Rabu, 26 Juni 2013

BERPIKIR



Oleh Ngainun Naim

Berpikir dapat didefinisikan sebagai kemampuan manusia untuk mencari arti bagi realitas yang muncul di hadapan kesadarannya dalam pengalaman dan pengertian. Pengertian ini bermakna bahwa komunikasi merupakan kemampuan manusia untuk mengutarakan pikirannya kepada orang lain. Adapun cara mengutarakannya dapat dilakukan dengan berbagai cara; dengan berbicara, lewat tulisan, atau lewat simbol-simbol tertentu. Fungsi berpikir menyangkut dua aspek yang penting dalam diri manusia, yaitu wissen atau mengetahui dan verstehen atau mengerti/memahami.
Dalam kehidupannya, manusia sebagai makhluk sosial berpikir mengenai berbagai bentuk realitas sosial. Dalam prosesnya, berpikir ini berlangsung dalam dua bentuk. Pertama, secara horizontal atau sensitivo-rasional, yaitu berpikir mengenai suatu realitas dengan dilandasi pengalaman sebagai rekaman dan penginderaan selama hidupnya, rekaman dari fungsinya sebagai komunikan dalam setiap proses komunikasi yang melibatkan dirinya. Maka, apabila ia berkomunikasi secara horizontal yang berkisar pada persoalan tahu dan mengetahui, sifatnya menjadi ­sensitivo-rasional.
Kedua, berpikir metarasional. Manusia tidak puas hanya dengan sekadar mengetahui (wissen), tetapi juga ingin memahaminya secara mendalam. Di sini berlangsung proses refleksi atau kontemplasi yang secara akumulatif bersifat kuantitatif atau kualitatif. Kualitasnya akan berkadar tinggi apabila proses perenungan itu dilakukan secara sistematik. Dalam kondisi semacam ini, pemikirannya sudah sampai pada tahap meta-rasional. Ia tidak lagi memandang suatu realitas sosial dengan indra mata, tetapi dengan mata batiniah yang terdapat di seberang realita (beyond the reality), secara metafisik.
Dalam keradikalannya, pemikiran manusia secara vertikal tersebut bisa menyentuh hal-hal yang sifatnya Ilahi. Ia mendengar tentang Tuhan. Ia ingin mengetahui adanya Tuhan. Lalu ia percaya akan ada-Nya, dan sebagai konsekuensinya, ia bersujud dan berserah diri. Kepercayaan semacam ini bersifat suprarasional, yaitu suatu tingkat pemahaman di luar jangkauan pemikiran secara sensitivo-rasional. Bagi seorang komunikator, tingkat-tingkat pemahaman (verstehen) itu menjadi teramat penting untuk mampu berkomunikasi dalam segala konteks paling luas dan paling lama (Onong Uchjana Effendy, 2003: 366-367).
Cara berpikir antara satu orang dengan orang yang lainnya berbeda. Persoalan yang sama akan dipahami secara berbeda oleh setiap orang. Masing-masing orang memahami persoalan berdasarkan kerangka berpikir yang dimilikinya. Hal ini menunjukkan bahwa setiap orang—sadar atau tidak—memiliki sistematika berpikir yang khas.
Berpikir dapat didefinisikan sebagai kemampuan manusia untuk mencari arti bagi realitas yang muncul di hadapan kesadarannya dalam pengalaman dan pengertian. Pengertian ini bermakna bahwa komunikasi merupakan kemampuan manusia untuk mengutarakan pikirannya kepada orang lain. Adapun cara mengutarakannya dapat dilakukan dengan berbagai cara; dengan berbicara, lewat tulisan, atau lewat simbol-simbol tertentu. Fungsi berpikir menyangkut dua aspek yang penting dalam diri manusia, yaitu wissen atau mengetahui dan verstehen atau mengerti/memahami.
Dalam kehidupannya, manusia sebagai makhluk sosial berpikir mengenai berbagai bentuk realitas sosial. Dalam prosesnya, berpikir ini berlangsung dalam dua bentuk. Pertama, secara horizontal atau sensitivo-rasional, yaitu berpikir mengenai suatu realitas dengan dilandasi pengalaman sebagai rekaman dan penginderaan selama hidupnya, rekaman dari fungsinya sebagai komunikan dalam setiap proses komunikasi yang melibatkan dirinya. Maka, apabila ia berkomunikasi secara horizontal yang berkisar pada persoalan tahu dan mengetahui, sifatnya menjadi ­sensitivo-rasional.
Kedua, berpikir metarasional. Manusia tidak puas hanya dengan sekadar mengetahui (wissen), tetapi juga ingin memahaminya secara mendalam. Di sini berlangsung proses refleksi atau kontemplasi yang secara akumulatif bersifat kuantitatif atau kualitatif. Kualitasnya akan berkadar tinggi apabila proses perenungan itu dilakukan secara sistematik. Dalam kondisi semacam ini, pemikirannya sudah sampai pada tahap meta-rasional. Ia tidak lagi memandang suatu realitas sosial dengan indra mata, tetapi dengan mata batiniah yang terdapat di seberang realita (beyond the reality), secara metafisik.
Dalam keradikalannya, pemikiran manusia secara vertikal tersebut bisa menyentuh hal-hal yang sifatnya Ilahi. Ia mendengar tentang Tuhan. Ia ingin mengetahui adanya Tuhan. Lalu ia percaya akan ada-Nya, dan sebagai konsekuensinya, ia bersujud dan berserah diri. Kepercayaan semacam ini bersifat suprarasional, yaitu suatu tingkat pemahaman di luar jangkauan pemikiran secara sensitivo-rasional. Bagi seorang komunikator, tingkat-tingkat pemahaman (verstehen) itu menjadi teramat penting untuk mampu berkomunikasi dalam segala konteks paling luas dan paling lama (Onong Uchjana Effendy, 2003: 366-367).
Cara berpikir antara satu orang dengan orang yang lainnya berbeda. Persoalan yang sama akan dipahami secara berbeda oleh setiap orang. Masing-masing orang memahami persoalan berdasarkan kerangka berpikir yang dimilikinya. Hal ini menunjukkan bahwa setiap orang—sadar atau tidak—memiliki sistematika berpikir yang khas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah berkenan membaca tulisan ini. Komentar anda sangat saya hargai.