Oleh Ngainun
Naim
Puji
syukur Alhamdulillah, akhirnya puasa sebulan tertunai. Karena anugerah-Nya
semata sehingga puasa bisa dijalankan sampai akhir. Rasanya bahagia sekali
mendengar lantunan takbir dari berbagai penjuru sebagai pertanda berakhirnya
bulan Ramadhan. Esok pagi, umat Islam akan menjalankan shalat idul fitri.
Setiap
orang memiliki pengalaman menarik saat menjalankan puasa. Salah satunya adalah
saat menjalankan shalat taraweh. Menjelang shalat isyak, umat Islam
berbondong-bondong ke masjid atau mushala untuk menjalankan shalat taraweh. Melihat
fenomena keberagamaan semacam itu, ada rasa bahagia. Ada kesejukan.
Mushala
di tempat saya menjalankan shalat tarawih 20 rakaat plus 3 rakat shalat witir. Tentu,
menjalankannya bukan pekerjaan yang ringan. Butuh perjuangan. Kadang shalat
berada di antara sadar dan tidak. Maklum, setelah seharian bekerja, sangat
mungkin kondisi fisik sudah sangat lelah sehingga shalat tarawih dijalankan
dengan sisa energi.
Saat kecil,
rakaat demi rakaat shalat tarawih menjadi ajang pertanyaan. Ya, jika selesai
salam, saya sering berdebat dengan teman-teman tentang kurang berapa rakaat. Padahal,
salam baru satu kali.
Kini,
giliran anak saya kalau sedang shalat bersebelahan dengan saya yang bertanya. ”Kurang
berapa rakaat?”. Itu pertanyaan khas yang meluncur. Saya biasanya hanya memberi
isyarat dengan jari.
Sebagian
dari kita menjadikan shalat tarawih di masa kecil sebagai salah satu kenangan
tak terlupakan sepanjang hidup. Jangan dibayangkan shalat tarawih itu sebagai
media mencari pengalaman keberagamaan. Sama sekali bukan. Shalat tarawih bagi
anak-anak adalah ajang kegembiraan.
Saya ingin
mengutip tulisan Jalaluddin Rakhmat yang berjudul ”Puasa dalam Proses
Penyempurnaan Diri” yang dimuat dalam buku Kembali ke Jati Diri, Ramadhan
dan Tradisi Pulang Kampung dalam Masyarakat Muslim Urban (Bandung: Mizan,
2013). Jalaluddin Rahmat di halaman 59 menulis:
Mungkin di antara ritual Ramadhan yang paling meriah adalah shalat tarawih.
Bagi anak-anak kecil, shalat tarawih yang menjadi momen berkumpulnya umat
Muslim di masjid merupakan hiburan tersendiri. Saya senang melihat banyak orang
berbondong-bondong ke masjid. Dengan latar belakang tradisi NU, shalat tarawih
di kampung saya berlangsung 20 rakaat dan ditambah shalat witir 3 rakaat.
Suasana menjadi kian menyenangkan ketika saya bergabung dengan teman-teman
di shaf belakang. Ketika bacaan shalawat dikumandangkan menandai dimulainya
shalat tarawih, kami adalah yang paling keras menjawabnya, ”Shalli wa sallim
wa bârik ’alayh”. Kami kadang bercanda dan saling dorong, sehingga membuat suasana shalat
tarawih agak sedikit terganggu.”
Saya
yakin jika Anda sekalian berada dalam kultur yang sama dengan saya, seperti
Jalaluddin Rakhmat saat kecil, akan memiliki pengalaman yang mirip. Ya, bagi
anak-anak, shalat tarawih adalah sarana kegembiraan. Dan itu tidak akan
terlupakan sepanjang hidup. Selamat Idul Fitri mohon maaf lahir dan batin.
Trenggalek, 5 Juli 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah berkenan membaca tulisan ini. Komentar anda sangat saya hargai.