BAHAGIA SAAT ORANG
LAIN SUSAH
Oleh Ngainun Naim
Sumber
kehancuran kehidupan adalah iri hati. Iri hati tidak hanya merusak kehidupan
individu, tetapi juga kehidupan sosial.
Anda boleh setuju boleh juga tidak dengan asumsi ini. Tetapi
coba Anda renungkan dengan hati jernih. Marilah kita amati pengalaman individu
kita masing-masing. Pernahkah kita merasa kecewa saat tetangga
kita—misalnya—membeli televisi baru yang lebih besar dan lebih bagus dari
televisi yang kita miliki?
Memang tidak mudah menerima kenyataan ada orang lain yang
mendapatkan sesuatu yang lebih baik dari yang kita miliki. Rasanya ada kekecewaan
mengapa bukan kita yang mendapatkannya.
Jika kita menyikapinya secara biasa-biasa saja, tentu
tidak menjadi masalah. Kekecewaan itu jika dipendam akan mengakibatkan kita
selalu diliputi kegelisahan. Jiwa kita menjadi terganggu dan kita tidak akan merasakan
kebahagiaan.
Apalagi jika kekecewaan ini diaktualisasikan dalam
perilaku yang buruk, misalnya dengan menyebarluaskan cerita-cerita yang tidak
benar. Kondisi ini semakin memperkeruh jiwa kita dan makin membuat kita
sengsara.
Dosa Tertua
Iri hati merupakan dosa tertua dalam sejarah manusia. Tragedi awal manusia
adalah tragedi iri hati. Qabil, anak Nabi Adam,
iri hati kepada saudaranya sendiri, yaitu Habil. Iri hati Qabil muncul ketika
ada perintah dari Allah agar Qabil dan Habil melakukan kurban. Habil
melaksanakan perintah tersebut dengan penuh kesungguhan, sedangkan Qabil
melaksanakannya asal-asalan saja. Sebagai akibatnya, kurban Habil yang
diterima, dan kurban yang dilakukan Qabil ditolak.
Tentu saja, Qabil merasa kecewa. Ia kecewa karena
kurbannya tidak diterima. Kekecewaan itu semakin membuncah lalu berkembang
menjadi dengki. Kedengkian tersebut kemudian memunculkan kebencian yang
mendalam terhadap Habil. Habil yang tidak tahu menahu menjadi sasaran Qabil.
Bahkan, Qabil akhirnya tega membunuh Qabil.
Inilah tragedi awal kemanusiaan. Iri hati menjadi dosa
tertua. Iri hati menjadi penyakit rohani yang aneh. Kita tidak suka, bahkan
membenci, terhadap orang lain yang tidak melakukan kesalahan kepada kita. Kita
benci orang lain yang kita anggap mendapatkan sesuatu yang lebih baik dari yang
kita peroleh.
Sifat iri hati ini ibarat hama yang menghancurkan
tanaman. Hidup kita bisa diibaratkan seperti menanam tanaman. Kita menanam,
merawat, hingga memanennya. Tetapi panen bisa gagal karena kita sendiri
memelihara hama. Tanaman kita hancur oleh hama yang kita pelihara sendiri.
Tidak hanya kehidupan individu yang rusak, kehidupan
sosial juga akan kacau kalau kita menebar iri hati. Kondisi masyarakat kita
yang sekarang ini dipenuhi oleh berbagai persoalan juga disebabkan—salah
satunya—sifat iri hati. Sifat iri hati telah menggerogoti bangunan kehidupan
sosial. Karena iri hati, kita menebar kebencian kepada kelompok sosial yang
lain. Iri hati membuat mudah menyebarnya fitnah terhadap orang yang berbeda
agama, ras, suku, afiliasi politik, dan aliran.
Jika Ingin Damai,
Mari Kelola Diri
Satu hal penting yang menandai sifat orang iri hati adalah
bahagia melihat orang lain susah dan
susah melihat orang lain bahagia. Ini merupakan penyakit yang jelek sekali.
Penyakit ini menghancurkan diri individu dan tatanan sosial secara perlahan.
Jika ingin bahagia, maka langkah terbaik adalah mengelola
diri. Sifat iri hati harus dikelola. Iri hati itu boleh terhadap hal-hal yang
positif. Kita iri terhadap prestasi orang lain, karena itu kita kemudian
terdorong untuk bekerja lebih keras. Kita berusaha keras untuk menjadi lebih
baik. Jadi, iri hati dalam konteks ini adalah sebagai stimulus untuk menjadi
lebih baik. Cara yang ditempuh pun juga cara-cara yang baik dan bermartabat.
Memang tidak mudah untuk melakukannya, tetapi saya
mengajak diri saya sendiri—dan juga pembaca sekalian—marilah kita kelola diri
kita. Kita balik sifat orang yang iri menjadi sifat yang positif. Kita bahagia saat melihat orang lain
bahagia dan juga merasakan susah jika melihat orang lain susah. Kalau kita
mampu semacam ini, saya kira bahagia akan dapat kita peroleh. Dalam bahasa Bu
Dewi, seorang kompasianer yang tulisan-tulisannya sangat menyentuh, ”bahagia
itu sederhana”.
Betulkah sesederhana itu? Ya, walaupun untuk
mewujudkannya jelas tidak sederhana.
Salam persahabatan!
Tulungagung,
23 Agustus 2013
Ngainun
Naim
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah berkenan membaca tulisan ini. Komentar anda sangat saya hargai.