Jumat, 05 April 2024

Soin, Sol, dan Dek Abene


Ngainun Naim

 

Sejarah hidup bisa direncanakan oleh kita sebagai manusia. Bahkan harus direncanakan jika ingin mencapai target-target tertentu. Namun kemampuan manusia adalah ikhtiar. Hasilnya ada ada di tangan Allah.

 

Keinginan sebuah keluarga adalah anggota-anggotanya tinggal berdekatan agar komunikasi tetap terjaga, relasi antar keturunan tetap erat, dan relasi kekeluargaan tidak renggang. Namun takdir hidup tidak selalu sesuai dengan harapan. Di sini tangan Allah bekerja.

 

Pengalaman hidup keluarga saya dari garis Bapak menunjukkan hal yang semacam ini. Salah seorang adik Bapak, namanya Bulek Mariyah dan keluarga, ikut program transmigrasi pada awal tahun 1980-an. Beliau sekeluarga ditempatkan di sebuah daerah yang masuk wilayah Provinsi Sulawesi Tenggara.

 

Jarak yang sedemikian jauh membuat komunikasi tidak berlangsung dengan lancar. Di tahun 1980-an, komunikasi yang paling mungkin ya melalui surat. Tentu, hanya sebagian kecil yang bisa terkomunikasikan dalam secarik kertas. Ini berkaitan dengan kemampuan menuangkan ide menjadi tulisan yang tidak mudah. Tidak semua orang bisa menulis surat dengan baik. Persoalan lain, sampainya surat itu membutuhkan waktu yang tidak singkat.

 

Butuh waktu bertahun-tahun untuk bisa bertemu kembali dengan mereka. Pilihannya adalah mengunjungi mereka atau mereka yang mudik. Sama-sama tidak mudah tetapi rasanya tidak ada pilihan lagi.

 

Suatu pagi datang seseorang ke rumah. Ternyata beliau adalah suami Bulek Mariyah, yaitu Pak Sadzali. Saya tidak ikut berbincang karena masih kecil. Hanya saya diberitahu Ibuk kalau kehidupan di daerah transmigrasi zaman itu masih banyak tantangannya. Belum seindah dalam bayangan dan cerita.

 

Kunjungan demi kunjungan dari keluarga Bulek di Sulawesi Selatan ke Tulungagung, termasuk yang dilakukan oleh anak-anaknya, menjadi penanda kehidupan ekonomi yang semakin baik. Jika ekonomi belum baik tentu sulit untuk membiayai perjalanan yang sedemikian jauh. Biayanya cukup menguras kantong. Dulu mereka berkunjung dengan menggunakan kapal laut. Sekarang ini sudah memakai pesawat terbang.

 

Saya sendiri sangat bersyukur pernah dua kali mengunjungi keluarga yang tinggal di Konawe Sulawesi Tenggara ini. Kunjungan pertama pada tahun 2004. Kunjungan kedua pada tahun 2022. Kunjungan tersebut, bagi saya, adalah kesempatan dan keberkahan yang begitu membahagiakan. Saat keluarga Konawe berkunjung ke Tulungagung, saya juga belum tentu bisa menemui mereka. Kadang mereka datang dengan waktu singkat. Bisa juga karena satu dan lain hal yang menjadi penyebabnya.

 

Hari Selasa tanggal 5 Maret 2024 tetiba Ibuk mengunggah sebuah foto. Foto tentang pasangan suami istri yang menjadi tamu di rumah. Mereka adalah Soin dan Sol, anak dan menantu Bulek Mariyah.

 

Rohmah tetiba berkomentar di grup WA. ”Sopo kui Buk?”.

 

Dijawab oleh Uun, ”Soin dan Sol”.

 

”Omahe ngendi?”, tanya Rohmah.

 

Tak jawab, ” Dek abene kae jarene Desa Wowasolo Kecamatan Wonggeduku Kabupaten Konawe Propinsi Suwalwesi Tenggara Indonesia”.

 

Begitulah, komunikasi kemudian berlanjut tentang kosa kata Dek abene. Ini kosa kata khas. Pemiliknya adalah Mbah Muji, Ibuk kandungnya Bapak. Mbah Muji menggunakan kosa kata itu dalam makna ”dahulu”.

 

Entahlah, dari mana kosa kata itu berasal dan ke mana perginya karena sekarang sudah tidak ada lagi. Kini, kosa kata itu adalah gugusan memori untuk mengenang masa lalu.

 

Tulungagung, 5 April 2024

 

 

 

4 komentar:

  1. Semoga sgr terjalin komunikasi dg adanya HP. Dan bisa menyatu lagi

    BalasHapus
  2. Masha Allah, Tabarakallah. Mudah2an ttp sehat, sukses selalu. Tulisan sangat inspiratif. Syukron jazilan

    BalasHapus

Terima kasih sudah berkenan membaca tulisan ini. Komentar anda sangat saya hargai.