KECAKAPAN
MANAJERIAL JIWA
Oleh
Ngainun
Naim
Judul tulisan ini mungkin
terlihat abstrak. Saya menulis judul ini dilandasi oleh keinginan pribadi agar
saya mampu mengelola diri secara lebih baik. Ada banyak kejadian, pengetahuan
baru, masukan, dan juga ilham yang menumbuhkan sudut pandang ini.
Topik ini sesungguhnya memiliki
keterkaitan yang erat dengan bulan ramadhan lalu, yaitu tentang mengelola
diri. Ya, mengelola diri di tengah dinamika hidup yang kian kompleks ini
ternyata betul-betul tidak mudah. Salah satu bentuk mengelola diri adalah
bagaimana mampu menahan diri di tengah tantangan yang memantik emosi.
Perayaan lebaran baru saja
usai. Kini kehidupan kembali normal. Tetapi saat lebaran saya mengalami
sendiri bagaimana menahan diri itu betul-betul tidak mudah dilakukan. Saya
beberapa kali harus mengelus dada karena saya sudah berusaha berhati-hati
tetapi orang lain dengan seenaknya membuat saya nyaris celaka. Ada sopir
ngantuk yang tiba-tiba nyelonong ke arah kanan jalan dengan kecepatan tinggi
tanpa lampu belok persis di depan saya. Saya harus berjuang keras menghindari
mobil tersebut di tengah arus lalu lintas yang sangat padat. Serentak saya
sangat emosional karena anak dan istri saya berteriak histeris dan terantuk
bagian dalam mobil. Kemarahan tersebut saya urungkan karena saya berpikir tidak
banyak manfaatnya. Setelah berhenti sejenak menenangkan diri, saya kembali
melanjutkan perjalanan.
Masalah menahan diri memang mudah untuk ditulis tetapi tidak mudah
dilaksanakan. Saya kira hal ini juga berlaku untuk hal-hal baik lainnya,
seperti jujur, disiplin, ikhlas, dan sebagainya. Menahan diri ini bersangkutan dengan kenyataan bahwa setiap
tindakan yang hanya mementingkan diri sendiri tentu akan berlawanan dengan
nilai budi luhur atau akhlak mulia. Egoisme dan moralitas yang tinggi tidak
pernah sejalan. Egoisme terjadi karena ketidakrelaan seseorang untuk menderita,
sekalipun hanya sementara.
”Menahan diri” jika mampu
dilakukan dengan penuh kesadaran dalam jangka waktu yang panjang akan memiliki
manfaat positif, yaitu dapat memperbaiki kehidupan. Orang yang menahan diri dapat dipastikan akan
memiliki kedewasaan emosional dan moral.
Berkaitan dengan menahan diri
ini, menarik untuk merenungkan
nasehat sufi besar, Dzunnun al-Mishry. Menurut beliau, kerusakan yang menimpa
manusia disebabkan oleh enam perkara. Pertama,
lemahnya niat untuk beramal akhirat. Kedua,
jiwa raga telah ditawan oleh syahwat. Ketiga,
hidup telah didominasi oleh angan-angan yang melambung, padahal jatah hidup
hanya sebentar. Keempat, pandangan
makhluk telah berbekas pada jiwa di atas keridhoan Sang Pencipta. Kelima, mengikuti ajakan hawa nafsu
sedangkan sunnah Nabi Saw. ditinggalkan. Dan keenam, menjadikan ucapan menggelincir kepada diri sendiri sendiri.
Kerusakan yang menimpa manusia
sebagaimana nasehat Dzunnun al-Mishry ini terjadi bukan karena manusia tidak
pintar, tetapi tidak mampu mengelola dirinya. Kurang pintar apa Rudi yang
ketangkap KPK. Sederet prestasi akademik telah beliau raih, tetapi karena tidak
mampu menahan diri untuk menerima sogokan—atau apalah namanya—maka dia kini
harus menerima ”jalan baru” kehidupan yang tidak pernah dibayangkan.
Ditinjau dari sudut filsafat,
salah satu kelebihan manusia dibandingkan dengan makhluk yang lainnya adalah
akal. Dilihat dari fungsinya, akal dapat dibagi menjadi dua jenis kecakapan,
yaitu akal kognitif atau teoritis dan dan akal manajerial atau praktis. Akal
kognitif atau teoritis berfungsi untuk mengetahui sesuatu. Melalui akal ini
manusia mampu meraih dan menyusun ilmu pengetahuan. Dan ini berkat kemampuan
akal mengabstrak makna dari data-data indriawi yang disalurkan melalui
alat-alat indra dan dari konsep-konsep mental yang abstrak.
Kecakapan manajerial atau
teoritis, sebagaimana judul tulisan ini, adalah kemampuan akal untuk mengatur
dan mengendalikan dorongan-dorongan jiwa yang biasanya kita sebut nafsu.
Kecakapan manajerial ini berfungsi untuk mengelola tiga macam nafsu, yaitu: (1)
nafsu syahwat; (2) nafsu amarah; dan (3) nafsu rasional.
Dorongan-dorongan jiwa yang
kita sebut nafsu itu bukan untuk ditumpas karena keberadaannya sangat kita
butuhkan untuk mempertahankan eksistensi kita, melainkan harus dikelola, dikendalikan,
dan diarahkan secara seimbang sehingga tidak berlebih-lebihan dan melanggar
batas. Jika pelanggaran batas terjadi, akan terjadi dalam jiwa manusia
kekacauan mental (mental disorder)
dan akan muncul darinya tindakan-tindakan tercela (al-akhlâk al-madzmûmah), baik pada diri sendiri maupun pada orang
lain. Akan tetapi, kalau daya-daya ini kita kendalikan melalui
pertimbangan-pertimbangan atau diktum akal—dan ini yang justru menjadi tujuan
manajemen nafsu ini—dari nafsu-nafsu tersebut akan lahir tindakan-tindakan atau
perbuatan yang mulia.
Salam
Trenggalek,
17 Agustus 2013
Ngainun
Naim
Maaf, Pak. Maksudnya yang keenam menjadikan ucapan menggelincir pada diri sendiri itu apa ya?
BalasHapusAda kata "manajerial atau teoretis", itu spertinya tdk sesuai dengan kata sebelumnya.
Terima kasih atas ilmunya.