Judul Buku: Satu Menit
Pencerahan Nurcholish Madjid (Buku Pertama: A-C)
Penyunting: Budhy
Munawar-Rachman dan Elza Peldi Taher
Penerbit: Paramadina dan
Imania Depok
Tebal: lxxxix+252 halaman
Edisi: April 2013
Peresensi: Ngainun Naim
Pengajar IAIN
Tulungagung Jawa Timur
Nurcholish
Madjid—yang akrab dipanggil Cak Nur—merupakan seorang intelektual terkemuka Indonesia.
Walaupun beliau telah wafat pada 29 Agustus 2005, tetapi pengaruh pemikirannya
masih terasa kuat sampai sekarang. Berbagai bentuk apresiasi dan pengembangan
pemikirannya masih terus dilakukan
melalui berbagai cara.
Dibandingkan
dengan intelektual-pembaru Muslim seangkatannya, Cak Nur memiliki beberapa nilai lebih. Pertama, Cak Nur merupakan seorang
intelektual yang memiliki banyak karya tulis. Jumlah karya tulisnya lebih dari
20 judul. Ketebalan masing-masing karyanya bervariasi. Di antara karya
monumentalnya adalah Islam, Doktrin, dan
Peradaban yang memiliki ketebalan di atas 500 halaman. Menilik jumlah
karyanya tersebut menunjukkan bahwa Cak Nur bukan intelektual selebriti yang
hanya sibuk berkomentar dan bermanuver layaknya intelektual selebritis. Beliau
memiliki perhatian besar dalam melahirkan karya-karya bermutu. Sampai sekarang
ini, buku-buku Cak Nur terus saja dicari oleh generasi muda dan para
pengagumnya.
Kedua, Cak Nur memiliki institusi yang menjadi media bagi
persebaran ide dan gagasannya, yaitu Universitas Paramadina. Lembaga ini
menjadi tempat persemaian, perkembangan, penerjemahan, dan kontekstualisasi
pemikiran Cak Nur. Antara Cak Nur dan Paramadina terdapat interaksi dan relasi yang saling
melengkapi. Institusionalisasi pemikiran Cak Nur melalui Paramadina menjadi
pembeda sekaligus nilai lebih Cak Nur dibandingkan para intelektual pembaru
Islam Indonesia yang lainnya yang umumnya tidak memiliki lembaga penyokong
gagasan pembaruannya.
Ketiga, Cak Nur memiliki para pengikut setia yang selalu merawat,
menjaga, mengembangkan, dan mereaktualisasikan pikiran-pikiran Cak Nur searah
dengan perkembangan zaman. Melalui para pengikut setianya itulah gagasan Cak
Nur selalu aktual dan menemukan kontekstualisasinya di tengah arus dinamika
perkembangan zaman yang semakin kompleks.
Buku
yang disunting oleh Budhy Munawar-Rachman dan Elza Peldi Taher ini merupakan
ikhtiar dari pengagum dan Cak Nurian sejati untuk mengkontekstualisasikan
pemikiran Cak Nur agar selaras dengan dinamika zaman. Melalui cara semacam ini
maka pikiran Cak Nur diharapkan selalu aktual, memiliki relevansi dengan
dinamika perkembangan zaman, dikenal oleh generasi baru yang semakin akrab
dengan berbagai media sosial, dan mampu memberikan pencerahan.
Cak
Nur hidup ketika media sosial semacam twitter, facebook, blog, dan sejenisnya
belum berkembang pesat seperti sekarang. Ketika sekarang masyarakat hidup dalam
kepungan berbagai media sosial seperti sekarang ini maka berpartisipasi aktif
di dalamnya menjadi pilihan yang harus dilakukan secara kreatif-produktif. Cara
semacam inilah yang dilakukan oleh Cak Nurian sejati dengan membuat akun
twitter @fileCaknur. Akun ini berisi potongan singkat pemikiran Cak Nur yang
diambil dari buku-buku karya beliau. Sehari disiapkan antara 11-16 twit. Follower @fileCaknur setiap saat juga
terus bertambah secara signifikan.
Isi
buku ini adalah gabungan antara twit dari akun @fileCaknur dan kutipan asli
pemikiran Cak Nur. Twit yang dimuat di buku ada ada 539 buah. Setelah itu
dimuat kutipan pikiran Cak Nur dari berbagai bukunya yang dibuat secara
ensiklopedik. Kutipan pikiran dalam buku ini baru dari huruf A-C. Tentu bisa
dibayangkan dibutuhkan berapa buku untuk menyusun percik pemikiran Cak Nur
secara keseluruhan.
