Jumat, 16 Mei 2014

Dokter Tanpa Tarif



Oleh Ngainun Naim

Hari sudah larut malam saat aku pulang menghadiri undangan tetangga yang memiliki hajat. Karena listrik mati, anakku sudah tidur. Setelah makan nasih berkat, istri pun beranjak tidur, sementara aku menata persiapan untuk bekerja pada hari jumat.
Sebelum tidur, sejenak aku menyalakan televisi. Setelah menelusuri beberapa stasiun, aku memilih Metro TV yang kebetulan sedang menayangkan acara 360. Acara ini termasuk acara favoritku karena berisi kisah-kisah inspiratif. Kebetulan, malam itu yang ditampilkan adalah seorang dokter yang sudah sepuh dan memiliki sifat unik, yaitu praktik tanpa pasang tarif. Pasien yang berobat ke dokter ini bebas membayar berapa pun. Jika memang tidak memiliki uang, tidak membayar pun diperbolehkan. Dokter tersebut bernama Lo Siaw Ging.
Kisah Dokter Lo menurutku sangat mengesankan. Rasanya agak jarang ada dokter yang berani memilih ”jalan sunyi” sebagaimana Dr. Lo. Ketika ditanya reporter Metro mengenai kesulitan hidup karena ia tidak memasang tarif layaknya dokter pada umumnya, dengan tangkas Dr. Lo menjawab, ”Kesulitan itu pasti ada. Namanya juga manusia. Tetapi satu yang saya yakini bahwa kesulitan itu pasti bisa diatasi. Dokter itu walaupun mungkin secara materi tidak banyak tetapi tidak mungkin mati kelaparan. Pengalaman saya saat praktik memang banyak yang tidak mampu membayar, tetapi mereka biasanya membawa makanan, seperti pisang, kelapa, dan sebagainya.”
Pendapat Dr. Lo tersebut bagiku sangat mengesankan. Pilihan hidup Dr. Lo ini berkaitan dengan jejak perjalanan hidupnya yang panjang. Ketika dia memilih untuk melanjutkan studi kedokteran, Bapaknya secara tegas menyatakan agar Lo muda jangan mencari uang dari profesinya sebagai seorang dokter. ”Jika ingin cari uang, jadilah pedagang. Tetapi jika ingin mengabdi kepada kemanusiaan, jadilah dokter”, begitu pesan Bapaknya. Pesan tersebut terpatri kuat dalam sanubarinya sampai sekarang ini.
Dr. Lo sadar betul bahwa tugas mulia dokter adalah menyelamatkan nyawa manusia. Karena itu, jangan sampai ia mengomersialkan profesinya. Istri dan keluarganya mendukung sepenuhnya. Baginya, hidup harus dijalani secara baik. Pilihan hidupnya tidak membuatnya merasa kekurangan. Tanpa memasang tarif, orang justru menaruh simpati yang tinggi kepada Dr. Lo. Kebaikan yang ditanamkan dalam menjalani profesinya berimbas pada aspek kehidupan yang lebih luas. Saat kerusuhan massal melanda Solo tahun 1998, masyarakat bersatu melindungi rumah Dr. Lo. Bagi masyarakat, Dr. Lo adalah tokoh yang memberikan banyak kontribusi bagi masyarakat.
Saya kemudian mencari informasi tentang Dr. Lo di internet. Saya menemukan sekitar 18.000 sumber. Salah satunya di http://www.tribunnews.com/regional/2013/12/02/kisah-dr-lo-di-solo-dokter-yang-tak-pernah-minta-bayaran-ke-pasiennya. Disebutkan di link ini bahwa Dr. Lo memang memiliki jiwa sosial yang sangat tinggi. Disebutkan di berita tersebut bahwa, "Kalau tidak punya, saya menulis resep dan meminta mereka menebus di apotek atau rumah sakit langganan saya agar gratis. Biar nanti tagihannya saya bayar per bulannya," kata Lo sambil menunggu pasien masuk ke ruangannya.
Setiap bulan, Lo harus menanggung biaya sekitar Rp 6 juta hingga Rp 8 juta untuk menebus obat-obat itu. Lo enggan menjelaskan lebih detail tentang beban biaya yang harus ditanggungnya tersebut. Dia mengatakan, untuk membayar tagihan itu, ada sejumlah donatur yang membantunya.
Sosok Dr. Lo menarik saat masyarakat sekarang ini tengah dihinggapi oleh virus materialisme di mana segala sesuatunya diukur dari uang. Dr. Lo menjadi fenomena lain yang layak untuk direnungkan. Kisah lebih lengkap Dr. Lo bisa dibaca di sini. http://kesehatan.kompasiana.com/medis/2011/04/05/lo-siaw-ging-dokter-apa-malaikat-352409.html.

Tulungagung, 16 Mei 2014
Ngainun Naim

3 komentar:

Terima kasih sudah berkenan membaca tulisan ini. Komentar anda sangat saya hargai.