BELAJAR DISIPLIN UNTUK KEMAJUAN NASIONAL
Oleh Ngainun
Naim
Saya menggunakan kata ”belajar” di judul tulisan ini karena menurut saya—maaf
jika ada yang tidak setuju—masyarakat kita belum memiliki budaya disiplin. Yang
disebut budaya itu adalah sebuah perilaku yang telah mengakar dan menjadi
kebiasaan sehari-hari. Karena telah menjadi budaya, ia akan dilakukan dalam
kondisi apapun. Jadi disiplin itu akan tetap dilakukan saat ada yang mengawasi
ataupun tidak.
Tetapi fakta di masyarakat tampaknya belum menunjukkan kalau disiplin itu
telah menjadi budaya. Budaya yang justru berkembang adalah budaya melanggar
aturan. Saya ambil satu contoh sederhana, yaitu berkendara. Traffic light yang
ada tulisan Belok Kiri Mengikuti Isyarat
Lampu Lalu Lintas pada kenyataannya banyak dilanggar. Sudah tidak terhitung
kalinya saya mengamati pelanggaran yang dilakukan. Pernah seorang pelanggar
dengan bangga bercerita bagaimana ia harus berurusan dengan polisi karena
ternyata sekitar 50 meter dari lampu lalu lintas ada polisi yang mengintai.
Sontak, ia terkejut dan tidak bisa menghindar.
Polisi itu menanyakan surat-surat yang kebetulan lengkap. Lalu bertanya
mengapa melanggar, dan jawabnya enteng saja, ”Saya tidak tahu kalau ada bapak di sini. Kalau tahu tentu saya tidak
akan melanggar”. Cerita ini secara jelas menunjukkan bagaimana aturan hanya
ditaati karena ada yang menjaga. Begitu yang menjaga tidak ada, aturan akan
dengan santai dilanggar.
Kalau mau dibuat daftar ketidakdisiplinan, waduh mungkin akan sangat capek
untuk menghitungkan karena hampir di setiap bidang kehidupan ini, tidak terlalu
sulit untuk menunjukkan perilaku tidak disiplin. Ya sudah, itulah fakta yang
harus kita terima dengan lapang dada. Saya sendiri bukan orang yang disiplin.
Saya ingin menyebut diri saya sebagai orang yang sedang belajar disiplin.
Suatu ketika saat lewat di dekat markas militer di Kota Malang, saya
menemukan sebuah tulisan yang menggugah, DISIPLIN
ITU INDAH. Saya tersentak membacanya. Kata-kata itu cukup indah dan
menyentuh. Betul juga jika disiplin itu menjadi budaya, pasti akan terasa
indah. Saat di jalan raya, tidak ada sopir ugal-ugalan; antri tiket berjalan
secara tertib; merokok di tempat yang telah ditentukan, dan berbagai bentuk
kedisiplinan lainnya.
Tetapi sayangnya, masyarakat kita belum menyadari terhadap keindahan
disiplin. Jika bangsa ini ingin menjadi bangsa yang maju, saya kira tidak bisa
tidak, kita harus mulai membangun budaya disiplin. Disiplin harus menjadi ciri
yang melekat sekaligus menjadi identitas nasional. Jepang misalnya, terkenal
sebagai bangsa yang memiliki tingkat disiplin yang sangat tinggi. Bahkan
tulisan-tulisan tentang disiplin di negara matahari terbit itu sampai seolah
menjadi mitos. Bagaimana tidak karena begitu disiplinnya kereta api pun
datangnya tepat waktu, tidak hanya pada menitnya tetapi juga sampai detiknya.