Justru
di sinilah sisi menarik buku ini. Pemikiran Cak Nur yang termuat dalam
buku-buku karya beliau memang ditulis secara serius dan penuh kutipan referensi
yang ketat. Banyak pembaca yang harus mengernyitkan dahi saat membacanya.
Tetapi dalam buku ini, pikiran Cak Nur menjadi begitu ringan, sederhana, enak
dibaca, dan tidak membutuhkan pemikiran mendalam. Hal ini karena kerja Cak
Nurian sejati yang menyusun secara apik, ringan, dan mudah dari gugusan
pemikiran Cak Nur yang terkenal berat tersebut. Pada titik inilah saya kira
judul buku ini menemukan signifikansinya, yaitu Satu Menit Pencerahan Nurcholish Madjid.
Membaca
buku ini seakan pembaca diajak untuk masuk ke dalam ’ruang baru’ pemikiran Cak Nur. Substansi pemikiran Cak Nur sesungguhnya
sudah terbangun secara mapan, tetapi format baru penyajiannya menjadikan kita
seakan melihat Cak Nur dalam wajah baru. Jejak pemikiran Cak Nur secara
sederhana dapat dipetakan dalam tiga ranah: Keislaman, Kemodern, dan
Keindonesiaan. Tiga wilayah ini yang menjadi konsentrasi pemikiran Cak Nur yang
terus dikontekstualisasikan secara positif-kreatif sehingga Cak Nur menjadi
intelektual garda terdepan Indonesia.
Bagi
Cak Nur, Islam harus selalu dikontekstualisasikan. Hal ini bisa simak dalam
twit nomor 8, ”Umat Islam harus tampil dengan penuh rasa percaya diri,
bijaksana dan arif, serta menyadari fungsinya selaku saksi dan juri umat
manusia”. Islam yang dikembangkan oleh Cak Nur adalah, ”pemahaman kita kepada
Islam adalah pemahaman yang terbuka, dia bersifat inklusif dan mampu menjadi
rahmat bagi seluruh alam” (h. 7). Hal ini selaras dengan cita-cita Islam yang
dinilai Cak Nur sejajar dengan cita-cita kemanusiaan universal. Cita-cita itu
tidak akan berhenti pada satu titik tertentu, sebab salah satu aspek terpenting
kemanusiaan ialah perkembangan (h. 233).
Secara
substansial, pokok-pokok pikiran Cak Nur sejalan
dengan perkembangan kemodernan. Menurut Cak
Nur, Islam harus mampu tampil dan mewarnai
dinamika perkembangan zaman. Sebab, ”Agama selalu menjadi sumber sistem nilai,
dan sistem nilai memberi dimensi moral sebagai landasan pembangunan peradaban.
Maka, jika suatu agama tidak membangun peradaban, tidak bisa bertahan—karena
bertabrakan dengan ilmu, misalnya—sistem nilainya pun akan ikut ambruk, kemudian
pada urutannya peradabannya pun ambruk pula” (h. 128).
Pada
level keindonesiaan, Cak Nur mendasarkan pada Pancasila. Bagi Cak Nur,
Pancasila memiliki peranan yang sangat penting. ”Semangat cita-cita Pancasila
ialah suatu tatanan masyarakat yang menjamin setiap warganya memperoleh
kebebasan bertindak—dan tidak perlu lagi dibatasi bahwa tindakan itu harus
bertanggung jawab—dalam lingkungan struktur kekuasaan yang adil”, tegas Cak Nur
(h. 235). Cak Nur berusaha keras menyosialisasikan dan bahkan pernah berniat
terjun secara aktif dengan mencalonkan diri sebagai presiden, walaupun akhirnya
mundur dari Konvensi Calon Presiden yang diadakan oleh Partai Golkar.
Kontribusi
Cak Nur terhadap keislaman, kemodernan, dan keindonesiaan tidak diragukan lagi.
Tiga topangan kebesarannya—karya tulis, institusi, dan pengikut—yang selalu
menjaga ”kerajaan pikirannya” (istilah Yudi Latif) menjadikan pemikiran Cak Nur
selalu aktual dan kontekstual. Sepanjang dilakukan usaha-usaha secara intensif
untuk menyajikan pemikiran Cak Nur sesuai dengan perkembangan yang ada, Cak Nur
akan selalu abadi. Semoga.
Trenggalek, 28 Juli 2013.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah berkenan membaca tulisan ini. Komentar anda sangat saya hargai.