Oleh Ngainun
Naim
Bus yang kutumpangi melaju dengan kecepatan sedang membelah keriuhan
jalanan pagi antara Trenggalek—Tulungagung. Kondisi jalanan pada jam pagi
memang kian hari kian padat. Sepeda, sepeda motor, mobil, dan bus berpacu ingin
saling mendahului. Kompetisi berkendara ini—menurut saya—mencerminkan kompetisi
hidup yang sesungguhnya. Mereka (hampir) semuanya berlomba dan berjuang menuju
tempat masing-masing demi sebuah asa yang menggantung. Semuanya ingin segera
menuju tempat yang dituju, baik tempat kerja atau sekolah.
Beberapa tahun terakhir memang terjadi peningkatan kepadatan jalan raya
secara luar biasa. Sepuluh tahun lalu aku bisa sampai di tempat kerja sekitar
40 menit dengan naik sepeda motor. Sekarang sepertinya mustahil sampai di
tempat kerja dengan durasi waktu yang sama. Selain semakin banyak traffic light, juga banyaknya kendaraan
membuat laju kendaraan terbatasi tingkat kecepatannya.
Sesaat mataku menatap sebuah fenomena ganjil. Saat itu bus melaju pelan dan
mendahului sekitar lima sepeda anak-anak sekolah. Di barisan paling akhir
kulihat seorang ayah membonceng anaknya yang berpakaian SMA dengan sepeda motor.
Sang ayah mengendarai sepeda motornya secara pelan.
Aku perhatikan lagi kedua orang tersebut. Mataku menuju ke seragam anaknya.
Ya, SMA. Aku hampir yakin karena melihat warna seragamnya. Aku menemukan
fenomena ganjil karena kulihat si anak yang berjilbab itu memegang sebuah kitab
kecil; membaca dan kemudian menutup sesaat. Tampaknya si anak tengah
menghafalkan isi kitab tersebut.
Kalau tidak salah, kitab kecil yang dipegang itu adalah nadham Alfiyah. Aku
yakin karena lebih dari dua puluh tahun lalu pernah mempelajarinya dan kini
sudah lupa he he he... Sesaat hatiku bergetar. Aku merasakan bahagia. Di tengah
iklim kehidupan modern yang kian canggih, ternyata masih ada yang mau menekuni
ilmu agama seperti anak SMA itu.
Mengaji tampaknya semakin ditinggalkan. Anak-anak sekarang lebih menyukai
mempelajari ilmu-ilmu yang diajarkan di sekolah umum. Pelajaran agama di
madrasah-madrasah sekarang ini menghadapi tantangan yang tidak ringan. Jika
tidak kreatif mengelola lembaga keagamaan seperti madrasah diniyah, akan
semakin sedikit anak yang mau belajar.
Fenomena pagi itu membuat saya memiliki setitik optimisme.Semoga semakin
banyak generasi muda yang semacam itu; menguasai ilmu umum dan juga menguasai
ilmu agama secara mendalam. Jika ini terjadi tentu merupakan fenomena indah
yang membanggakan.
Hidup semakin indah dengan bersyukur. Salam.
Trenggalek, 23/10/2014
Iya, Mas, semoga semakin banyak anak-anak di negeri ini yang giat belajar pelajaran sekolahnya, giat pula mengaji, giat pula menghafal al-Qur'an, menghafal hadits, senang puasa senin kamis, banyak-banyak berdzikir.
BalasHapusMas Akhmad Muhaimin Azzet@ terima kasih banyak atas kesediannya berkunjung dan memberikan komentar. Salam.
Hapus