Kamis, 17 Oktober 2013

‘Orang-orang Kecil’ dengan Semangat Besar Berkorban



Oleh Ngainun Naim

Berita yang kita baca akan memberikan dampak terhadap cara pandang kita. Jika setiap hari kita terus saja diserbu dengan berita negatif, cara pandang kita pun akan terpengaruh. Sebaliknya, jika kita sering mengkonsumsi berita positif, maka kita pun juga akan terpengaruh secara positif.
Sayangnya, media kita lebih menyukai berita dengan nuansa negatif. Kasus korupsi, penggerebekan, penangkapan, debat politik, dan sejenisnya lebih menarik perhatian dibandingkan berita tentang prestasi, kedisiplinan, perbaikan mental, dan sejenisnya. Tidak hanya media saja. Masyarakat pun tampaknya juga lebih menyukai hal-hal yang negatif dan kontroversi dibandingkan dengan hal positif-normatif.
Di tengah serbuan berita bombastis tentang politik, korupsi, dan dunia hiburan, saya menemukan berita menyejukkan tentang ibadah korban. Bukan berita headline. Letaknya pun hanya di halaman dalam. Tetapi berita tersebut terasa menghunjam dan menusuk dimensi kemanusiaan. Berita tersebut bukan tentang ribuan orang yang berdesakan berebut daging korban, tetapi tentang ’orang kecil’ yang harus berjuang keras menyisihkan hartanya agar bisa berkorban.
Membaca berita tentang bagaimana ’orang-orang kecil’ tersebut berjuang, saya merasakan keharuan mendalam. Saya seperti ’ditelanjangi’. Mereka yang hidupnya tidak lebih baik secara ekonomi dibandingkan saya ternyata memiliki spirit ibadah yang sedemikian menggetarkan. Mereka harus berjuang keras bertahun-tahun menabung agar bisa berkurban. Substansi perjuangan mereka saya kira bukan pada prosesi ibadahnya saja, tetapi juga pada komitmen ibadah dan proses panjang untuk mewujudkannya. Berita tersebut membuat saya malu sekaligus bersyukur. Malu karena saya belum mampu melakukannya. Bersyukur karena spirit yang mereka miliki membuat saya ingin memperbaiki diri.
Berita pertama saya baca di Harian Jawa Pos Radar Tulungagung edisi Senin, 14 Oktober 2013. Judulnya, ”Abdul Mursid dan Sumarlin Pasutri Berkurban Sapi, Kumpulkan Uang dari Berjualan Cilok dan Upah Pramuwisma”. Pasangan suami istri ini tinggal di Desa Sobontoro Kecamatan Boyolangu Kabupaten Tulungagung. Pada tahun ini, untuk keempat kalinya pasangan suami istri tersebut menjalankan ibadah korban. Tahun ini menjadi lebih istimewa karena hewan kurbannya adalah sapi, walaupun dibeli secara bersama dengan beberapa tetangganya. Pasangan suami istri ini adalah pasangan istimewa karena untuk makan sehari-hari saja terkadang sulit, tetapi semangat berkurbannya tidak terbendung. Mereka juga belum memiliki rumah sendiri. Rumah yang mereka tempati adalah warisan orang tuamu.
Spirit berkurban yang sedemikian besar dilandasi keyakinan keduanya bahwa berkurban itu memberikan berkah. Keyakinan inilah yang membuat keduanya berusaha untuk menyisihkan uang setiap harinya tanpa ada ketentuan besarnya.
Berkah memang menjadi misteri hidup. Berkah itu tidak bisa dilihat secara kasat mata dan dinalar mengikuti hukum-hukum ilmiah. Ia ada, hadir, dan dirasakan oleh yang mendapatkannya. Bentuknya bisa berupa ketenangan batin, peningkatan kualitas hidup, keturunan yang sukses, dan sebagainya.
Spirit besar berkorban juga dilakukan oleh Bambang, seorang pengayuh becak di Pasuruan yang berkorban seekor sapi seharga Rp 13 juta. Tidak hanya tahun ini saja Bambang berkorban sebab tahun ini merupakan kali ketiga Bambang berkorban.
Sebagaimana dimuat di Harian Jawa Pos edisi Selasa, 15 Oktober 2013, Bambang mulai berkorban pada tahun 2009. Saat itu, ia berkorban seekor kambing. Tiga tahun setelah itu, yakni tahun 2012, ia kembali berkorban dua ekor kambing. Dan tahun ini, tahun 2013, ia berkorban seekor sapi.
Aspek yang penting diteladani dari sosok Bambang adalah semangatnya yang sangat besar untuk berkorban. Profesi sebagai tukang becak tidak menyurutkan niatnya berkorban. Sama seperti yang dilakukan pasangan Abdul Mursid-Mursalin dari Tulungagung, Bambang juga rajin menabung. Setiap mendapatkan penghasilan, ia menyisihkannya dengan memasukkan ke dalam bantalan becak yang merupakan tempat duduk yang sengaja dia lubangi.
Tabungan sebesar Rp 13 juta yang dia gunakan untuk berkurban pada tahun ini merupakan hasil jerih payahnya selama 10 tahun menabung. Ini ditambah dengan tabungan dari uang istrinya sebagai tukang pijat.
Saya sangat yakin ada begitu banyak orang yang melakukan hal yang sama. Hanya saja mereka tidak terekspose media. Atau mungkin mereka tidak mau dipublish. Spirit beribadah kurban yang sedemikian besar di tengah keterbatasan ekonomi adalah teladan hidup yang sangat luar biasa. Berita keteladanan semacam ini yang saya kira justru perlu untuk kita sebar luaskan. Melalui cara semacam ini, kebaikan sosial diharapkan dapat cepat terwujudkan. Semoga.
Tulungagung--Trenggalek, 17 Oktober 2013
Ngainun Naim
www.ngainun-naim.blogspot.com 

1 komentar:

  1. Beberapa hari ini, saya menunggu tulisan jenengan yang di blog, ustad. Semoga segera diposting lagi. Suwon.....

    BalasHapus

Terima kasih sudah berkenan membaca tulisan ini. Komentar anda sangat saya hargai.