Selasa, 01 Oktober 2013

Perbaikan Moral di Mata Cak Nur



Oleh Ngainun Naim

Salah satu persoalan serius yang kita hadapi sekarang ini adalah meningkatnya gejala demoralisasi. Gejala ini terjadi pada hampir semua aspek kehidupan. Ada kegelisahan dan keresahan secara luas yang dirasakan oleh masyarakat, tetapi tidak ada langkah sinergis yang melibatkan semua elemen masyarakat. Langkah yang dilakukan kebanyakan hanya keluh kesah. Memang ada yang melakukan langkah-langkah yang lebih produktif dalam bentuk pemikiran atau aksi, tetapi jumlahnya tidak terlalu dominan. Justru yang dominan adalah mereka yang merasakan kemuakan dan harapan perbaikan dalam asa semata.
Dalam kerangka perbaikan untuk mengatasi krisis moralitas, menarik menyimak pemikiran Nurcholish Madjid. Cendekiawan Muslim yang memiliki wawasan mendalam ini memiliki perhatian terhadap berbagai persoalan moralitas dalam masyarakat. Sebab, dalam pandangan Cak Nur, akhlak atau moralitas itu penting maknanya karena merupakan sendi atau landasan ketahanan suatu bangsa dalam menghadapi pancaroba (1997a: 174). Landasan itu yang menentukan terhadap kokoh atau tidaknya sebuah bangunan. Ketika dalam proses perubahan sosial yang berlangsung sedemikian massif, sangat mungkin aspek moralitas tidak mampu untuk dijaga. Jika terjadi krisis moralitas maka perjalanan bangsa ke depan akan menghadapi berbagai tantangan yang semakin akut.
Oleh karena itu, menurut Cak Nur, untuk mengantisipasi adanya perubahan dalam masyarakat, tidak cukup hanya dengan melakukan pendekatan praktis dan pragmatis. Menurut Cak Nur, hal yang lebih penting justru bagaimana meningkatkan pembangunan kelembagaan sosial budaya karena adanya hubungan sistemik-sibernetik antara budaya dan kemasyarakatan budaya. Kata Cak Nur, perangai, dan juga perilaku seseorang itu tumbuh dan berubah hanya sampai batas minimal sesuai dengan tuntutan situasi yang terdekat dalam hidupnya (1997b: 191).
Perubahan memang merupakan realitas yang tidak mungkin untuk dihindari. Dalam dinamika sosial yang berlangsung sedemikian massif, ada aspek yang menjadi konsekuensinya, yaitu timbulnya krisis. Ukuran krisis itu sebanding dengan ukuran perubahan yang terjadi. Dan kondisi sosial tertentu akan mendorong tumbuhnya sistem nilai tertentu (2009: 160).
Krisis yang timbul akibat adanya perubahan sosial kebanyakan bersifat negatif. Dalam analisis yang dilakukan oleh Cak Nur—panggilan Nurcholish Madjid—ada beberapa dampak negatif akibat perubahan sosial. Pertama, “deprivasi relatif”, yaitu perasaan teringkari, tersisihkan atau tertinggal pada orang lain dan kalangan tertentu dalam masyarakat kita akibat tidak dapat mengikuti laju perubahan, dan kesulitan menyesuaikan diri dengan perubahan itu. Kedua, “dislokasi”, yaitu perasaan tidak punya tempat dalam tatanan sosial yang sedang berkembang. Dalam wujudnya yang amat nyata, dislokasi ini dapat dilihat pada krisis-krisis yang dialami oleh kaum marginal atau pinggiran di kota-kota besar akibat urbanisasi. Ketiga, “disorientasi”, yaitu perasaan tidak mempunyai pegangan hidup akibat yang ada selama ini tidak lagi dapat dipertahankan karena terasa tidak cocok. Disorientasi ini menyebabkan yang bersangkutan sulit mengenali diri sendiri (kehilangan identitas). Keempat, “negativisme”, yaitu perasaan yang mendorong ke arah pandangan yang serba negatif kepada susunan mapan, dengan sikap-sikap tidak percaya, curiga, bermusuhan, melawan, dan sebagainya (2009: 160).
Namun demikian, tidak setiap perubahan sosial membawa dampak negatif. Perubahan justru bisa mendatangkan sisi positif ketika terdapat kesiapan untuk menghadapinya. Oleh karena itu, aspek mendasar yang harus ditanamkan dalam diri anak didik adalah bagaimana mereka memiliki landasan yang kokoh dalam menghadapi perubahan. Landasan tersebut adalah nilai-nilai ajaran agama.

Tulungagung, 1 Oktober 2013
Ngainun Naim

Referensi:
Nurcholish Madjid, Bilik-bilik Pesantren, Sebuah Potret Perjalanan, (Jakarta: Paramadina, 1997a).
Nurcholish Madjid, Tradisi Islam, Peran dan Fungsinya dalam Pembangunan di Indonesia, (Jakarta: Paramadina, 1997b).
Nurcholish Madjid, Kaki Langit Peradaban Islam, Cet. II, (Jakarta: Paramadina dan Dian Rakyat, 2009).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah berkenan membaca tulisan ini. Komentar anda sangat saya hargai.