Rabu, 01 Juni 2022

Silaturrahmi, Refleksi, dan Kehidupan yang Semakin Baik

 


Ngainun Naim

 

Idul fitri menjadi momentum yang baik untuk melakukan silaturrahmi. Saling mengunjungi merupakan ibadah. Selama pandemi, silaturrahmi dilakukan secara terbatas. Berbagai upaya untuk merawat silaturrahmi tetap dilakukan, misalnya lewat media sosial, namun tetap tidak bisa menggantikan silaturrahmi secara langsung.

Sekarang ini momentumnya memang telah selesai, tetapi bukan berarti tidak ada kesempatan untuk melakukan refleksi. Salah satu kelebihan manusia dibandingkan dengan makhluk lainnya adalah kemampuannya untuk melakukan refleksi. Lewat refleksi yang dilakukan manusia tidak sekadar merenungkan kejadian yang telah berlalu saja melainkan berusaha untuk mengambil pelajaran hidup yang berharga.

Dalam buku Komaruddin Hidayat yang berjudul Ungkapan Hikmah (Jakarta: Noura Books, 2013) halaman 24-25 dijelaskan bahwa ada tiga hal yang memiliki peranan penting dalam kehidupan manusia. Ketiga hal tersebut adalah 3H: Head, Heart, dan Hand. Head merupakan sumber gagasan dan pemikiran. Heart berperan sebagai sumber tekad. Sedangkan hand merupakan sarana untuk mewujudkan gagasan dan kehendak. Ketiganya merupakan sarana untuk mencapai kemakmuran kehidupan.


 

Sinergi ketiga hal tersebut memberikan kesempatan kepada kita untuk menggali makna dari setiap jejak hidup yang kita jalani. Pelajaran hidup tentu bukan sekadar pelajaran hidup semata melainkan sebagai titik pijak untuk perbaikan kehidupan kita dari waktu ke waktu. Ya, manusia yang baik selalu berusaha merefleksikan perjalanan hidupnya untuk perbaikan. Aspek ontologis semacam ini seharusnya menjadi dasar agar kehidupan kita semakin bermakna dari waktu ke waktu.

Persoalan makna hidup menjadi kajian para ahli selama berpuluh-puluh tahun. Kajian yang ada menemukan bahwa sekarang ini banyak manusia yang abai terhadap makna hidup. Padahal seluruh energi hidup yang dipakai untuk bekerja, bersosial, dan berbagai aktivitas lainnya sesungguhnya bermuara pada bagaimana menjadikan hidup kita menjadi bermakna.

Nah, momentum silaturrahmi saat idul fitri lalu saya jadikan momentum refleksi untuk perbaikan diri. Lebaran kali ini menandai kembalinya kesempatan bersilaturrahim secara langsung, meskipun kita harus tetap menjaga diri. Silaturrahmi dengan tetap bermasker dan rajin mencuci tangan. Mungkin ada yang meremehkan dan menganggap Covid-19 telah hilang, namun bagi saya lebih baik hati-hati dan tetap berusaha menjaga diri.

Selama beberapa hari saya dan keluarga mengunjungi beberapa famili. Sebagian di daerah Trenggalek karena keluarga istri Sebagian besar ada di Trenggalek. Sebagian lainnya di Tulungagung di mana saya berasal. Beberapa hari kami keliling dan mengunjungi satu demi satu.

Selalu ada yang terlewat. Ya, kata ini yang acapkali terucap dalam setiap momentum lebaran. Rencana kunjungan sesungguhnya sudah disusun secara baik namunn sangat jarang rencana terlaksana serratus persen. Selalu saja ada hal-hal yang menjadi sebab tidak terpenuhi serratus persen.

Lebaran tahun ini menjadi momentum silaturrahmi yang memiliki makna yang lebih berarti. Salah satu sebabnya karena selama dua kali lebaran dengan silaturrahmi yang dibatasi. Kali lebaran (nyaris) normal. Tumpah ruah rasa terungkapkan saat silaturrahmi.

Saya ingin mencatat beberapa fenomena sebagai bahan refleksi diri. Ya, saya menemukan beberapa pelajaran hidup dari silaturrahmi pada idul fitri nanti. Lewat refleksi ini saya berharap bisa menjadi diri yang semakin baik dari hari ke hari.

Pertama, perubahan berlangsung sedemikian cepat. Sungguh waktu itu sangat berharga. Dua tahun lalu saya mengunjungi dua orang famili yang sudah sepuh. Usianya kisaran 80 tahun. Saat itu beliau berdua masih cukup sehat. Bicaranya luas. Ingatannya masih cukup tajam. Gerak fisiknya saja yang melamban karena usia yang semakin menua.

Pada lebaran kali ini kondisinya benar-benar berubah. Beliau berdua sudah tidak mampu duduk. Hanya berbaring. Orang Jawa menyebutnya kembang amben. Ingatannya juga sudah berkurang drastis. Saya yang datang bersama Ibuk juga tidak diingatnya sama sekali.

Fenomena ini menjadi pembelajaran bagi saya untuk memanfaatkan waktu secara baik. Juga melakukan usaha-usaha seperti membaca dan menulis agar otak tetap terjaga. Tugas manusia adalah berikhtiar sementara ketentuan di tangan Allah.

Kejadian ini juga membangun kesadaran dalam diri saya untuk menjalani hidup secara baik. Waktu itu ternyata sangat cepat. Jika kita terlena, kesempatan untuk berbuat baik semakin menipis.

