Selasa, 12 Oktober 2021

Ngaji di YouTube

 

Ngainun Naim


 

SATU hal yang saya renungkan sebagai kekurangan selama saya belajar di pondok pesantren adalah tidak terlalu serius belajar kitab kuning. Tentu saya memiliki banyak argumentasi untuk membela diri. Tapi itu tidak akan memberikan banyak arti selain adanya fakta bahwa saya tidak terlalu memiliki pengetahuan yang memadai dalam hal kitab kuning.

Cukup lama saya berpikir untuk kembali menekuni dunia kitab kuning. Saya ingin menguasai dengan baik khazanah keilmuan Islam klasik tersebut. Jika saya mondok lagi jelas tidak mungkin. Usia sudah tidak muda lagi. Selain itu pekerjaan juga sudah menumpuk. Saya juga sudah berkeluarga. Jadinya pilihan untuk mondok lagi jelas tidak mungkin dilakukan.

Pilihan lainnya adalah ikut ngaji yang umumnya dilakukan dalam kesempatan tertentu. Upaya ini sudah saya lakukan. Saya ikut ngaji kitab Kifayatul Atqiya’ yang disampaikan oleh KHM Abdussalam Shohib. Tapi itu setahun paling hanya satu atau dua kali. Bahkan sejak pandemi semakin jarang dilakukan. Jadinya kesempatannya semakin jarang.

Pilihan lainnya adalah belajar sendiri. Saya membaca sendiri kitab. Jika tidak paham, saya membuka kamus. Cara lainnya adalah saya membeli dua kitab. Satu kitab yang sudah ada maknanya lengkap, satu kitab kosong. Kitab kosong saya kaji dan jika menemui kesulitan saya membuka kitab yang ada maknanya lengkap. Tapi cara ini juga tidak selalu efektif karena kalah dengan rasa malas.

Belakangan saya menemukan tempat belajar ngaji yang cukup nyaman, yaitu YouTube. Di YouTube saya menemukan beberapa kiai yang membacakan kitab kuning secara lengkap. Model ini mirip dengan saat saya ngaji bandongan di pesantren dulu. Menyimak ngaji di YouTube tentu saja sangat bermanfaat buat saya untuk kembali menekuni ngaji kitab yang jarang saya sentuh.

Salah satu kiai yang beberapa waktu belakangan saya jadikan rujukan adalah KH. M. Nurul Huda, Lc., M.A. Kiai yang merupakan pengasuh Pondok Pesantren At-Taslim Demak Jawa Tengah ini membaca puluhan kitab kuning yang biasa diajarkan di pondok pesantren lewat akun YouTube. Jika Anda ingin mengikuti pengajian beliau bisa mengunjungi https://www.youtube.com/channel/UC930z173s2zURLeR-ypCzaA. Akun ini memiliki subscriber 12, 6 ribu. Cukup banyak. Kitab yang beliau baca—antara lain—Tafsir Jalalain, Jawahirul Kalamiyyah, Husunul Hamidiyah, As-Sullam, Khulasoh Nuril Yaqin, dan banyak kitab lagi. Jika ingin mengikuti pengajian beliau tinggal membeli kitab kosong, menyediakan waktu, lalu wifi yang menyala, dan bismillah mengaji.

Memang harus diakui suasana mengaji secara langsung di hadapan kiai dan lewat YouTube itu berbeda. Setidaknya itu yang saya rasakan. Proses mengaji secara langsung rasanya sulit untuk diungkapkan. Namun ketika kesempatan mengaji secara langsung tidak tersedia, mengaji lewat YouTube adalah kesempatan berharga yang harus saya manfaatkan sebaik mungkin.

Media sekarang ini sesungguhnya menyediakan begitu banyak kesempatan kepada kita. Kuncinya ada pada kita. Jika kita mau memanfaatkan secara baik, kita bisa mendapatkan banyak sekali manfaat. Kesempatan semacam ini sulit kita peroleh di masa sebelum media sedemikian canggih dan telah menjadi bagian tidak terpisah dari kehidupan kita sehari-hari.

