Minggu, 16 Juni 2013

TERKOYAKNYA SAKRALITAS PERKAWINAN



Bagian Kedua
Oleh: Ngainun Naim

Tampaknya di masyarakat tengah terjadi pergeseran orientasi perkawinan.  Idealitas dari konsepsi perkawinan sering tidak selaras, atau bahkan bertolakbelakang dengan realitas. Di sinilah letak titik penting analisis kritis terhadap fenomena semakin tingginya angka pencarian dengan melihat faktor penyebab dan dampaknya pada kehidupan sosial kemasyarakatan.
Semua ulama sepakat bahwa perkawinan memiliki tujuan mulia yaitu terwujudnya keluarga sakinah mawaddah wa rakhmah. Namun bukan persoalan mudah untuk mewujudkannya. Masa-masa indah kalangan muda yang penuh romantika sebelum menikah biasanya akan berbenturan dengan kenyataan hidup yang sarat dengan persoalan setelah menikah. Persoalan kebutuhan material, perbedaan pandangan, perbedaan karakteristik, relasi dengan mertua dan segenap perbedaan lainnya, acapkali menimbulkan ketegangan dan konflik.
Tetapi justru di sinilah letak dinamika kehidupan berumah tangga. Banyak pihak menyatakan bahwa jika perbedaan pendapat dalam rumah tangga, bahkan mungkin pertengkaran, hal itu merupakan “bumbu” kehidupan berumah tangga. Tetapi pernyataan ini seharusnya dikritisi dan diposisikan secara proporsional, sebab tidak semua perbedaan pendapat dan pertengkaran dapat memperkaya warna warni kehidupan rumah tangga. Sangat mungkin pertengkaran justru menjadi awal keretakan rumah tangga yang, jika tidak menemukan titik temu, akan dapat berujung pada perceraian.
Meningkatnya angka perceraian yang terjadi hampir di semua daerah merupakan fenomena yang cukup berbahaya. Oleh karena itu, berbagai pihak yang berkompeten harus memikirkan langkah-langkah antisipatif untuk meminimalisir semakin meningkatnya perceraian.
Kehidupan zaman sekarang ini yang semakin kompleks menjadikan berbagai aspek kehidupan mengalami pergeseran orientasi, termasuk perkawinan. Memang tidak semua orang mengalami pergeseran orientasi dalam memandang dan memposisikan perkawinan. Tetapi kecenderungan meningkatnya angka perceraian merupakan fakta yang mengafirmasi terhadap kecenderungan ini. Mungkin tidak terlalu berlebihan jika disebutkan bahwa kini tengah terjadi desakralisasi perkawinan, terutama pada mereka melakukan perceraian.

Ekses Modernitas
Fenomena semacam ini dapat dilihat dengan menggunakan beragam perspektif. Salah satunya adalah kerangka pandang modernitas. Menurut cucu Hassan Al Bana, Prof. Dr. Tariq Ramadhan dalam bukunya Menjadi Modern Bersama Islam, (2003: 41), masa modern sekarang ini ditandai dengan adanya keinginan untuk tidak bergantung, bebas, dan hidup individualistis. Seseorang harus menjadi dirinya sendiri, terbang dengan sayapnya sendiri, sehingga dalam pengertian ini, keluarga menjadi seperti penjara.
Ketika keluarga sudah tidak lagi menjadi tempat yang nyaman, sejuk dan penuh kedamaian, maka antar anggota keluarga tidak akan lagi mampu menjalin relasi yang harmonis. Masing-masing pihak, terutama suami istri, tidak menyadari bahwa mereka seharusnya saling mengisi dan melengkapi, bukannya justru melihat kelemahan dan kesalahan. Jika masing-masing pihak merasa benar, maka pada posisi semacam ini, keluarga dapat berubah menjadi tempat layaknya penjara.
Bagaimanapun juga, keluarga adalah pilar masyarakat. Hancurnya keluarga yang ditandai dengan meningkatnya angka perceraian akan mempengaruhi terhadap konstruksi sosial secara keseluruhan. Bisa dibayangkan jika dalam sebulan ada ratusan angka perceraian di setiap kabupaten, berapa banyak anak-anak yang kehilangan kasih sayang dari kedua orang tuanya? Anak-anak yang terabaikan dari perhatian dan kasih sayang karena orang tuanya bercerai tentu akan mengalami gangguan dalam perkembangan psikologisnya. Jika jumlah mereka yang menjadi korban broken home semakin meningkat, tentu dapat dibayangkan seperti apa implikasinya.
Dalam konteks semacam inilah, sekali lagi Ramadhan (2003: 42) mengingatkan akan makna penting sebuah perkawinan yang harmonis. Keluarga, demikian Ramadhan, adalah yang melahirkan manusia. Menyuruh, atau menjadikan seseorang untuk tidak memiliki keluarga, baik karena orang tuanya bercerai atau karena faktor lainnya, sama dengan menyuruh anak yatim untuk melahirkan kembali orang tuanya.
Jika dicermati, pernyataan ini memiliki cakupan makna yang luas dan mendalam. Keluarga memiliki makna yang sangat vital bagi seseorang. Sedemikian pentingnya makna keluarga, maka seluruh anggota keluarga harus “merawat” dengan sebaik-baiknya agar tercipta keluarga yang harmonis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah berkenan membaca tulisan ini. Komentar anda sangat saya hargai.