Ngainun
Naim
![]() |
Kenangan |
Shalat
magrib
baru saja usai aku tunaikan. Tidak seberapa lama kemudian terdengar takbir dari
berbagai masjid dan mushola. Takbir menjadi pertanda bahwa Ramadhan telah usai.
Saat mendengarkan takbir pada lebaran
kali ini, hati terasa perih. Entahlah, aku berusaha menyembunyikan keperihan
hati ini. Rasa itu begitu menyayat. Tidak mudah melukiskannya dalam barisan
kata-kata, tetapi aku benar-benar merasakannya.
Ya, inilah malam menjelang lebaran
yang pertama kali dalam sejarah hidupku dalam suasana duka. Kepergian Bapak dua
minggu lalu benar-benar meninggalkan rasa pedih mendalam. Sebuah rasa yang
meskipun aku usahakan untuk tidak aku ekspresikan dalam aktivitas sehari-hari,
tetapi pada saat tertentu aku benar-benar tak kuasa menahannya.
Tidak ada manusia yang sangat
kuat. Sedih selalu beriringan dengan bahagia. Hanya soal waktu. Tidak ada orang
yang selalu bisa merasakan bahagia karena sesungguhnya bahagia akan bisa
dirasakan oleh orang yang pernah merasakan sedih.
Tetiba aku teringat akan
sebuah kenangan. Kenangan indah di mana pada malam takbiran saat aku usia SD
sampai MTsN, Bapak selalu memerintahkan satu hal, yaitu meminjam bangku dan
kursi dari SD tempatku sekolah. Hal ini dilakukan karena memang meja kursi di
rumah pasti tidak mampu menampung tamu yang datang melimpah sejak hari pertama
sampai hari ketujuh. Bahkan setelah hari ketujuh lebaran pun selalu saja ada
tamu yang datang ke rumah.
Kami harus meminjam bangku dan
kursi karena memang tidak memiliki bangku dan kursi dalam jumlah yang memadai
di rumah. Adanya hanya 3 kursi kecil dan satu kursi besar plus satu meja. Jelas
itu tidak mampu menampung jumlah tamu yang berlimpah. Pinjam ke SD merupakan
pilihan karena memang itu yang gratis. Selain memang pada masa itu—mungkin juga
sampai kini—tidak lazim di daerah kami ada peminjaman bangku dan kursi.
Usai shalat magrib aku dan
adik lelakiku bergegas ke SDN Sambidoplang. Tujuanku adalah menemui Pak Ambyah,
penjaga SD. Begitu aku datang beliau sudah paham. Segera beliau mengambil kunci
ruangan lalu memberitahukan agar bangku kursi sesegera mungkin dikembalikan
pada hari ketujuh. Aku pun mengiyakan.
Maka pada malam gelap gulita
itu aku harus menggendong bangku dan kursi dalam beberapa kali usungan. Maklum waktu
itu belum ada aliran listrik. Jarak antara SDN dengan rumahku sekitar 400
meter. Sebuah jarak yang cukup lumayan. Selama beberapa kali aku dan adikku
pulang pergi mengusung bangku dan kursi itu. Mungkin jika dihitung bisa lebih
dari 3 kilometer.
Aku tidak ingat persis
bagaimana kami tidak meminjam bangku dan kursi lagi. Seingatku Bapak memiliki
meja panjang dan kursi panjang sendiri sehingga kami tidak lagi meminjamnya ke
SD. Semuanya telah berlalu tetapi kenangan itu selalu muncul dalam ingatan
setiap malam menjelang lebaran.
Hidup memang terdiri dari
bongkahan kepingan ingatan. Semuanya harus disyukuri. Aku sungguh bersyukur
memiliki orang tua yang visioner. Orang tua yang memimpikan anak-anaknya
mendapatkan pendidikan memadai. Kadang aku berpikir dari mana Bapak memiliki
mimpi yang sedemikian besar. Mimpi yang sedemikian teguh, meskipun kadang juga
luluh oleh satu dan lain keadaan.
Pada lebaran ini, ketika Bapak
telah pergi, hanya doa terbaik yang aku dan saudara semua panjatkan. Doa demi
doa terus saja kami lantunkan agar beliau mendapatkan tempat yang layak di
sisi-Nya. Bagi kami anak-anak dan cucu-cucu Bapak, semoga diberi keberkahan
dalam hidup. Amin.
Parakan, 24 Mei 2020
Aamiin...sugeng riyadin pak 🙏🙏
BalasHapusLebaran masih menyempatkan menulis 😢👍
Inggih sami-sami. Sekadar memanfaatkan waktu dan bersyukur diberi anugerah bisa menulis.
HapusLuar biasa Gus
BalasHapusTerima kasih Ustadz
HapusLebaran yg beda dari tahun sebelumnya
BalasHapusInggih Mbak
HapusAamiin...
BalasHapusSetiap orang punya kenangan sendiri-sendiri yang terlalu indah untuk dilupakan
Inggih Bu. Terima kasih sudah berkunjung
HapusSelama 19 tahun di tulungagung, hanya lebaran kali ini kami tidak bisa pulang kampung Pak, rasanya juga sangat sedih, hanya bisa telepon saja.
BalasHapusSemoga semua orang tua kita, yg hebat-hebat itu senantaisa dalam maghfirah Allah. Amin
Amin. Insyallah selalu dapat hikmah.
HapusTurut mengaminkan doa doanya... Kenangan yang telah d abadikan...
BalasHapusMatur suwun Kang
HapusSampai pinjam meja dan bangku..seperti tamune pak kepdes..banyak begitu kira-kira.hehehe
BalasHapusTamu memang sangat banyak. Beliau tokoh masyarakat. Sebagian besar warga desa silaturrahim ke rumah kami. Para murid beliau, famili, kolega, dan berbagai kalangan lainnya.
HapusAlur cerita yang sangat mengesankan, ada hal yang sama, hampir sesuai dan berbeda sama sekali.
BalasHapusSuwun inspirasi nya
Sedih..... Aq larut dalam cerita,.....
BalasHapusSekadar mengabadikan kenangan
HapusAamiin...
BalasHapusMatur suwun
HapusAmin... Selalu menghanyutkan ketika baca cerita dari prof Naim ini .
BalasHapusSugeng Riyadin pak prof...
Terima kasih Bu
HapusIa masa masa itu memang lumrah untuk pinjam kursi bangku dari sekolah, di tempatku juga, kesedihan yang sama juga aku rasakan krn juga kehilangan ibu yang selamanya, semoga diampuni dosa dosa nya dan diberikan pahala sampai nanti di akhirat
BalasHapusAmin Ya Allah
HapusKenangan indah masa masa sekolah, tertata apik jadi cerita. Mantul pak. Sabar, bapak sudah meninggalkan penerus yg hebat seperti pak ngainun
BalasHapusTerima kasih banyak Bu.
HapusInspiratif Gus, mdh2an bisa ke IAIN Bone lg untuk memberi semangat literasi
BalasHapus