Darimana mulainya? Ini pertanyaan yang tidak mudah dijawab. Dari
pemerintah? Ya, pemerintah harus menjadi teladan dalam budaya ini. Tetapi JANGAN MENJADI PROYEK. Disiplin itu
harus dilakukan sebagai gerakan bersama yang massif yang dibuktikan dengan
contoh nyata. Kalau sekadar gerakan bersama yang simbolik dan berhenti di
slogan, disiplin itu tidak akan terwujud. Apalagi kalau kemudian menjadi proyek
pengadaan kaos, baju, spanduk, dan sejenisnya secara nasional. Tentu kita masih
ingat bagaimana pemerintah di masa lalu pernah membuat GERAKAN DISIPLIN NASIONAL (GDN) yang kurang berhasil. Memang, waktu
itu gaungnya cukup lumayan, tetapi aparat yang memakai atribut itu sendiri
banyak yang membiarkan ketidakdisiplinan terjadi. Bahkan tidak jarang aparat
itu sendiri yang melakukan ketidakdisiplinan.
Sekarang harus dimulai dari aparat pemerintah dalam menegakkan aturan.
Kantor-kantor pemerintah harus berbenah. Mereka harus disiplin dalam melayani
masyarakat. Polisi misalnya, harus menindak pelaku pelanggaran. Masyarakat akan
semakin sering melakukan pelanggaran karena mereka tahu tidak ada sangsi atau
memang dibiarkan polisi. Dinas Perhubungan harus memberi sangsi tegas terhadap
angkutan umum yang jelas-jelas merugikan masyarakat. Dinas Kesehatan harus
memantau terhadap fenomena pengobatan alternatif yang merugikan masyarakat.
Pihak terkait harus menegakkan regulasi yang berkaitan dengan aktivitas sosial
yang berkaitan dengan masyarakat luas. Begitu seterusnya.
Nah, yang sesungguhnya jauh lebih penting adalah diri kita masing-masing.
Tidak ada artinya disiplin itu dibicarakan dan dianjurkan jika masing-masing
individu kurang menyadari akan arti dan makna penting disiplin. PENGETAHUAN saja tidak cukup. Saya kira
mereka yang melakukan pelanggaran itu tahu dan paham terhadap aturan. Pelaku
suap itu juga tahu kalau suap itu melanggar, penjudi itu juga tahu kalau judi
itu melanggar aturan, dan (semua) yang melanggar aturan itu juga tahu kalau
melanggar aturan itu salah. Tetapi pengetahuan saja tidak cukup. Dibutuhkan hal
yang jauh lebih substansial lagi setelah pengetahuan, yaitu KESADARAN. Disiplin harus menjadi
kesadaran diri. Kesadaran itu akan menjadi ”Kompas” untuk mematuhi aturan.
Jadi, ada atau tidak ada yang mengawasi, disiplin akan tetap ditegakkan.
Perpaduan antara ”pengetahuan” dan ”kesadaran” ini akan semakin kokoh
ketika didukung oleh sistem yang juga mapan serta mendukung bagi terciptanya
disiplin. Konsistensi untuk menegakkan aturan bersama harus dijaga. Jangan sampai
hanya sekadar omongan pemanis bibir saja.
Saya melihat bahwa banyaknya persoalan sosial di masyarakat terjadi karena
disiplin tidak ditegakkan. Banyaknya balapan liar yang dilakukan geng motor di
berbagai daerah terjadi karena polisi tidak segera menindak saat masih menjadi
fenomena kecil. Begitu menjadi fenomena massal maka ia menjadi sulit diatasi. Hal
yang sama juga terjadi pada berbagai pelanggaran sosial lainnya.
Saya bermimpi jika disiplin telah menjadi budaya maka kemajuan nasional itu
akan betul-betul terwujud. Dan mimpi itu bukan sekadar mimpi kosong. Saya yakin
kita bisa mewujudkannya. Setidaknya di Kompasiana ini saya melihat banyak orang
disiplin membuat tulisan. Setiap hari saya menikmati tulisan Kompasioner yang
begitu disiplin menerbitkan tulisan. Ini modal sosial besar yang mampu
menginspirasi dan menggerakkan perubahan. Saya sangat yakin akan kekuatan
tulisan, sebab PERUBAHAN BESAR ITU
SELALU DIMULAI DARI IDE. Salam.
Ngainun Naim
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah berkenan membaca tulisan ini. Komentar anda sangat saya hargai.