Minggu, 25 Agustus 2013

KECAKAPAN MANAJERIAL JIWA



KECAKAPAN MANAJERIAL JIWA
Oleh Ngainun Naim


Judul tulisan ini mungkin terlihat abstrak. Saya menulis judul ini dilandasi oleh keinginan pribadi agar saya mampu mengelola diri secara lebih baik. Ada banyak kejadian, pengetahuan baru, masukan, dan juga ilham yang menumbuhkan sudut pandang ini.
Topik ini sesungguhnya memiliki keterkaitan yang erat dengan bulan ramadhan lalu, yaitu tentang mengelola diri. Ya, mengelola diri di tengah dinamika hidup yang kian kompleks ini ternyata betul-betul tidak mudah. Salah satu bentuk mengelola diri adalah bagaimana mampu menahan diri di tengah tantangan yang memantik emosi.
Perayaan lebaran baru saja usai. Kini kehidupan kembali normal. Tetapi saat lebaran saya mengalami sendiri bagaimana menahan diri itu betul-betul tidak mudah dilakukan. Saya beberapa kali harus mengelus dada karena saya sudah berusaha berhati-hati tetapi orang lain dengan seenaknya membuat saya nyaris celaka. Ada sopir ngantuk yang tiba-tiba nyelonong ke arah kanan jalan dengan kecepatan tinggi tanpa lampu belok persis di depan saya. Saya harus berjuang keras menghindari mobil tersebut di tengah arus lalu lintas yang sangat padat. Serentak saya sangat emosional karena anak dan istri saya berteriak histeris dan terantuk bagian dalam mobil. Kemarahan tersebut saya urungkan karena saya berpikir tidak banyak manfaatnya. Setelah berhenti sejenak menenangkan diri, saya kembali melanjutkan perjalanan.
Masalah menahan diri memang mudah untuk ditulis tetapi tidak mudah dilaksanakan. Saya kira hal ini juga berlaku untuk hal-hal baik lainnya, seperti jujur, disiplin, ikhlas, dan sebagainya. Menahan diri ini bersangkutan dengan kenyataan bahwa setiap tindakan yang hanya mementingkan diri sendiri tentu akan berlawanan dengan nilai budi luhur atau akhlak mulia. Egoisme dan moralitas yang tinggi tidak pernah sejalan. Egoisme terjadi karena ketidakrelaan seseorang untuk menderita, sekalipun hanya sementara.
”Menahan diri” jika mampu dilakukan dengan penuh kesadaran dalam jangka waktu yang panjang akan memiliki manfaat positif, yaitu dapat memperbaiki kehidupan. Orang yang menahan diri dapat dipastikan akan memiliki kedewasaan emosional dan moral.
Berkaitan dengan menahan diri ini, menarik untuk merenungkan nasehat sufi besar, Dzunnun al-Mishry. Menurut beliau, kerusakan yang menimpa manusia disebabkan oleh enam perkara. Pertama, lemahnya niat untuk beramal akhirat. Kedua, jiwa raga telah ditawan oleh syahwat. Ketiga, hidup telah didominasi oleh angan-angan yang melambung, padahal jatah hidup hanya sebentar. Keempat, pandangan makhluk telah berbekas pada jiwa di atas keridhoan Sang Pencipta. Kelima, mengikuti ajakan hawa nafsu sedangkan sunnah Nabi Saw. ditinggalkan. Dan keenam, menjadikan ucapan menggelincir kepada diri sendiri sendiri.
Kerusakan yang menimpa manusia sebagaimana nasehat Dzunnun al-Mishry ini terjadi bukan karena manusia tidak pintar, tetapi tidak mampu mengelola dirinya. Kurang pintar apa Rudi yang ketangkap KPK. Sederet prestasi akademik telah beliau raih, tetapi karena tidak mampu menahan diri untuk menerima sogokan—atau apalah namanya—maka dia kini harus menerima ”jalan baru” kehidupan yang tidak pernah dibayangkan.
Ditinjau dari sudut filsafat, salah satu kelebihan manusia dibandingkan dengan makhluk yang lainnya adalah akal. Dilihat dari fungsinya, akal dapat dibagi menjadi dua jenis kecakapan, yaitu akal kognitif atau teoritis dan dan akal manajerial atau praktis. Akal kognitif atau teoritis berfungsi untuk mengetahui sesuatu. Melalui akal ini manusia mampu meraih dan menyusun ilmu pengetahuan. Dan ini berkat kemampuan akal mengabstrak makna dari data-data indriawi yang disalurkan melalui alat-alat indra dan dari konsep-konsep mental yang abstrak.
Kecakapan manajerial atau teoritis, sebagaimana judul tulisan ini, adalah kemampuan akal untuk mengatur dan mengendalikan dorongan-dorongan jiwa yang biasanya kita sebut nafsu. Kecakapan manajerial ini berfungsi untuk mengelola tiga macam nafsu, yaitu: (1) nafsu syahwat; (2) nafsu amarah; dan (3) nafsu rasional.
Dorongan-dorongan jiwa yang kita sebut nafsu itu bukan untuk ditumpas karena keberadaannya sangat kita butuhkan untuk mempertahankan eksistensi kita, melainkan harus dikelola, dikendalikan, dan diarahkan secara seimbang sehingga tidak berlebih-lebihan dan melanggar batas. Jika pelanggaran batas terjadi, akan terjadi dalam jiwa manusia kekacauan mental (mental disorder) dan akan muncul darinya tindakan-tindakan tercela (al-akhlâk al-madzmûmah), baik pada diri sendiri maupun pada orang lain. Akan tetapi, kalau daya-daya ini kita kendalikan melalui pertimbangan-pertimbangan atau diktum akal—dan ini yang justru menjadi tujuan manajemen nafsu ini—dari nafsu-nafsu tersebut akan lahir tindakan-tindakan atau perbuatan yang mulia.
Salam
Trenggalek, 17 Agustus 2013
Ngainun Naim


1 komentar:

  1. Maaf, Pak. Maksudnya yang keenam menjadikan ucapan menggelincir pada diri sendiri itu apa ya?
    Ada kata "manajerial atau teoretis", itu spertinya tdk sesuai dengan kata sebelumnya.
    Terima kasih atas ilmunya.

    BalasHapus

Terima kasih sudah berkenan membaca tulisan ini. Komentar anda sangat saya hargai.