Oleh Ngainun Naim
Tahun 2001-2003 saya terlibat dalam sebuah program
pendampingan masyarakat di Trenggalek. Program itu bernama PIDRA,
singkatan dari Participatory Integrated Development in Rainfed Areas. Intinya program ini adalah mendampingi masyarakat miskin yang
tinggal di lahan kering agar kesejahteraan mereka bisa meningkat. Dalam usaha
pendampingan, mereka diajak untuk berkelompok, mendapatkan pelatihan, dan
merintis berbagai usaha yang bisa memberikan kontribusi positif pada
peningkatan kesejahteraan mereka.
Program PIDRA sesungguhnya berlangsung dari tahun
2001-2009. Namun saya tidak mengikutinya sampai tuntas. Tahun 2003 saya
mengundurkan diri karena nasib membawa saya mengabdi di IAIN Tulungagung. Di
tempat baru, saya nyaris tidak mengetahui perkembangan program PIDRA
selanjutnya. Tempat kerja saya sekarang memang dunia yang berbeda dengan PIDRA.
Dunia saya sekarang adalah dunia akademik, walaupun dalam beberapa waktu
terakhir saya kembali bersentuhan secara langsung dengan masyarakat karena
berada di Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LP2M) IAIN
Tulungagung.
Dari kiri ke kanan: Herwidi, Solekhan, dan Romlawati |
Tanggal 22 Agustus 2015, Herwidi Bastugito membuat grup
WA Iket Sinambung Pidra. Herwidi Bastugito yang dulu Tenaga Ahli PRA Pidra
Blitar dan sekarang Komisioner KPUD Blitar juga menjadikan saya admin grup ini.
Beberapa teman yang dulu aktif di PIDRA Trenggalek saya masukkan ke grup. Sejak
ada grup WA, ingatan terhadap program PIDRA kembali muncul. Ya, inilah program
yang mengajarkan saya banyak hal. Juga memberikan banyak hal dalam hidup saya.
Saya menyebut program ini “Barakah dan Mbarakahi”.
![]() |
Foto bersama |
Diskusi soal rencana reuni pada aktivis PIDRA membangkitkan
semangat saya untuk bisa datang. Saya ingin berdiskusi dan berjumpa kembali
dengan sahabat-sahabat yang dulu pernah terlibat dalam program yang penuh
tantangan tersebut. Di grup WA saya memang jarang komentar, tetapi sebisa
mungkin saya baca perkembangannya. Secara umum grup WA Iket Sinambung PIDRA
sangat produktif. Diskusi, pemikiran, dan berbagai gagasan berlangsung sangat
intensif.
Ketika diputuskan reuni akan dilaksanakan tanggal 26
Maret 2016, saya menjadi apatis untuk bisa datang. Hal ini disebabkan karena tepat
pada tanggal itu saya ada undangan seminar di Unmuh Ponorogo. Rasanya mustahil
bisa hadir di dua tempat dalam waktu bersamaan. Saat itu saya putuskan untuk
tetap pesan kaos walaupun tidak bisa hadir di reuni.
Ternyata Allah menakdirkan saya untuk bisa datang ke
reuni. Tanggal 19 Maret 2016 panitia Seminar Pascasarjana Unmuh Ponorogo menghubungi
bahwa seminar diundur karena satu dan lain hal. Saya sungguh bersyukur. Karena
itu ketika esoknya Herwidi Bastugito japri tentang reuni, saya pun segera
mengiyakan. Selain reuni, saya bisa mengajak keluarga untuk berlibur di Kota
Batu.
Hadir di reuni yang ada di Hotel Pitaloka Batu sungguh
menyenangkan. Saya bisa bersua lagi dengan sahabat-sahabat yang dulu pernah
bersama di PIDRA. Itu artinya hampir 13 tahun sudah tidak bertemu lagi. Memang beberapa
orang pernah bertemu, seperti Herwidi Bastugito, Imam Suhadi, dan Rodi Hanan
Wibowo. Tetapi sebagian besarnya tidak bersua karena berbagai faktor.
![]() |
Dua pembawa acara: Mbak Diah dan Mas Rodi |
Saat saya datang di Hotel Pitaloka yang lokasinya hanya
selemparan batu dari Jawa Timur Park 1 tersebut, ada Mas Budi Blitar bersama
Mas Syafii. Lalu ada Herwidi dan Mbak Diah. Juga beberapa teman yang saya belum
begitu kenal karena mungkin beda fase. Begitulah, jumat 25 Maret 2016 menandai
bertemunya kawan-kawan lama setelah berpisah bertahun-tahun.
Malam hari tanggal 25 Maret 2016 seakan menjadi puncak
reuni. Saya bertemu Mas Rodi yang tetap sumringah. Guyonan kasarnya tetap tidak
berubah. Sungguh, ini pertemuan luar biasa.
Mas Rodi yang didaulat menjadi pembawa acara tiba-tiba
membisiki sesuatu. Intinya nanti akan ngerjain Herwidi yang sedang ulang tahun.
Dia minta saya untuk testimoni tentang peta hotel yang membingungkan dengan
nada marah. Saya ketawa. Saya bilang bahwa saya tidak punya modal untuk
marah-marah. Lalu bersama Pak Karmaji dari eks Sekpid Tulungagung ditunjuk Pak
Edi.
Pak Edi dengan kumisnya yang seperti Gatot Kaca memiliki
peluang yang meyakinkan untuk marah-marah. Kata Mas Rodi, di tengah edisi
marah, Mbak Diah akan datang membawa kue ulang tahun. Skenario berjalan lancar.
Dan malam itu, Herwidi mendapatkan kado terindah. Dia ulang tahun ke 49 di
tengah para sahabat-sahabatnya. Sungguh ulang tahun yang indah.
Usai kejutan ulang tahun Herwidi Bastugito, acara
dilanjutkan. Pak Jamal maju memberikan sambutan dengan penuh semangat. Saya
merasa Pak Jamal tidak banyak berubah dibandingkan dengan dulu saat saya aktif
di PIDRA. Semangatnya tetap menyala. Bersama Pak Joko, beliau berdua adalah
sosok yang sangat menentukan perjalanan PIDRA Jawa Timur. Tiba-tiba saya
teringat Pak Totok Timbul yang kini sedang sakit. Semoga Allah mengangkat
penyakit beliau dan beliau bisa sembuh seperti sedia kala.
Dalam sambutannya Pak Jamal mengapresiasi terhadap semangat
dan kehadiran teman-teman semua. Bahkan dari NTB pun hadir, yakni Pak Zaenal
dan Pak Makmun. Karena itu, semangat ini harus dirawat. Berbagai keberhasilan
PIDRA perlu ditumbuhkembangkan agar bisa memberikan manfaat secara luas.
Usai sambutan Pak Jamal dan Pak Joko, acara dilanjutkan
dengan perkenalan tim. Perkenalan pertama Tim Pacitan dengan jumlah peserta di
atas sepuluh orang. Acara perkenalan dilakukan secara berurutan sampai ke
Lumajang. Di tengah-tengah acara, Pak Drh. Budi dari Lumajang datang.
Alhamdulillah, beliau yang sudah purna masih begitu bersemangat hadir. Tentu
ini merupakan kebahagiaan bagi kami semua.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah berkenan membaca tulisan ini. Komentar anda sangat saya hargai.