Oleh Ngainun Naim
Sumber gambar: www.kimmuke.blogspot.com |
Hari
raya idul fitri sudah memasuki hari ketujuh. Besok sudah lebaran ketupat. Sebagai
Muslim, kita merasakan bahagia yang menyeruak dari dalam jiwa. Tentu, tidak
semua orang bisa merasakannya. Realitas kehidupan yang semakin kompleks membuat
perspektif terhadap idul fitri berbeda-beda. Tetapi sesungguhnya siapa pun orangnya
yang beragama Islam akan merindukan yang namanya idul fitri.
Saya
berusaha menikmati dan menggali hikmah dari perjalanan silaturrahim. Hari
pertama baru berkunjung—dan menerima kunjungan—tetangga dan famili.
Perbincangan berlangsung dengan hangat tentang berbagai hal. Ada rasa bahagia
membuncah. Perbincangan itu sesungguhnya pernah juga dilaksanakan di waktu yang
berbeda. Tetapi rasanya berbeda karena momentum idul fitri menghadirkan nuansa
khusus.
Sesungguhnya
ada keinginan kuat untuk melakukan silaturrahim ke famili sebanyak-banyaknya. Tetapi
ternyata tidak mudah mewujudkannya. Ada saja hal-hal yang menjadi halangan. Hidup
memang selalu berjuang antara kutub ideal dengan kutub real. Harapannya bisa
bersilaturrahim sebanyak mungkin, tetapi realitasnya belum optimal.
Namun
demikian saya berusaha untuk menjalani momentum hari kemenangan ini. Saya
mencoba menggali hikmah dan mencatat hal-hal penting yang saya peroleh dari
arena pertemuan dengan tetangga, kerabat, dan handai taulan. Hal-hal penting
itulah yang saya harapkan bisa membuat jiwa saya menjadi semakin kaya.
Salah
satu hal yang saya ingat adalah nasihat seorang tetangga agar rajin
berolahraga, khususnya jalan kaki. Beliau bilang bahwa jalan kaki itu bukan
hanya kebutuhan, tetapi juga hiburan. Apa yang beliau sampaikan bukan hanya
teori, tetapi beliau sendiri telah mempraktikkannya. Sekarang, di usia beliau
yang sudah 80-an tahun, kondisi fisiknya masih cukup sehat. Makanan tidak ada
yang menjadi pantangan.
Saya juga
bertemu dengan banyak orang yang memiliki segudang cerita. Dari mereka saya
mendapatkan hikmah hidup. Ada kisah suka, kisah duka, kisah keberhasilan,
perjuangan, dan sebagainya. Semuanya menghadirkan hikmah hidup. Pada kondisi
semacam itulah, rasa syukur itu menemukan momentumnya untuk kembali diteguhkan.
Lebaran
juga menghadirkan fenomena sosial yang sungguh luar biasa. Saya—dan saya yakin
Anda juga menemukannya—fenomena belanja dan kuliner yang sedemikian padatnya. Itulah
realitas kehidupan sosial kita.
Saya jadi
teringat tentang manusia otentik. Islam memiliki konsep insan kamil. Saya
kurang mendalami persis perbedaan dan persamaan antara keduanya. Yang saya
ingat, para ahli menyatakan bahwa puasa ramadhan adalah momentum ibadah yang
menolah fisik dan spiritual kita. Ketika puasa usai, kita diharapkan menjadi
manusia otentik.
Budayawan
Indra Tranggono dalam artikelnya di Harian Kompas hari ini, 12 Juli 2016
menulis bahwa manusia sejati
adalah manusia otentik dengan kesadaran profetik yang mampu melahirkan
kreativitas genuine dan menjawab persoalan kemanusiaan serta kebangsaan.
Itu idealnya. Dan saya kira tulisan Indra Tranggono penting sebagai bahan
refleksi atas perayaan lebaran yang telah kita jalankan.
selamat idulfitri mohon maaf lahir dan batin
BalasHapusSama-sama Bu Ima Kaltsum.
BalasHapus