Senin, 19 Mei 2014

Jejak Kerajaan Pikiran Cak Nur



Judul Buku: Satu Menit Pencerahan Nurcholish Madjid (Buku Pertama: A-C)
Penyunting: Budhy Munawar-Rachman dan Elza Peldi Taher
Penerbit: Paramadina dan Imania Depok
Tebal: lxxxix+252 halaman
Edisi: April 2013
Peresensi: Ngainun Naim
Pengajar IAIN Tulungagung Jawa Timur

 
Sampul buku "Satu Menit Pencerahan Nurcholish Madjid"

Nurcholish Madjid—yang akrab dipanggil Cak Nur—merupakan seorang intelektual terkemuka Indonesia. Walaupun beliau telah wafat pada 29 Agustus 2005, tetapi pengaruh pemikirannya masih terasa kuat sampai sekarang. Berbagai bentuk apresiasi dan pengembangan pemikirannya masih terus dilakukan melalui berbagai cara.
Dibandingkan dengan intelektual-pembaru Muslim seangkatannya, Cak Nur memiliki beberapa nilai lebih. Pertama, Cak Nur merupakan seorang intelektual yang memiliki banyak karya tulis. Jumlah karya tulisnya lebih dari 20 judul. Ketebalan masing-masing karyanya bervariasi. Di antara karya monumentalnya adalah Islam, Doktrin, dan Peradaban yang memiliki ketebalan di atas 500 halaman. Menilik jumlah karyanya tersebut menunjukkan bahwa Cak Nur bukan intelektual selebriti yang hanya sibuk berkomentar dan bermanuver layaknya intelektual selebritis. Beliau memiliki perhatian besar dalam melahirkan karya-karya bermutu. Sampai sekarang ini, buku-buku Cak Nur terus saja dicari oleh generasi muda dan para pengagumnya.
Kedua, Cak Nur memiliki institusi yang menjadi media bagi persebaran ide dan gagasannya, yaitu Universitas Paramadina. Lembaga ini menjadi tempat persemaian, perkembangan, penerjemahan, dan kontekstualisasi pemikiran Cak Nur. Antara Cak Nur dan Paramadina terdapat interaksi dan relasi yang saling melengkapi. Institusionalisasi pemikiran Cak Nur melalui Paramadina menjadi pembeda sekaligus nilai lebih Cak Nur dibandingkan para intelektual pembaru Islam Indonesia yang lainnya yang umumnya tidak memiliki lembaga penyokong gagasan pembaruannya.
Ketiga, Cak Nur memiliki para pengikut setia yang selalu merawat, menjaga, mengembangkan, dan mereaktualisasikan pikiran-pikiran Cak Nur searah dengan perkembangan zaman. Melalui para pengikut setianya itulah gagasan Cak Nur selalu aktual dan menemukan kontekstualisasinya di tengah arus dinamika perkembangan zaman yang semakin kompleks.
Buku yang disunting oleh Budhy Munawar-Rachman dan Elza Peldi Taher ini merupakan ikhtiar dari pengagum dan Cak Nurian sejati untuk mengkontekstualisasikan pemikiran Cak Nur agar selaras dengan dinamika zaman. Melalui cara semacam ini maka pikiran Cak Nur diharapkan selalu aktual, memiliki relevansi dengan dinamika perkembangan zaman, dikenal oleh generasi baru yang semakin akrab dengan berbagai media sosial, dan mampu memberikan pencerahan.
Cak Nur hidup ketika media sosial semacam twitter, facebook, blog, dan sejenisnya belum berkembang pesat seperti sekarang. Ketika sekarang masyarakat hidup dalam kepungan berbagai media sosial seperti sekarang ini maka berpartisipasi aktif di dalamnya menjadi pilihan yang harus dilakukan secara kreatif-produktif. Cara semacam inilah yang dilakukan oleh Cak Nurian sejati dengan membuat akun twitter @fileCaknur. Akun ini berisi potongan singkat pemikiran Cak Nur yang diambil dari buku-buku karya beliau. Sehari disiapkan antara 11-16 twit. Follower @fileCaknur setiap saat juga terus bertambah secara signifikan.
Isi buku ini adalah gabungan antara twit dari akun @fileCaknur dan kutipan asli pemikiran Cak Nur. Twit yang dimuat di buku ada ada 539 buah. Setelah itu dimuat kutipan pikiran Cak Nur dari berbagai bukunya yang dibuat secara ensiklopedik. Kutipan pikiran dalam buku ini baru dari huruf A-C. Tentu bisa dibayangkan dibutuhkan berapa buku untuk menyusun percik pemikiran Cak Nur secara keseluruhan.
