Minggu, 15 September 2013

Fenomena Vicky, Kerumitan Dalam Tinjauan yang Rumit



Fenomena Vicky, Kerumitan Dalam Tinjauan yang Rumit
Oleh Ngainun Naim

Seminggu terakhir ini jejaring sosial dipenuhi dengan status, komentar, dan tulisan ala Vicky, mantan tunangan Zaskia Gotic. Ada yang sekadar komentar ringan, status bergaya Vicky, usulan menulis skripsi model bahasa Vicky, hingga ulasan serius dalam tulisan teman-teman Kompasianer.
Saya awalnya cukup menikmati fenomena ini. Rasanya ada yang lucu, norak, berani, dan kadang menjengkelkan. Semuanya merupakan apresiasi atas fenomena yang sedang berkembang. Tetapi saat fenomena ini terus berlangsung, rasanya ada hal yang penting untuk dikritisi.
Zaman serba cepat seperti sekarang ini memang memungkinkan persebaran segala hal secara sangat cepat. Baju, gaya hidup, hingga cara berbicara bisa sangat cepat berkembang pesat dan mendapatkan ”pengikut” dalam waktu yang relatif cepat.
Pertanyaan mendasarnya adalah mengapa orang begitu cepat menyambut sebuah fenomena—Vicky misalnya—dengan sangat antusias? Jejaring sosial yang semakin luas memang menjadi salah satu faktornya. Tetapi menurut saya itu belum memberikan jawaban secara mendasar mengenai faktor penyebabnya.
Selama beberapa hari ini, saya kebetulan membaca buku-buku filsafat. Saya menemukan sebuah buku menarik karya ahli filsafat Indonesia, Dr. F. Budi Hardiman. Judul bukunya sangat menarik, yaitu Mistik Keseharian Heidegger (Jakarta: KPG, 2005). Buku yang cukup rumit dan membuat kening berkerut saat membacanya ini menyuguhkan banyak hal menarik. Salah satunya saya kira bisa dipakai sebagai alat analisis untuk memahami fenomena Vicky.
Menurut Heidegger, karakteristik dominan dari orang kebanyakan (das man) adalah keterlenaan terhadap hal-hal yang praktis, meriah, gemerlap, sensasional, glamor, npopuler, dan berbentuk massa (masif). Orang kebanyakan mengejar kesepakatan-kesepakatan global dan populer dalam berbagai hal: cara berpakaian, cara bicara, berpikir, dan juga bercita rasa. Mereka larut dalam banalitas kehidupan sehari-hari yang gersang dan dangkal tanpa pernah menyelami serpihan-serpihan makna yang mencuat darinya. Mereka membaca, melihat, mengamati, dan menilai sebagaimana kebanyakan orang lain mengamati dan menilai.
Di tengah arus orang kebanyakan (das man) ini seharusnya muncul orang yang tidak ikut arus, atau paling tidak membangun pemahaman dan kesadaran kritis terhadap fenomena yang sedang berkembang. Fenomena Vicky, dalam kerangka ini, seharusnya diposisikan secara kritis. Ia tidak harus diikuti secara membabi buta, tetapi dipahami dalam konteks yang lebih luas.
Mungkin Anda tidak setuju dengan perspektif ini. Vicky dengan bahasanya sudah menghadirkan kerumitan sehingga sulit dipahami. Apalagi dibungkus dengan perspektif filsafat Heidegger yang kerumitannya jauh melampaui bahasa Vicky. Jika Anda semakin pening karena semakin rumit, ya mohon maaf. Judul tulisan ini memang ”Kerumitan dalam Tinjauan yang Rumit”. Salam Persahabatan.
Paviliun RSUD Trenggalek, 15 September 2013
Ngainun Naim


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah berkenan membaca tulisan ini. Komentar anda sangat saya hargai.