Oleh Ngainun
Naim
Hari sudah larut malam saat aku pulang menghadiri undangan tetangga yang
memiliki hajat. Karena listrik mati, anakku sudah tidur. Setelah makan nasih
berkat, istri pun beranjak tidur, sementara aku menata persiapan untuk bekerja
pada hari jumat.
Sebelum tidur, sejenak aku menyalakan televisi. Setelah menelusuri beberapa
stasiun, aku memilih Metro TV yang kebetulan sedang menayangkan acara 360.
Acara ini termasuk acara favoritku karena berisi kisah-kisah inspiratif.
Kebetulan, malam itu yang ditampilkan adalah seorang dokter yang sudah sepuh dan memiliki sifat unik, yaitu
praktik tanpa pasang tarif. Pasien yang berobat ke dokter ini bebas membayar
berapa pun. Jika memang tidak memiliki uang, tidak membayar pun diperbolehkan. Dokter
tersebut bernama Lo Siaw Ging.
Kisah Dokter Lo menurutku sangat mengesankan. Rasanya agak jarang ada
dokter yang berani memilih ”jalan sunyi” sebagaimana Dr. Lo. Ketika ditanya
reporter Metro mengenai kesulitan hidup karena ia tidak memasang tarif layaknya
dokter pada umumnya, dengan tangkas Dr. Lo menjawab, ”Kesulitan itu pasti ada.
Namanya juga manusia. Tetapi satu yang saya yakini bahwa kesulitan itu pasti
bisa diatasi. Dokter itu walaupun mungkin secara materi tidak banyak tetapi
tidak mungkin mati kelaparan. Pengalaman saya saat praktik memang banyak yang
tidak mampu membayar, tetapi mereka biasanya membawa makanan, seperti pisang,
kelapa, dan sebagainya.”
Pendapat Dr. Lo tersebut bagiku sangat mengesankan. Pilihan hidup Dr. Lo
ini berkaitan dengan jejak perjalanan hidupnya yang panjang. Ketika dia memilih
untuk melanjutkan studi kedokteran, Bapaknya secara tegas menyatakan agar Lo muda
jangan mencari uang dari profesinya sebagai seorang dokter. ”Jika ingin cari
uang, jadilah pedagang. Tetapi jika ingin mengabdi kepada kemanusiaan, jadilah
dokter”, begitu pesan Bapaknya. Pesan tersebut terpatri kuat dalam sanubarinya
sampai sekarang ini.
Dr. Lo sadar betul bahwa tugas mulia dokter adalah menyelamatkan nyawa
manusia. Karena itu, jangan sampai ia mengomersialkan profesinya. Istri dan
keluarganya mendukung sepenuhnya. Baginya, hidup harus dijalani secara baik.
Pilihan hidupnya tidak membuatnya merasa kekurangan. Tanpa memasang tarif,
orang justru menaruh simpati yang tinggi kepada Dr. Lo. Kebaikan yang
ditanamkan dalam menjalani profesinya berimbas pada aspek kehidupan yang lebih
luas. Saat kerusuhan massal melanda Solo tahun 1998, masyarakat bersatu
melindungi rumah Dr. Lo. Bagi masyarakat, Dr. Lo adalah tokoh yang memberikan
banyak kontribusi bagi masyarakat.
Saya kemudian mencari informasi tentang Dr. Lo di internet. Saya menemukan
sekitar 18.000 sumber. Salah satunya di http://www.tribunnews.com/regional/2013/12/02/kisah-dr-lo-di-solo-dokter-yang-tak-pernah-minta-bayaran-ke-pasiennya.
Disebutkan di link ini bahwa Dr. Lo memang memiliki jiwa sosial yang sangat
tinggi. Disebutkan di berita tersebut bahwa, "Kalau tidak punya, saya
menulis resep dan meminta mereka menebus di apotek atau rumah sakit langganan
saya agar gratis. Biar nanti tagihannya saya bayar per bulannya," kata Lo
sambil menunggu pasien masuk ke ruangannya.
Setiap bulan, Lo harus menanggung biaya sekitar Rp 6 juta hingga Rp 8 juta
untuk menebus obat-obat itu. Lo enggan menjelaskan lebih detail tentang beban
biaya yang harus ditanggungnya tersebut. Dia mengatakan, untuk membayar tagihan
itu, ada sejumlah donatur yang membantunya.
Sosok Dr. Lo menarik saat masyarakat sekarang ini tengah dihinggapi oleh
virus materialisme di mana segala sesuatunya diukur dari uang. Dr. Lo menjadi
fenomena lain yang layak untuk direnungkan. Kisah lebih lengkap Dr. Lo bisa
dibaca di sini. http://kesehatan.kompasiana.com/medis/2011/04/05/lo-siaw-ging-dokter-apa-malaikat-352409.html.
Tulungagung, 16 Mei 2014
Ngainun Naim
Testing Komentar
BalasHapusTesting balas Komentar. :)
HapusTesting sudah bisa diterima. Salam Kang Im dan Ahmad.
BalasHapus