Minggu, 25 Agustus 2013

BAHAGIA SAAT ORANG LAIN SUSAH



BAHAGIA SAAT ORANG LAIN SUSAH
Oleh Ngainun Naim

Sumber kehancuran kehidupan adalah iri hati. Iri hati tidak hanya merusak kehidupan individu, tetapi juga kehidupan sosial.
Anda boleh setuju boleh juga tidak dengan asumsi ini. Tetapi coba Anda renungkan dengan hati jernih. Marilah kita amati pengalaman individu kita masing-masing. Pernahkah kita merasa kecewa saat tetangga kita—misalnya—membeli televisi baru yang lebih besar dan lebih bagus dari televisi yang kita miliki?
Memang tidak mudah menerima kenyataan ada orang lain yang mendapatkan sesuatu yang lebih baik dari yang kita miliki. Rasanya ada kekecewaan mengapa bukan kita yang mendapatkannya.
Jika kita menyikapinya secara biasa-biasa saja, tentu tidak menjadi masalah. Kekecewaan itu jika dipendam akan mengakibatkan kita selalu diliputi kegelisahan. Jiwa kita menjadi terganggu dan kita tidak akan merasakan kebahagiaan.
Apalagi jika kekecewaan ini diaktualisasikan dalam perilaku yang buruk, misalnya dengan menyebarluaskan cerita-cerita yang tidak benar. Kondisi ini semakin memperkeruh jiwa kita dan makin membuat kita sengsara.

Dosa Tertua
Iri hati merupakan dosa tertua dalam sejarah manusia. Tragedi awal manusia adalah tragedi iri hati. Qabil, anak Nabi Adam, iri hati kepada saudaranya sendiri, yaitu Habil. Iri hati Qabil muncul ketika ada perintah dari Allah agar Qabil dan Habil melakukan kurban. Habil melaksanakan perintah tersebut dengan penuh kesungguhan, sedangkan Qabil melaksanakannya asal-asalan saja. Sebagai akibatnya, kurban Habil yang diterima, dan kurban yang dilakukan Qabil ditolak.
Tentu saja, Qabil merasa kecewa. Ia kecewa karena kurbannya tidak diterima. Kekecewaan itu semakin membuncah lalu berkembang menjadi dengki. Kedengkian tersebut kemudian memunculkan kebencian yang mendalam terhadap Habil. Habil yang tidak tahu menahu menjadi sasaran Qabil. Bahkan, Qabil akhirnya tega membunuh Qabil.
Inilah tragedi awal kemanusiaan. Iri hati menjadi dosa tertua. Iri hati menjadi penyakit rohani yang aneh. Kita tidak suka, bahkan membenci, terhadap orang lain yang tidak melakukan kesalahan kepada kita. Kita benci orang lain yang kita anggap mendapatkan sesuatu yang lebih baik dari yang kita peroleh.
Sifat iri hati ini ibarat hama yang menghancurkan tanaman. Hidup kita bisa diibaratkan seperti menanam tanaman. Kita menanam, merawat, hingga memanennya. Tetapi panen bisa gagal karena kita sendiri memelihara hama. Tanaman kita hancur oleh hama yang kita pelihara sendiri.
Tidak hanya kehidupan individu yang rusak, kehidupan sosial juga akan kacau kalau kita menebar iri hati. Kondisi masyarakat kita yang sekarang ini dipenuhi oleh berbagai persoalan juga disebabkan—salah satunya—sifat iri hati. Sifat iri hati telah menggerogoti bangunan kehidupan sosial. Karena iri hati, kita menebar kebencian kepada kelompok sosial yang lain. Iri hati membuat mudah menyebarnya fitnah terhadap orang yang berbeda agama, ras, suku, afiliasi politik, dan aliran.

Jika Ingin Damai, Mari Kelola Diri
Satu hal penting yang menandai sifat orang iri hati adalah bahagia melihat orang lain susah dan susah melihat orang lain bahagia. Ini merupakan penyakit yang jelek sekali. Penyakit ini menghancurkan diri individu dan tatanan sosial secara perlahan.
Jika ingin bahagia, maka langkah terbaik adalah mengelola diri. Sifat iri hati harus dikelola. Iri hati itu boleh terhadap hal-hal yang positif. Kita iri terhadap prestasi orang lain, karena itu kita kemudian terdorong untuk bekerja lebih keras. Kita berusaha keras untuk menjadi lebih baik. Jadi, iri hati dalam konteks ini adalah sebagai stimulus untuk menjadi lebih baik. Cara yang ditempuh pun juga cara-cara yang baik dan bermartabat.
Memang tidak mudah untuk melakukannya, tetapi saya mengajak diri saya sendiri—dan juga pembaca sekalian—marilah kita kelola diri kita. Kita balik sifat orang yang iri menjadi sifat yang positif. Kita bahagia saat melihat orang lain bahagia dan juga merasakan susah jika melihat orang lain susah. Kalau kita mampu semacam ini, saya kira bahagia akan dapat kita peroleh. Dalam bahasa Bu Dewi, seorang kompasianer yang tulisan-tulisannya sangat menyentuh, ”bahagia itu sederhana”.
Betulkah sesederhana itu? Ya, walaupun untuk mewujudkannya jelas tidak sederhana.
Salam persahabatan!
Tulungagung, 23 Agustus 2013
Ngainun Naim


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah berkenan membaca tulisan ini. Komentar anda sangat saya hargai.