Aku Korupsi Maka Aku Bahagia
Oleh Ngainun Naim
Apa sih sesungguhnya yang ingin dicari manusia dalam
hidup ini? Ini pertanyaan sederhana tetapi ternyata tidak mudah untuk dijawab. Ada
yang menjawab ingin berguna, ingin kaya, ingin bermartabat, dan sebagainya. Semuanya
saya kira betul. Siapa yang tidak ingin berguna, kaya, dan bermartabat? Semua
orang yang waras saya kira ingin mendapatkannya.
Berbagai buku mengenai hidup yang pernah saya membaca
memberikan penjelasan yang berbeda-beda. Namun demikian rata-rata buku-buku
tersebut sepakat dalam satu hal, yaitu kehidupan manusia ini sesungguhnya
mencari satu hal: hidup bahagia. Tetapi
apa itu hidup bahagia dan bagaimana meraihnya, di sini terjadi perbedaan
pendapat dari para ahli.
Bagaimana meraih hidup bahagia di zaman kompetitif yang
kian tidak manusiawi ini? Hidup sekarang ini memang semakin keras dan semakin tidak
mengenal toleransi kemanusiaan. Tantangan demi tantangan terus hadir dan
menjadi bagian tidak terpisah dari kehidupan. Berdiam diri secara pasif akan
tergilas dalam arus hidup yang kian ganas. Sementara bergelut secara
habis-habisan juga bukan berarti menjamin kesuksesan.
Sekarang ini banyak orang yang melakukan berbagai
tindakan tidak terpuji demi tuntutan dinamika hidup. Tujuannya sesungguhnya
satu yaitu meraih hidup bahagia. Lihat saja para koruptor itu. Saya juga tidak
habis mengerti dan belum menemukan logika yang bisa diterima mengenai bagaimana
mereka terus saja menumpuk hartanya. Tetapi saya kira jelas, mereka ingin
bahagia dengan korupsi. Kayaknya adagium filsafat yang menyatakan ”Aku Berpikir
Maka Aku Ada” dapat disesuaikan untuk para koruptor menjadi ”Aku Korupsi Maka
Aku Bahagia”.
Di sini yang justru penting untuk diperhatikan adalah makna bahagia. Dalam bahasa Arab,
sebagaimana dijelaskan oleh Jalaluddin Rakhmat dalam buku Tafsir Kebahagiaan (Jakarta: Serambi, 2010) kata yang artinya
bahagia adalah falรขh. Dalam kata ini dijelaskan bahwa kebahagiaan
itu bukan hanya ketenteraman dan kenyamanan saja. Kenyamanan atau kesenangan
satu saat saja tidak melahirkan kebahagiaan. Mencapai keinginan saja tidak
dengan sendirinya memberikan kebahagiaan. Kesenangan dalam mencapai keinginan
biasanya bersifat sementara. Satu syarat penting harus ditambahkan, yaitu
kelestarian atau menetapnya perasaan itu dalam diri kita (h. 18).
Penjelasan ini secara konkrit memberikan gambaran bahwa
korupsi yang kian hari kian menggila itu hanya akan memberikan kebahagiaan
semu. Harta demi harta yang terkumpul dalam jumlah menggila melalui ”jalan
gila” tidak akan memberikan kebahagiaan sejati. Sekarang coba lihat para
koruptor yang tertangkap. Hidupnya ”telah selesai”. Ia tidak bisa menikmati
lagi harta yang dikumpulkannya. Ia telah kehilangan banyak hal, termasuk
bahagia yang didambakannya. Kini yang tersisa hanyalah kesengsaraan. Jadi,
korupsi itu bukan jalan meraih kebahagiaan, melainkan jalan meraih kesengsaraan.
Sudah begitu, ternyata makin banyak saja orang yang berminat. Terlalu!
Trenggalek, 11 Oktober 2013
Ngainun Naim
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah berkenan membaca tulisan ini. Komentar anda sangat saya hargai.