Minggu, 05 Februari 2012

ARTIKEL


KAUM BERAGAMA MENATAP YANG LAIN
Oleh Ngainun Naim *

Satu persoalan yang sampai sekarang menjadi agenda penting untuk dipecahkan bangsa Indonesia adalah persoalan perbenturan, konflik, dan pertentangan keragaman sosial-kemasyarakatan. Perbedaan yang seharusnya menjadi bagian dari realitas hidup justru lebih sering dinilai dan dipandang sebagai realitas yang negatif. Penilaian dan cara pandang semacam ini berimplikasi pada ikhtiar untuk membangun keseragaman.
Keseragaman yang dilakukan secara paksa akan mengeliminir terhadap keragaman, otentisitas, dan juga karakteristik yang khas. Dalam konteks keagamaan, pemaksaan keberagamaan masyarakat justru akan menghasilkan emosionalitas yang memicu terjadinya konflik. Jika ini yang terjadi, maka kehidupan antarumat beragama justru mengarah kepada ketidakharmonisan.
Kehidupan yang harmonis antarumat beragama dapat terbangun dengan baik manakala masing-masing pihak yang berbeda melakukan usaha bersama untuk saling memahami, mengedepankan toleransi, dan menepis berbagai prasangka negatif terhadap yang lain. Jika satu pihak, apalagi masing-masing pihak, memegang dengan kukuh sikap memandang rendah terhadap yang lain, atau menegasikan eksistensi yang lain, maka konflik akan mudah tersulut. Implikasinya, perbenturan antarkepentingan, hasrat menguasai, dan menundukkan akan menjadi pemantik timbulnya persengketaan.
Dalam kehidupan sosial kemasyarakatan yang penuh dengan keragaman seperti di Indonesia, potensi konflik sangat terbuka.  Apalagi sejarah menunjukkan bahwa dinamika pertumbuhan dan perkembangan kehidupan masyarakat tidak hanya berlangsung secara linier, tetapi juga sirkuler. Dalam masyarakat yang penuh dengan keragaman, konflik seringkali mengambil bentuk kekerasan, kerusuhan, dan berbagai perilaku destruktif lainnya. Untuk menghadapi dan menyelesaikan sebuah konflik, dibutuhkan wawasan kearifan, kedalaman spiritual, dan kekuatan moral. Dengan modal tersebut, masyarakat dapat mengambil pelajaran dari berbagai kejadian untuk kemudian merekonstruksinya menjadi sesuatu yang bernilai positif.
Konflik bisa terjadi di mana saja, mulai dari lingkup sosial terkecil, yaitu keluarga, relasi antartetangga, antarkampung, antaretnis, hingga komunitas yang jauh lebih besar, yaitu negara. Konflik juga dapat terjadi kapan saja. Dalam sebuah negara yang terkenal dengan keharmonisan dalam kemajemukannya seperti Indonesia pun tidak luput dari konflik. Konflik demi konflik kemudian menjadi bagian dari dinamika persoalan bangsa yang tidak mudah untuk diurai hingga sekarang ini.
Pada dasarnya kita ini adalah makhluk yang tidak toleran, sebab toleransi bukanlah watak dasar manusia yang fitrah. Kita cenderung menjadi makhluk yang eksklusif. Inklusivitas dan toleransi lahir melalui proses panjang, dari hasil dialektika dan persentuhan secara terus menerus, dari pergulatan intelektual dan spiritual, yang kesemuanya kemudian menghasilkan konstruksi pemahaman yang lebih arif dalam memandang yang lain. Orang yang tidak toleran pada dasarnya memang tidak pernah berdialog, tidak pernah belajar, dan tidak pernah menggunakan penalarannya untuk memahami dan menerima yang lain.
Cara pandang pluralis dan toleran merupakan hasil dari dialektika dan pengasahan kesadaran yang dilakukan secara terus menerus. Bisa jadi kesadaran tersebut lahir karena dialektika yang berlangsung secara produktif dalam dinamika hidup yang panjang. Sebaliknya, sikap dasar manusia yang tidak toleran akan semakin kukuh dan, dalam kondisi tertentu dapat memformula menjadi fundamentalisme, ketika menemukan faktor-faktor pendukung.
Oleh karena itu, hal penting yang mendorong ke arah terbentuknya kesadaran pluralitas adalah dengan menciptakan ruang dialog dalam beragam manifestasinya secara terus menerus. Dengan cara semacam ini, diharapkan kesadaran terhadap pluralitas akan mengalami diseminasi secara luas. Jika kondisi ini dapat tercipta secara luas, harapan terbentuknya masyarakat yang lebih berkeadilan semakin terbuka. Sebab, salah satu karakteristik masyarakat yang berkeadilan adalah adanya kesadaran pluralitas dalam masyarakat.
Tanpa adanya ruang dialog untuk membangun persepsi dan pemahaman terhadap perbedaan yang ada, maka yang terbangun adalah sikap eksklusif, tidak toleran, dan watak “sangar” yang menunjukkan kekerasan tanpa kompromi. Kondisi tidak toleran akan semakin mengkristal manakala seseorang atau sekelompok orang tersingkir dalam dinamika sosial, politik, budaya, maupun kekuasaan. Dalam konteks inilah maka kita dapat menemukan kelompok-kelompok keagamaan yang cenderung tidak toleran, seperti kaum fundamentalis, ekstrimis, bahkan teroris, yang mereka memang tersingkir dalam beragam konstelasi. Ketersingkiran inilah yang kemudian terekspresikan dalam cara pandang yang eksklusif dan tidak toleran.
Keragaman dalam kehidupan sosial kemasyarakatan merupakan realitas yang tidak mungkin untuk dihindari. Memaksakan adanya keseragaman justru akan menghasilkan perbenturan, bahkan konflik. Hal yang justru diperlukan adalah bagaimana memperlakukan keragaman tersebut secara positif. Keragaman sesungguhnya merupakan kekayaan kehidupan yang harus diapresiasi dan dikembangkan agar tercipta kehidupan yang harmonis.
Dalam kerangka semacam inilah seyogyanya umat beragama menatap terhadap umat beragama yang lainnya. Bagaimana pun juga, agama tidak bisa dan tidak mungkin dipaksakan secara seragam. Cara pandang yang tepat dalam menyikapi keragaman ini dapat menjadi modal penting dalam membangun kerukunan hidup antarumat beragama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah berkenan membaca tulisan ini. Komentar anda sangat saya hargai.