Meskipun tidak rutin, saya juga mendengarkan ceramah para ulama di YouTube. Sebut saja Prof. Dr. M. Quraish Shihab, Prof. Dr. Nasaruddin Umar, KH Bahauddin Nursalim, dan beberapa ulama lainnya. Lewat ceramah para ulama, saya mendapatkan pengetahuan agama yang sangat berharga.

Dulu untuk mendengarkan ceramah seorang kiai, kita harus menunggu momentum. Pada hari-hari besar Islam, masyarakat biasanya menyelenggarakan pengajian umum. Pada kegiatan semacam ini, ratusan orang hadir untuk menyimak ceramah kiai. Tentu kegiatan semacam ini sangat bermanfaat untuk syiar Islam.

Pandemi membuat kegiatan yang melibatkan banyak orang, termasuk pengajian umum, menjadi tidak mungkin untuk dilaksanakan. Bisa dikatakan selama 1 tahun 8 bulan sudah tidak ada lagi pengajian umum. Jika pun ada, jumlah jamaah yang hadir sangat dibatasi dan dilaksanakan dengan protokol kesehatan yang sangat ketat. Implikasinya, kesempatan untuk mendengarkan ceramah agama Islam menjadi berkurang drastis. Padahal lewat pengajian umum, masyarakat mendapatkan banyak manfaat dalam konteks belajar agama.

Pada titik inilah sesungguhnya ilmu-ilmu agama yang disampaikan oleh para ahli agama di YouTube memiliki peranan yang sangat signifikan bagi umat. Namun demikian juga semestinya dilakukan secara cermat dan hati-hati. Media sosial seperti YouTube bisa diibaratkan seperti “pasar bebas”. Siapa pun bisa menyampaikan pengetahuan agama. Sepanjang memiliki akun, tinggal unggah. Tidak jarang juga orang yang tidak memiliki pengetahuan agama secara memadai memberikan ceramah agama. Otoritasnya sebagai ustadz diukur dari banyaknya subscriber, bukan dari penguasaannya atas ilmu agama Islam.

Dalam hal ini saya teringat hasil penelitian yang pernah dilakukan oleh Nadirsyah Hosen dengan judul “Fatwa Online di Indonesia: Dari Shopping Fatwa Hingga Meng-google Kiai” yang dimuat dalam buku Ustadz Seleb, Bisnis Moral & Fatwa Online: Ragam Ekspresi Islam Indonesia Kontemporer (Jakarta: Komunitas Bambu, 2012). Menurut Nadirsyah, internet telah mengubah cara kaum Muslim Indonesia dalam mencari bimbingan keagamaan. Persoalan keagamaan tidak lagi ditanyakan kepada kiai tetapi kepada google. Padahal sebelum ada google, kiai adalah referensi utama berbagai persoalan dalam kehidupan. Bukan hanya persoalan keagamaan tetapi nyaris semua persoalan, termasuk persoalan pertanian, kehidupan rumah tangga, ekonomi, dan lainnya.

Kini peranan tersebut, pelan tetapi pasti, mulai mengalami pergeseran. Google menjadi referensi masyarakat, khususnya generasi baru. Lewat google, ada begitu banyak pilihan jawaban yang disediakan sesuai dengan kebutuhan, termasuk untuk persoalan-persoalan agama. Proses mencari fatwa agama yang cocok disebut Nadirsyah sebagai “shopping fatwa”. Proses ini di satu sisi memberikan jawaban atas persoalan yang dihadapi oleh masyarakat kontemporer, namun di sisi lain menyisahakan persoalan yang mendasar. Salah satu kelemahannya adalah terjadinya “anarki informasi”. Siapa pun bisa mengelurkan fatwa meskipun tidak memiliki kualifikasi untuk mengeluarkan fatwa.

Saat semacam inilah saya melihat pentingnya para ulama yang otoritatif merambah masuk dunia YouTube. Hal ini penting dilakukan dengan mempertimbangkan konteks dan konten. Lewat cara semacam ini ajaran Islam akan sejalan dengan kebutuhan masyarakat. Ketika masyarakat membutuhkan jawaban atas persoalan agama yang mereka hadapi, di YouTube tersedia channel yang otoritatif dalam memberikan jawaban.

 

Trenggalek, 12-10-2021

12 komentar:

Terima kasih sudah berkenan membaca tulisan ini. Komentar anda sangat saya hargai.