Jumat, 13 September 2013

Sukses Itu Bukan Hanya Usaha Sendiri, Tetapi Juga Usaha Orang Tua



Sukses Itu Bukan Hanya Usaha Sendiri, Tetapi Juga Usaha Orang Tua
Oleh Ngainun Naim
”Jangan pernah sombong dengan capaian kita sekarang karena kita bisa seperti ini berkat usaha keras orang tua kita”, kata seorang teman akrab di kantor. Sebagai teman akrab, saya menilai dia sudah cukup berhasil. Usia masih dikisaran 40 tahun, telah menyandang gelar doktor, punya rumah dan mobil yang cukup bagus, serta berbagai ukuran sukses secara materi lainnya telah dia miliki. Tetapi jangan tanya apa yang masih kurang karena manusia itu akan selalu kurang. Jika saja diberi kesempatan untuk memperoleh apapun di dunia ini, kata puas itu tidak akan pernah diraih.
Saya justru tertarik dengan ucapannya mengenai peran penting orang tuanya. Dia bercerita bahwa dia bisa memperoleh apa yang sekarang ini karena visi, usaha, dan kerja keras orang tuanya. Di zaman ia kecil, sangat sedikit orang tua yang memiliki visi pendidikan. Orang tuanyalah yang memaksanya berani tampil beda dengan menyekolahkan dirinya di tengah arus sebagian besar masyarakat yang mulai tertarik mencari rejeki di luar negeri. Sekarang, ia merasakan betul bahwa pilihan orang tuanya tidak salah.
Saya kira bukan hanya teman saya saja yang mengalami hal semacam itu. Sebagian besar—jika tidak semua—orang bisa meraih kesuksesan karena jejak yang ditanamkan oleh orang tua. Tanpa peran orang tua, mustahil kesuksesan dapat direngkuh.
Spiritualitas yang Kokoh
Peran orang tua mengantarkan kesuksesan anak tidak hanya sebatas pada visi, misi, pendanaan, dan pemberian kesempatan kepada anak-anaknya saja. Sejauh pengamatan dan juga dari tulisan-tulisan yang pernah saya baca, ada satu faktor penting yang selama ini kurang mendapatkan perhatian, yaitu spiritualitas orang tua. Mungkin Anda tidak percaya atau menganggapnya sebagai hal yang irasional. Itu sah-sah saja.
Menurut ilmu filsafat yang pernah saya pelajari, rasio itu memiliki kemampuan yang terbatas. Memang, banyak aspek yang telah dihasilkan dari kemampuan rasio manusia. Ini harus kita catat secara tepat. Kemajuan yang sekarang ini bisa kita rasakan juga karena kemampuan rasio. Tetapi yang perlu dicatat, tidak semua hal dapat diselesaikan oleh rasio. Ada beberapa hal yang membutuhkan alat bantu lain untuk memahami dan menyelesaikannya.
Adanya persoalan moral, etika, sosial, dan berbagai persoalan lainnya menunjukkan bahwa rasio tidak boleh dijadikan sebagai satu-satunya alat ukur untuk menentukan kebenaran. Rasio perlu dibantu alat lain. Dalam epistemologi filsafat Islam, dikenal yang namanya intuisi. Saya tidak membahas tentang intuisi pada tulisan ini. Anda yang berminat membaca bisa merujuk buku-buku tentang epistemologi. Salah satunya adalah buku karya Prof. Dr. Mujamil Qomar, M.Ag yang berjudul Epistemologi Pendidikan Islam yang diterbitkan oleh Penerbit Erlangga Jakarta.
Berdasarkan perspektif ini, saya ingin menegaskan bahwa usaha spiritual yang dilakukan oleh orang tua memiliki implikasi terhadap kondisi anak. Orang tua yang rajin mendoakan anaknya, rajin shalat sunah, rajin puasa, dan berbadah demi kesuksesan anak-anaknya menjadikan anak-anaknya memiliki peluang yang lebih besar untuk sukses dibandingkan dengan orang tua sekuler yang tidak melakukan usaha-usaha spiritual untuk anak-anaknya.
Catatan Gus Rizal
Berkaitan dengan persoalan inilah, saya ingin mengutip status Gus Rizal, seorang teman saya di facebook. Secara personal saya belum pernah bertemu dengannya, tetapi saya tahu ayahnya; pamannya juga teman saya semasa SMA. Saya menyukai statusnya di FB yang cukup mencerahkan. Salah satu statusnya adalah mengenai persoalan yang sedang saya tulis ini.
Saya kebetulan menyimpan status yang dia tulis pada 15 Agustus lalu. Ia menulis berdasarkan jawaban banyak orang yang anak-anaknya sukses. Inilah hasil penelusurannya:
1.  "Orangtua saya rajin puasa Senin Kamis dan bangun malam. Surat favoritnya ya Yasin sama Waqiah...!"
2.  "Seingat saya, ibu saya selalu puasa Daud semenjak saya mondok hingga beliau wafat...”
3.  "Orangtua saya dulu orang nggak punya. Tapi seingat saya ibu saya tak pernah lupa sedekah setiap menjelang berangkat ke sawah. Kalau bapak ya hanya muadzin di langgar, tapi gemar sowan ke para ulama, minta doa. Bukan untuk dirinya tapi untuk keberhasilan anak-anaknya..."
4.  "Hehehe, saya bisa begini ya karena orangtua. Saya sering disuruh minum air sisa minuman para kiai, sambil bapak saya sekalian minta didoakan. Kalau makan ya makannya sego berkat. Kata bapak, sego berkat mengandung barakah karena sudah diberi doa. Kalau emak gemar sholawatan. Biasanya selepas Tahajud beliau wiridkan sholawat Fatih dan Nariyah sampai subuh.”
5.  "Saya ingat, Abah sering menyantuni anak yatim dan menyekolahkannya/ memondokkannya. Abah juga puasa Dawud puluhan tahun. Kalau buka ya ngrowot (non-nasi, hanya tetumbuhan). Kalau Umi istiqomah setiap bulan ngasih jatah beras dan uang ke orang yang tidak mampu..."
6.  "Kalau yang rajin tirakat ya bapak sama emak. Biasanya puasa sunnah dan bangun malam. Kompak betul beliau berdua. Biasanya, menjelang saya ujian, dari SD sampai saya ujian doktor, intensitas ibadah dan tirakat beliau berdua meningkat. Saya bisa jadi profesor ya berkat beliau berdua...."
Tulisan ini tidak memiliki pretensi apa-apa. Saya hanya ingin mengajak diri saya—syukur-syukur ada yang juga tertarik—agar semakin menghormati orang tua. Apa yang sekarang ini bisa saya peroleh adalah berkat kerja keras beliau, secara materi maupun spiritual. Salam!
Trenggalek, 13 September 2013
Ngainun Naim
www.ngainun-naim.blogspot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah berkenan membaca tulisan ini. Komentar anda sangat saya hargai.