Selasa, 03 Juni 2014

Akal dan Moral



Oleh Ngainun Naim

Catatan ringan ini tidak akan membahas sesuatu yang rumit dan membuat kening Anda berkerut. Saya sebenarnya senang-senang saja membuat tulisan model semacam itu. Beberapa tulisan saya—hanya beberapa, tidak banyak—memang bertipe semacam itu. Mungkin karena tuntutan karakternya atau karena ikut-ikutan model yang lainnya sehingga tulisan dalam kategori ini membuat beberapa teman mengkritik saya.
Ini bukan mengada-ngada, tetapi memang begitu adanya. Seorang teman waktu saya sekolah di MAN saat bertemu beberapa tahun lalu berkomentar tentang buku saya Teologi Kerukunan dan Pendidikan Multikultural. ”Bukumu tidak bisa kupahami. Rumit. Kamu nulis gitu itu biar dikira ilmiah atau bagaimana?”, katanya.
Saya agak terkejut juga. Lalu segera ketemu jawaban yang menurut saya cukup bisa menjadi alat membela diri. ”Ciri tulisan ilmiah memang seperti itu. Namanya saja ilmiah, jadi ya harus kaya referensi, bahasanya ilmiah, dan mungkin sulit dipahami. Semakin sulit dipahami semakin ilmiah”, kata saya membela diri.
”Termasuk sulit dipahami oleh yang nulis sendiri, ya?”, sanggahnya.
Saya tersenyum dan kami pun tertawa bersama.
&&&

Karena tidak ingin membuat Anda bingung, catatan ini saya buat sesederhana dan seringan mungkin. Pokoknya tidak ilmiah sama sekali. Anggap saja sebagai gurauan atau coretan yang mungkin tidak bermakna buat Anda.
Mengapa menulis tentang akal? Akal itu kunci kemajuan. Kita bisa hidup maju jika memberdayakan akal kita seoptimal mungkin. Mereka yang sukses dalam berbagai bidang kehidupan saya yakin karena mereka mendayagunakan akalnya untuk memikirkan berbagai cara mewujudkan mimpi-mimpinya. Mimpi bisa terwujud jika akalnya digunakan untuk membaca berbagai peluang, mendayagunakan potensi, memberdayakan diri, dan seterusnya.
Sejarah sudah membuktikan dengan sangat jelas tentang besarnya peranan akal ini. Banyak filosof Muslim yang menekankan pentingnya peranan akal, seperti Ibnu Sina. Sejarah kemajuan peradaban Islam di masa lalu juga karena sebagian besar ilmuwan ketika itu mendayagunakan akalnya. Barat sekarang ini juga maju karena akalnya.
Anda boleh setuju boleh juga tidak. Ini kan pendapat saya. Mungkin Anda menggugat dengan anggapan bahwa mendewakan akal itu berbahaya. Jika Anda berpikir semacam itu, saya setuju. Saya tidak membahas tentang mendewakan akal, tetapi tentang mendayagunakan akal.
Bagaimana agar akal tidak menjadi liar sehingga kehilangan kendali? Moral. Ya, akal harus dibungkus dengan moral. Akal yang diterangi moral membuat pelakunya tidak akan liar, tetapi selalu dalam koridor kebaikan. Nah, akal dan kebaikan inilah yang seharusnya menjadi bagian penting dalam sejarah perjalanan peradaban kita.

Trenggalek, 2 Juni 2014
Ngainun Naim



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah berkenan membaca tulisan ini. Komentar anda sangat saya hargai.