Rabu, 19 Maret 2014

Bersyukur dengan Menulis

Beberapa waktu lalu saat pergi ke Toko Buku Togamas Tulungagung, saya menemukan sebuah buku yang sangat menarik. Buku tersebut ditulis seorang ulama, ilmuwan, dan guru besar dari ITB, Miftah Faridl. Judulnya Lentera Ukhuwah, terbitan Mizania Bandung, Januari 2014.

Buku ini saya beli karena beberapa pertimbangan. Pertama, pertimbangan penulisnya. Saya sudah lama membaca nama beliau berikut karya-karyanya. Buku yang beliau tulis saya yakini menarik karena saya pernah membaca buku beliau lainnya. Dan setelah saya telusuri halaman demi halaman selama beberapa hari di sela-sela aktivitas yang cukup padat, ternyata saya tidak salah. Buku cukup bagus, berbobot, dan memberikan banyak informadi baru yang cukup bermanfaat.

Kedua, pertimbangan penerbit. Saya tidak fanatik kepada penerbit tertentu. Sepanjang buku itu bagus, biasanya saya mengambilnya. Tetapi beberapa penerbit menjadi salah satu pertimbanga penting untuk dpilih. Salah satunya adalah Mizan.


Ketiga, pertimbangan tema. Salah satu topik yang saya tekuni--selain dunia literasi--adalah topik kerukunan. Topik ini saya tulis dalam bentuk catatan, artikel koran, artikel jurnal, dan buku. Ada dua buku saya yang telah terbit berkaitan tema ini, yaitu Pendidikan Multikultural (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2008) dan Teologi Kerukunan (Yogyakarta: Teras, 2011). Sebenarnya ada lagi satu buku yang sekarang sedang proses terbit, judulnya Pluralisme Agama, Dinamika Perebutan Makna (Yogyakarta: Aura Pustaka, 2014). Karena berkaitan dengan topik yang saya sukai, maka buku Miftah Faridl pun saya ambil untuk saya serap maknanya.

Sampai sekarang buku ini belum saya baca hingga tuntas. Masih tersisa sekitar 40 halaman. Mungkin besok baru tuntas.

Dari beberapa hari pembacaan dan menandai dalam bentuk catatan, saya menemukan banyak pelajaran yang sangat berharga. Salah satunya adalah tentang syukur.

Kata syukur sebenarnya sudah sangat sering saya dengar. Beberapa kali saat mengisi acara saya juga menyinggung topik syukur. Tetapi melalui tulisan Miftah Faridl, saya menemukan perspektif baru yang menarik.


Pada halaman 184 ditulis bahwa nikmat yang kita peroleh harus disebarkan kepada siapa pun di sekitar kita. Itulah esensi dari syukur. Yaitu memberikan apa pun nikmat yang Allah berikan kepada diri manusia untuk kesejahteraan manusia yang lainnya, bukan hanya untuk dirinya sendiri.

Ada banyak lagi ulasan Miftah Faridl berkaitan dengan syukur. Tetapi yang paling menarik dan mengena adalah yang saya kutip tersebut. Saya merasakan penjelasan di buku itu begitu menukik dan menyentuh. Tulisan di buku itu membuat saya semakin termotivasi untuk terus berusaha menulis.

Bagi saya pribadi, kemampuan menulis yang sekarang ini saya miliki adalah nikmat luar biasa yang harus saya syukuri. Saya tidak pernah membayangkan jika suatu saat dalam rentang perjalanan hidup saya bisa menggeluti dunia ini. Menulis menjadi dunia yang memberikan hidup saya penuh warna. Ada begitu banyak dinamika hidup, pengalaman, dan warna yang saya rengkuh karena tulisan saya. Rasanya berdosa jika saya tidak bersyukur.

Wujud rasa syukur saya--semoga ini bukan takabbur--adalah dengan membagikan spirit, strategi, dan pengalaman menulis. Tulisan sederhana saya yang saya usahakan muncul tiap pagi merupakan aktualisasi rasa syukur saya. Rasa syukur ini akan lebih meningkat manakala ada yang tergerak untuk membaca dan menulis. Saya merasakan keharuan menyimak tulisan banyak sahabat di dunia maya yang tidak semua saya kenal secara nyata. Tulisan mereka begitu murni. Mereka semua potensial. Jika mereka mampu istiqamah, saya yakin mereka akan menjadi penulis yang unggul. Jika tidak, tentu sejarah yang akan menjawab. Biarlah mereka terus berproses, dan saya akan terus memotivasi mereka agar bisa menjadi semakin matang. Semoga hal kecil yang sata lakukan betul-betul manifestasi rasa syukur saya. Amin.

Trenggalek, 19 Maret 2014
Ngainun Naim

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah berkenan membaca tulisan ini. Komentar anda sangat saya hargai.