Oleh Ngainun
Naim
Catatan
ringan ini tidak akan membahas sesuatu yang rumit dan membuat kening Anda
berkerut. Saya sebenarnya senang-senang saja membuat tulisan model semacam itu.
Beberapa tulisan saya—hanya beberapa, tidak banyak—memang bertipe semacam itu.
Mungkin karena tuntutan karakternya atau karena ikut-ikutan model yang lainnya
sehingga tulisan dalam kategori ini membuat beberapa teman mengkritik saya.
Ini
bukan mengada-ngada, tetapi memang begitu adanya. Seorang teman waktu saya
sekolah di MAN saat bertemu beberapa tahun lalu berkomentar tentang buku saya Teologi Kerukunan dan Pendidikan Multikultural. ”Bukumu tidak
bisa kupahami. Rumit. Kamu nulis gitu itu biar dikira ilmiah atau bagaimana?”,
katanya.
Saya
agak terkejut juga. Lalu segera ketemu jawaban yang menurut saya cukup bisa
menjadi alat membela diri. ”Ciri tulisan ilmiah memang seperti itu. Namanya
saja ilmiah, jadi ya harus kaya referensi, bahasanya ilmiah, dan mungkin sulit
dipahami. Semakin sulit dipahami semakin ilmiah”, kata saya membela diri.
”Termasuk
sulit dipahami oleh yang nulis sendiri, ya?”, sanggahnya.
Saya
tersenyum dan kami pun tertawa bersama.
&&&
Karena
tidak ingin membuat Anda bingung, catatan ini saya buat sesederhana dan
seringan mungkin. Pokoknya tidak ilmiah sama sekali. Anggap saja sebagai
gurauan atau coretan yang mungkin tidak bermakna buat Anda.
Mengapa
menulis tentang akal? Akal itu kunci kemajuan. Kita bisa hidup maju jika
memberdayakan akal kita seoptimal mungkin. Mereka yang sukses dalam berbagai
bidang kehidupan saya yakin karena mereka mendayagunakan akalnya untuk
memikirkan berbagai cara mewujudkan mimpi-mimpinya. Mimpi bisa terwujud jika
akalnya digunakan untuk membaca berbagai peluang, mendayagunakan potensi,
memberdayakan diri, dan seterusnya.
Sejarah
sudah membuktikan dengan sangat jelas tentang besarnya peranan akal ini. Banyak
filosof Muslim yang menekankan pentingnya peranan akal, seperti Ibnu Sina.
Sejarah kemajuan peradaban Islam di masa lalu juga karena sebagian besar
ilmuwan ketika itu mendayagunakan akalnya. Barat sekarang ini juga maju karena
akalnya.
Anda
boleh setuju boleh juga tidak. Ini kan pendapat saya. Mungkin Anda menggugat
dengan anggapan bahwa mendewakan akal itu berbahaya. Jika Anda berpikir semacam
itu, saya setuju. Saya tidak membahas tentang mendewakan akal, tetapi tentang
mendayagunakan akal.
Bagaimana
agar akal tidak menjadi liar sehingga kehilangan kendali? Moral. Ya, akal harus
dibungkus dengan moral. Akal yang diterangi moral membuat pelakunya tidak akan
liar, tetapi selalu dalam koridor kebaikan. Nah, akal dan kebaikan inilah yang
seharusnya menjadi bagian penting dalam sejarah perjalanan peradaban kita.
Trenggalek,
2 Juni 2014
Ngainun
Naim
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah berkenan membaca tulisan ini. Komentar anda sangat saya hargai.