Ngainun Naim
Minggu pagi tanggal 8 Juni 2025 saya menjadwalkan
mengunjungi Ibuk. Ini kunjungan rutin bersama keluarga.
Sesungguhnya saya ingin kunjungan itu dilakukan sore hari
saat Idhul Adha, 6 Juni 2025. Namun rencana ini tidak mungkin dijalankan karena si
kecil pada hari Sabtu tanggal 7 Juni harus masuk sekolah. Di sekolahnya ada
kegiatan kurban.
Rencananya Sabtu sore ke rumah Ibuk. Tapi kembali gagal
karena ada famili dekat yang meminta saya untuk ikut serta dalam kegiatan
lamaran sekaligus mewakili keluarga.
Begitulah, Minggu pagi jadinya kami harus pastikan bisa
berangkat. Saat sedang bersiap berangkat ada undangan doa bersama dari famili untuk
Minggu malam. Tidak ada pilihan selain harus tetap berangkat ke Tulungagung. Memang
dalam kondisi tertentu kita harus memilih.
Pukul 12.00 WIB sampai ke rumah Ibuk. Cuaca lumayan
panas. Kami berbincang. Setelah itu istirahat.
Pukul 14.30 saya ke makam. Kangen dengan Bapak. Hampir
sebulan saya tidak mengunjungi makam beliau. Kesibukan yang menjadi alasannya.
Kerinduan terhadap Bapak ini merupakan indikasi apa yang
disebut Muhammad Iqbal (2018: 88) sebagai hadirnya ayah dalam kehidupan
anak. Tidak semua anak memiliki kerinduan terhadap Bapaknya. Bahkan ada
yang justru membencinya.
Saya merasakan betul bahwa Bapak adalah figur penting
dalam kehidupan saya. Ajaran-ajarannya tetap hadir dalam hidup saya. Bapak
adalah role model bagi saya. Meskipun tidak mampu meneladani semua
kebajikannya, Bapak adalah fondasi keberadaan saya sampai hari ini.
Tulungagung, 8 Juni 2025
Doa saja tidak cukup ya Prof, untuk mengobati kerinduan?
BalasHapusBetul.
HapusSama Pak, saya dan keluarga juga baru sempat ziarah ke makam bapak pada hari Minggu kemarin.
BalasHapusBedoa sambil mengenang jasa-jasa alm bapak. Rasanya saya pribadi tak mampu membalas jasa-jasa bapak.
Salam,
Benar Abah. Terima kasih atas kunjungannya.
Hapus