Kamis, 05 Desember 2013

Tentang Seorang Sahabat yang Religius




Oleh Ngainun Naim

Sejak senin malam lalu aku berada di Jakarta. Aku hadir sebagai peserta sebuah konferensi internasional yang diadakan di Hotel Shangrila. Bagiku, ini merupakan kesempatan berharga untuk belajar, menimba ilmu, dan berkenalan dengan kolega-kolega baru.
Ada sangat banyak pengetahuan dan hal baru yang aku peroleh. Pengetahuan semacam ini jelas tidak aku peroleh dari tempat aku bekerja sehari-hari. Keluar dari rutinitas kerja seperti yang sekarang ini aku alami memberiku secercah kesempatan untuk menyerap energi baru, termasuk dalam menulis catatan-catatan reflektif.
Beberapa orang menjadi teman baru. Di kesempatan ini pula aku (kembali) bertemu dengan seorang kenalan lama. Ini merupakan pertemuan—kalau tidak salah—yang keempat kalinya dengan sahabat tersebut. Pertama kali bertemu dengannya di sebuah acara di Bogor beberapa tahun lalu. Kesempatan pertemuan berikutnya adalah saat ia datang ke kampus tempatku bekerja dalam sebuah acara bedah buku. Kebetulan, ia merupakan seorang penulis buku yang produktif. Kesempatan berikutnya adalah dalam acara yang sayannya aku tidak seberapa ingat. Dan di Jakarta ini kami kembali bertemu.
Tentu saja, ini merupakan sebuah pertemuan yang menggembirakan. Selama ini, kami aktif berkomunikasi, khususnya melalui HP. Ia pernah memintaku menulis artikel untuk jurnal yang dikelolanya. Adiknya yang bungsu juga kuliah di tempatku. Jadi memang ada keakraban di antara kami. Tetapi baru pada kesempatan ini aku mendapatkan banyak pelajaran darinya. Pelajaran itu adalah tentang religiusitasnya.
Awalnya siang kemarin pada saat istirahat siang ia mengajak ke kamarku untuk istirahat sebelum masuk ke sesi berikutnya. Dengan senang hati aku menyambut ajakannya. Di kamar, setelah berbincang, dia mengajak shalat berjamaah. Aku pun menyambut ajakannya. Kesempatan berjamaah bersama ini belum memberiku kesan mendalam. Aku pikir aku juga sering melakukannya, baik di rumah maupun di kantor.
Tadi pagi, aku menelponnya untuk mengajak sarapan. Aku terkejut dengan jawabannya. ”Maaf mas, aku puasa”. Aku tertegun dengan jawabannya, lalu meminta maaf. Aku pun berangkat sarapan seorang diri.
Siang harinya, saat istirahat, kembali ia mengajakku shalat berjamaah. Pada kesempatan inilah aku menemukan banyak pelajaran berharga. Entah sengaja atau tidak, ia bercerita bahwa salah satu kebiasaan yang ia jaga adalah shalat berjamaah. Ia selalu berusaha menjalankannya semaksimal mungkin.
Tidak hanya itu. Ia juga memiliki kebiasaan shalat tahajud selama bertahun-tahun. ”Besok pagi jam 3 kita keluar bersama ke masjid itu mas”, ajaknya dengan menunjuk masjid yang berdiri megah di samping Hotel Shangrilla. Aku tersenyum dan tidak mengiyakan. Jam 3 merupakan jam yang berat bagiku untuk bangun, apalagi harus keluar hotel untuk shalat. Berat sekali rasanya. Aku sendiri sesungguhnya meyakini sepenuhnya bahwa shalat tahajud memiliki banyak manfaat dalam kehidupan ini. Tetapi jujur harus aku akui bahwa aku belum mampu menjalankannya setiap hari. Hanya saat-saat tertentu saja aku mampu menjalankannya. Ajakannya membuatku malu.
Ya, di Jakarta selama beberapa hari ini aku telah mendapatkan pelajaran berharga dari seorang teman yang religius. Aku masih jauh dari kata religius. Hanya muncul tekad dalam diriku untuk selalu memperbaiki diri ini. Semoga berhasil.
Jakarta, 5 Desember 2013
Ngainun Naim


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah berkenan membaca tulisan ini. Komentar anda sangat saya hargai.