Justru di sinilah sisi menarik buku ini. Pemikiran Cak Nur yang termuat dalam buku-buku karya beliau memang ditulis secara serius dan penuh kutipan referensi yang ketat. Banyak pembaca yang harus mengernyitkan dahi saat membacanya. Tetapi dalam buku ini, pikiran Cak Nur menjadi begitu ringan, sederhana, enak dibaca, dan tidak membutuhkan pemikiran mendalam. Hal ini karena kerja Cak Nurian sejati yang menyusun secara apik, ringan, dan mudah dari gugusan pemikiran Cak Nur yang terkenal berat tersebut. Pada titik inilah saya kira judul buku ini menemukan signifikansinya, yaitu Satu Menit Pencerahan Nurcholish Madjid.
Membaca buku ini seakan pembaca diajak untuk masuk ke dalam ’ruang baru’ pemikiran Cak Nur. Substansi pemikiran Cak Nur sesungguhnya sudah terbangun secara mapan, tetapi format baru penyajiannya menjadikan kita seakan melihat Cak Nur dalam wajah baru. Jejak pemikiran Cak Nur secara sederhana dapat dipetakan dalam tiga ranah: Keislaman, Kemodern, dan Keindonesiaan. Tiga wilayah ini yang menjadi konsentrasi pemikiran Cak Nur yang terus dikontekstualisasikan secara positif-kreatif sehingga Cak Nur menjadi intelektual garda terdepan Indonesia.
Bagi Cak Nur, Islam harus selalu dikontekstualisasikan. Hal ini bisa simak dalam twit nomor 8, ”Umat Islam harus tampil dengan penuh rasa percaya diri, bijaksana dan arif, serta menyadari fungsinya selaku saksi dan juri umat manusia”. Islam yang dikembangkan oleh Cak Nur adalah, ”pemahaman kita kepada Islam adalah pemahaman yang terbuka, dia bersifat inklusif dan mampu menjadi rahmat bagi seluruh alam” (h. 7). Hal ini selaras dengan cita-cita Islam yang dinilai Cak Nur sejajar dengan cita-cita kemanusiaan universal. Cita-cita itu tidak akan berhenti pada satu titik tertentu, sebab salah satu aspek terpenting kemanusiaan ialah perkembangan (h. 233).
Secara substansial, pokok-pokok pikiran Cak Nur sejalan dengan perkembangan kemodernan. Menurut Cak Nur, Islam harus mampu tampil dan mewarnai dinamika perkembangan zaman. Sebab, ”Agama selalu menjadi sumber sistem nilai, dan sistem nilai memberi dimensi moral sebagai landasan pembangunan peradaban. Maka, jika suatu agama tidak membangun peradaban, tidak bisa bertahan—karena bertabrakan dengan ilmu, misalnya—sistem nilainya pun akan ikut ambruk, kemudian pada urutannya peradabannya pun ambruk pula” (h. 128).
Pada level keindonesiaan, Cak Nur mendasarkan pada Pancasila. Bagi Cak Nur, Pancasila memiliki peranan yang sangat penting. ”Semangat cita-cita Pancasila ialah suatu tatanan masyarakat yang menjamin setiap warganya memperoleh kebebasan bertindak—dan tidak perlu lagi dibatasi bahwa tindakan itu harus bertanggung jawab—dalam lingkungan struktur kekuasaan yang adil”, tegas Cak Nur (h. 235). Cak Nur berusaha keras menyosialisasikan dan bahkan pernah berniat terjun secara aktif dengan mencalonkan diri sebagai presiden, walaupun akhirnya mundur dari Konvensi Calon Presiden yang diadakan oleh Partai Golkar.
Kontribusi Cak Nur terhadap keislaman, kemodernan, dan keindonesiaan tidak diragukan lagi. Tiga topangan kebesarannya—karya tulis, institusi, dan pengikut—yang selalu menjaga ”kerajaan pikirannya” (istilah Yudi Latif) menjadikan pemikiran Cak Nur selalu aktual dan kontekstual. Sepanjang dilakukan usaha-usaha secara intensif untuk menyajikan pemikiran Cak Nur sesuai dengan perkembangan yang ada, Cak Nur akan selalu abadi. Semoga.
Trenggalek, 28 Juli 2013.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah berkenan membaca tulisan ini. Komentar anda sangat saya hargai.