke SDN Sambidoplang. Tujuanku adalah menemui Pak Ambyah, penjaga SD. Begitu aku datang beliau sudah paham. Segera beliau mengambil kunci ruangan lalu memberitahukan agar bangku kursi sesegera mungkin dikembalikan pada hari ketujuh. Aku pun mengiyakan.
Maka pada malam gelap gulita itu aku harus menggendong bangku dan kursi dalam beberapa kali usungan. Maklum waktu itu belum ada aliran listrik. Jarak antara SDN dengan rumahku sekitar 400 meter. Sebuah jarak yang cukup lumayan. Selama beberapa kali aku dan adikku pulang pergi mengusung bangku dan kursi itu. Mungkin jika dihitung bisa lebih dari 3 kilometer.
Aku tidak ingat persis bagaimana kami tidak meminjam bangku dan kursi lagi. Seingatku Bapak memiliki meja panjang dan kursi panjang sendiri sehingga kami tidak lagi meminjamnya ke SD. Semuanya telah berlalu tetapi kenangan itu selalu muncul dalam ingatan setiap malam menjelang lebaran.
Hidup memang terdiri dari bongkahan kepingan ingatan. Semuanya harus disyukuri. Aku sungguh bersyukur memiliki orang tua yang visioner. Orang tua yang memimpikan anak-anaknya mendapatkan pendidikan memadai. Kadang aku berpikir dari mana Bapak memiliki mimpi yang sedemikian besar. Mimpi yang sedemikian teguh, meskipun kadang juga luluh oleh satu dan lain keadaan.
Pada lebaran ini, ketika Bapak telah pergi, hanya doa terbaik yang aku dan saudara semua panjatkan. Doa demi doa terus saja kami lantunkan agar beliau mendapatkan tempat yang layak di sisi-Nya. Bagi kami anak-anak dan cucu-cucu Bapak, semoga diberi keberkahan dalam hidup. Amin.

Parakan, 24 Mei 2020

26 komentar:

  1. Aamiin...sugeng riyadin pak 🙏🙏
    Lebaran masih menyempatkan menulis 😢👍

    BalasHapus
    Balasan
    1. Inggih sami-sami. Sekadar memanfaatkan waktu dan bersyukur diberi anugerah bisa menulis.

      Hapus
  2. Aamiin...
    Setiap orang punya kenangan sendiri-sendiri yang terlalu indah untuk dilupakan

    BalasHapus
  3. Selama 19 tahun di tulungagung, hanya lebaran kali ini kami tidak bisa pulang kampung Pak, rasanya juga sangat sedih, hanya bisa telepon saja.
    Semoga semua orang tua kita, yg hebat-hebat itu senantaisa dalam maghfirah Allah. Amin

    BalasHapus
  4. Turut mengaminkan doa doanya... Kenangan yang telah d abadikan...

    BalasHapus
  5. Sampai pinjam meja dan bangku..seperti tamune pak kepdes..banyak begitu kira-kira.hehehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. Tamu memang sangat banyak. Beliau tokoh masyarakat. Sebagian besar warga desa silaturrahim ke rumah kami. Para murid beliau, famili, kolega, dan berbagai kalangan lainnya.

      Hapus
  6. Alur cerita yang sangat mengesankan, ada hal yang sama, hampir sesuai dan berbeda sama sekali.
    Suwun inspirasi nya

    BalasHapus
  7. Sedih..... Aq larut dalam cerita,.....

    BalasHapus
  8. Amin... Selalu menghanyutkan ketika baca cerita dari prof Naim ini .
    Sugeng Riyadin pak prof...

    BalasHapus
  9. Ia masa masa itu memang lumrah untuk pinjam kursi bangku dari sekolah, di tempatku juga, kesedihan yang sama juga aku rasakan krn juga kehilangan ibu yang selamanya, semoga diampuni dosa dosa nya dan diberikan pahala sampai nanti di akhirat

    BalasHapus
  10. Kenangan indah masa masa sekolah, tertata apik jadi cerita. Mantul pak. Sabar, bapak sudah meninggalkan penerus yg hebat seperti pak ngainun

    BalasHapus
  11. Inspiratif Gus, mdh2an bisa ke IAIN Bone lg untuk memberi semangat literasi

    BalasHapus

Terima kasih sudah berkenan membaca tulisan ini. Komentar anda sangat saya hargai.