Ngainun
Naim
Dunia pendidikan kini
mengalami tantangan yang sangat kompleks. Eksistensi dunia pendidikan
dipengaruhi oleh bagaimana menjawab tantangan yang sedemikian kompleks secara
aktif, kreatif, dan konstruktif. Tanpa kemampuan dalam merespon tantangan yang
ada, dunia pendidikan akan kehilangan relevansi dan peran transformatifnya
dalam kehidupan. Jika ini yang terjadi maka dunia pendidikan kehilangan
kepercayaan dari masyarakat luas.
Justru karena itulah maka
dunia pendidikan dituntut untuk terus berbenah. Tidak mungkin dunia pendidikan
mati-matian mempertahankan diri tanpa mau berubah sama sekali. Memang ada aspek
yang harus dipertahankan, tetapi ada juga yang harus ditinggalkan karena telah
kehilangan relevansi.
Wakil Gubernur Jawa Timur, Dr.
Emil Elestianto Dardak, M.Sc saat menyampaikan sambutan pada Wisuda Sarjana
ke-24 IAIN Tulungagung pada 22 Juni 2019 menyebutkan bahwa perguruan tinggi
seperti IAIN Tulungagung harus mencermati dua hal, yaitu momentum dan peluang.
Momentum itu tidak datang dua kali. Karena itu begitu menemukan momentum maka
harus dimanfaatkan sebaik mungkin.
Momentum akan semakin penting
begitu bersinergi dengan peluang. Momentum bahkan harus diperjuangkan sehingga
bisa melahirkan peluang. Perpaduan keduanya akan menghasilkan perubahan. Alih
status STAIN Tulungagung menjadi IAIN Tulungagung lahir karena sinergi antara
momentum dan peluang. Usulan alih status IAIN Tulungagung menjadi UIN juga
harus diperjuangkan. Jangan sampai momentum sudah ada, tetapi peluangnya tidak
tersedia. Karena itu harus terus diupayakan persiapan secara matang jika IAIN
Tulungagung memang berharap menjadi UIN.
Tantangan lainnya adalah
bagaimana IAIN Tulungagung mempersiapkan mahasiswanya menjadi manusia yang
memiliki kompetensi memadai sebagaimana kebutuhan di masyarakat. Dalam kerangka
ini, pemikiran Dr. Emil Elestianto Dardak penting untuk dijadikan sebagai bahan
renungan. Kata Dr. Emil, sekarang ini telah terjadi pergeseran di berbagai
perusahaan besar. Ijasah bukan lagi sebagai ukuran karena sekarang diganti
dengan sertifikat kompetensi.
Fenomena ini bisa jadi sebagai
otokritik terhadap dunia perguruan tinggi. Saat orang terkungkung pada yang
tertulis di ijasah maka sesungguhnya ia akan tertinggal. Ijasah, tentu saja,
sangat penting. Tetapi yang harus dipahami, ijasah bukan sebagai satu-satunya
ukuran. Apalagi sampai tidak mau memiliki soft
skill yang di luar ijasah. Jika seorang pemilik ijasah kondisinya semacam
ini maka sesungguhnya ijasahnya bukan lagi berfungsi sebagai aset, melainkan
sebatas sebagai dokumen kebanggaan yang kurang fungsional.
Kuliah di IAIN sesungguhnya
memiliki potensi besar. Sayangnya, potensi ini belum banyak digali dan
diberdayakan sehingga IAIN secara umum masih membutuhkan kerja keras agar bisa
sejajar dengan perguruan tinggi lain. Berkaitan dengan hal tersebut, Dr. Emil
membuat tamsil menarik, yaitu tentang tim sepak bola.
Jangan berharap tim
sepak bola bisa menang dalam pertandingan dengan hanya berdoa tanpa berlatih.
Itu melawan sunnatullah. Juga jangan sampai hanya mengandalkan latihan tanpa berdoa.
Itu bentuk kesombongan. Jadi kita ini perlu perpaduan usaha yang serius dan
berdoa. Jika ini kita lakukan maka hidup kita akan berkah.
Tamsil tersebut bisa dimaknai
secara luas. Dalam konteks pendidikan, tamsil tersebut sesungguhnya menegaskan
bahwa pendidikan itu penting. Kata Dr. Emil Elestianto, pendidikan itu
memberikan jawaban atas berbagai persoalan dalam kehidupan. Jawaban ini kecil
kemungkinannya diberikan oleh institusi lain. Namun perspektif religius tidak
bisa dilepaskan sama sekali. Dalam kerangka inilah maka IAIN mendapatkan
tantangan yang tidak ringan.
Parakan Trenggalek, 3 Juli
2019
Mantap Prof.
BalasHapusMatur suwun
HapusKwren. Sangat memotivasi
BalasHapusTerima kasih Ustad. Hanya catatan sederhana saja.
Hapus