Berkaitan dengan hal ini, penting merenungkan pendapat M. Quraish Shihab (2013: 253) yang mengutip Ibn Al-Qayyim terkait orang yang lalai mempersiapkan diri dalam menghadapi kematian. Manusia yang lalai semacam ini diibaratkan sebagai orang yang sedang tidur nyenyak yang tidak menyadari bahwa umurnya telah habis terbuang. Kondisinya akan berubah ketika kesadaran sudah masuk ke dalam dirinya. Quraish Shihab mengibaratkan sebagai sadar dan bangun tidur lalu melihat dunia yang berputar sedemikian cepatnya. Kesadaran ini membuat sisa umur dimanfaatkan sebaik mungkin.   


 

Kedua, Kesehatan itu sangat penting artinya. Saat sehat mungkin kita tidak merasakannya. Kesehatan dianggap sebagai hal biasa, bukan anugerah. Pentingya kesehatan baru terasa ketika kita kurang sehat.

Saat batuk, misalnya, kita merasakan begitu tersiksa. Saat melihat orang makan gorengan sungguh terasa nikmat. Padahal saat kita tidak batuk, makan gorengan itu ya biasa saja.

Kondisi kurang sehat saya temui pada pasangan suami istri yang kami kunjungi berikutnya. Saat datang bertamu kami sungguh terkejut. Si istri yang membuka pintu. Kondisinya berbeda jauh dengan saat sebelum pandemi. Sesaat kemudian sang suami keluar. Kami kembali terkejut. Beliau jalan tertatih. Terlihat kalau beliau kurang sehat.

Kami dipersilahkan duduk. Ibuk memulai menanyakan kabar dan bertanya tentang kondisi beliau berdua. Terjawab bahwa Si istri sakit diabetes yang cukup parah. Berat badannya berkurang sekitar 20 kilogram. Sekarang ini kondisinya sudah jauh lebih baik dibandingkan ketika harus opname hampir satu bulan.

Sang suami menjelaskan bahwa beliau terkena tekanan darah tinggi. Sakitnya hampir bersamaan dengan istrinya. Jadi dalam satu keluarga, pasangan tersebut sama-sama sakit.

Berkaitan dengan hal ini penting merenungkan pendapat Tan Shot Yen  (2020) yang menyatakan bahwa tubuh manusia itu hidup bukan semata-mata akibat interaksi antarsel dan organ yang menjamin berjalannya bermacam-macam sistem namun juga melakukan interaksi eksternal sebagai organized being ketika beradaptasi dengan lingkungan sekitar yang menjamin kelangsungan hidupnya. Hal ini bermakna bahwa tubuh manusia harus dikelola secara baik agar selalu sehat.


 

Sungguh fenomena yang saya temui merupakan pelajaran hidup yang sangat berarti. Kesehatan itu hal utama. Ikhtiar sehat harus dilakukan sebaik mungkin. Harta, takhta, dan posisi sosial tidak akan ada artinya kalau sakit.

Ketiga, waktu ternyata berjalan begitu cepat. Saya kira ada fenomena yang hampir dialami oleh sebagian kita terkait waktu yakni kita tidak merasa berubah sementara orang lain ternyata telah berubah dengan begitu cepatnya. Saya merasa masih seperti hari-hari sebelumnya, ternyata kawan SD saya telah memiliki cucu.

Begitulah waktu. Ia terus berjalan tanpa bisa dihentikan. Ia juga sulit didefiniskan namun telah menjadi bagian tidak terpisah dari kehidupan (Norton, 2021). Cepatnya waktu membangun pemahaman dalam diri saya untuk mengisinya dengan hal-hal yang bermanfaat. Jika tidak, waktu yang akan menggilas kita.

Saat saya sekeluarga silaturrahmi ke beberapa famili, perubahan ini sungguh sangat terasa. Beberapa famili telah beranak-pinak. Mereka menjadi kakek, ayah, atau sudah selesai kuliah.

Sesungguhnya ada sangat banyak fenomena yang saya temui. Semuanya menjadi bahan renungan untuk perbaikan diri. Fenomena bagi saya bukan sekadar fenomena tetapi pelajaran hidup. Salam.

Trenggalek, 1 Juni 2022

 

Daftar Bacaan

Hidayat, Komaruddin. (2013). Ungkapan Hikmah. Jakarta: Noura Books.

Norton, J. (2021). Experimental philosophy on time. Philosophy Compass, 16(11). https://doi.org/10.1111/phc3.12779

Shihab, M. Quraish. (2013). Secercah Cahaya Ilahi, Hidup Bersama Al-Quran. Bandung: Mizan.

Yen, Tan Shot. (2020). Nasehat buat Sejat. Jakarta: Gramedia.

 

6 komentar:

  1. Menginspirasi, Pak. Terima kasih atas tulisannya.

    BalasHapus
  2. trinspirasi banget proff....sukses selalu

    BalasHapus
  3. Sangat setuju Prof. Ngainun Naim. Sehat dan waktu merupakan nikmat hidup yang sangat berharga. Saya telah merasakan sendiri selama enam bulan lebih merasakan sakit, telah membuat produktivitas saya dalam berkarya/ menulis menjadi berkurang drastis karena kondisi tubuh yang kurang nyaman untuk beraktivitas.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Semoga segera pulih dan kembali produktif berkarya

      Hapus

Terima kasih sudah berkenan membaca tulisan ini. Komentar anda sangat saya hargai.