Oleh Ngainun Naim
Mohon maaf jika ada yang kurang berkenan dengan judul
tulisan ini. Saya tidak ada maksud jelek untuk mendeskriditkan penulis. Sama
sekali tidak. Karena jika tujuannya jelek semacam itu, saya juga terkena
dampaknya. Walaupun tulisan saya biasa-biasa saja dan belum banyak, tapi saya
kan sudah menulis. Jadi—semoga ini bukan bentuk takabbur—saya pun boleh menyebut diri saya sebagai seorang penulis.
Tulisan ini justru saya tujukan untuk maksud baik, yaitu
agar mereka yang belum menekuni dunia menulis menjadi tertarik. Tidak hanya
tertarik, tetapi juga mencoba menulis, menghasilkan karya, dan terus berkarya.
Bidang ilmu yang saya ajarkan di kampus saya mengajar
tidak secara langsung berkaitan dengan menulis. Tetapi saya selalu berusaha
memasukkan spirit literasi—membaca menulis—dalam berbagai kesempatan kuliah.
Saya berharap, ada di antara mahasiswa saya yang mau menekuni dunia menulis.
Memang ada yang telah menekuninya, tetapi jumlahnya terlalu sedikit
dibandingkan dengan total jumlah mahasiswa yang ada.
Karena minimnya mereka yang menekuni dunia menulis itu,
dalam berbagai kesempatan mengisi acara mahasiswa, khususnya yang berkaitan
dengan menulis, selalu saya katakan bahwa penulis itu ’makhluk langka’. Saya
katakan demikian karena mereka yang mau menekuni dan mengembangkan keterampilan
menulis jumlahnya sangat sedikit. Tentu, menulis yang saya maksudkan adalah
menulis karya—apa pun bentuknya—yang dilakukan tidak hanya pada saat tertentu
saja, tetapi dilakukan secara terus-menerus.
Saya biasanya mengajak para mahasiswa untuk melakukan
analisis mengenai penulis itu makhluk langka. Jika saja ada sepuluh orang saja
yang menjadi penulis dari setiap program studi, itu sudah suatu jumlah yang
banyak. Apalagi jika mereka mau menularkan keterampilan yang mereka miliki
kepada orang lain.
Demikian juga yang terjadi di kalangan dosen. Salah satu
syarat bagi kenaikan pangkat dosen adalah karya tulis. Seandainya para dosen
memiliki keterampilan menulis secara baik, saya kira tidak akan ada kesulitan
untuk memenuhi persyaratan tersebut.
Biasanya saya mengajak mahasiswa untuk mencintai dunia
menulis. Tidak hanya itu. Langkah yang justru tidak kalah pentingnya adalah
mewujudkan rasa cinta terhadap dunia menulis itu dengan menghasilkan karya. Apa
artinya bilang cinta dunia menulis tetapi tidak memiliki karya?
Jika seorang mahasiswa memiliki keterampilan menulis
secara baik, hal ini akan berimplikasi bagi kelancarannya menempuh bangku
kuliah. Mengapa? Ya karena kuliah itu sebagian besar diisi dengan tugas menulis
makalah. Mahasiswa yang terampil menulis tentu tidak akan kesulitan membuat
makalah. Justru setiap tugas makalah akan dijadikan sebagai sarana mempertajam
keterampilannya. Tidak ada keluh kesah. Keterampilan itu akan sangat berguna
saat hendak menyelesaikan studi, yaitu kewajiban membuat skripsi. Skripsi tidak
akan selesai jika mahasiswa tidak bisa menulis secara baik.
Jadi, keterampilan menulis itu sesungguhnya sangat
penting. Sayangnya, sampai sejauh ini hanya sebagian kecil saja yang mau
menekuninya. Karena itulah saya kira tidak terlalu berlebihan kalau saya
menyebut penulis itu makhluk langka.
Di Kompasiana, saya sering membaca dan mengomentari
tulisan makhluk ini. Justru karena keistimewaan merekalah, transformasi
pengetahuan dan kesadaran itu tersebar luas. Menulis harus ditradisikan secara
luas. Dan jangan lupa, yang juga penting adalah sebagai makhluk langka, penulis
itu harus diawetkan. Salah satu caranya ya dengan menulis. Bukankah tulisan itu
jauh lebih awet dibandingkan ucapan? Salam!
Trenggalek, 24 Desember 2013
Ngainun Naim
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah berkenan membaca tulisan ini. Komentar anda sangat saya hargai.