Jumat, 02 Oktober 2020

Lebaran di Era Pandemi, Menggali Hikmah untuk Memperkaya Hidup

 

Ngainun Naim

 


Puasa ramadhan dan lebaran tahun 2020 ini sungguh berbeda. Suasana semacam ini belum pernah terjadi sebelumnya. Tegang, takut, dan tidak nyaman.

Penyebab utamanya adalah Covid-19 yang menjadi pandemi dunia. Tidak hanya di Indonesia, tetapi di seluruh dunia. Semua mengalaminya. Aspek yang berbeda hanyalah tingkat persebarannya. Ada yang cepat dan luas, ada yang sedang, dan ada yang rendah.

Pemerintah Indonesia sesungguhnya sudah berusaha keras mengatasi pandemi ini. Namun memang tidak mudah. Hal ini berkaitan dengan banyak aspek dalam kehidupan. Sampai saat ini, masyarakat yang positif terinfeksi virus ini terus melaju. Jumlahnya semakin mengkwatirkan.

Dibutuhkan disiplin tinggi untuk antisipasi persebaran virus ini. rajin cuci tangan, pakai masker, dan jaga jarak. Disiplin tampaknya memang masih jauh dari budaya masyarakat kita. Cuci tangan semakin hari semakin ditinggalkan. Memang di awal-awal pandemi orang secara umum rajin cuci tangan. Semakin ke sini, kesadaran ini tampaknya semakin menurun.

Memakai masker juga semakin jarang dilakukan. Kampanye pentingnya memakai masker sesungguhnya sudah sangat intensif dilakukan. Tetapi realitas menunjukkan bahwa mereka yang mau memakai masker saat keluar rumah masih terbatas.

Menjaga jarak dan tidak berkerumun juga semakin ditinggalkan. Sekarang ini orang berkerumun ada di mana-mana. Tampaknya orang semakin abai dengan virus ini. Seolah semuanya sudah kembali normal. New normal dimaknai sebagai normal sebagaimana sebelum pandemi. Padahal seharusnya tidak semacam itu.

Masyarakat Indonesia sesungguhnya memiliki potensi disiplin yang tinggi. Syaratnya ada aturan yang didukung dengan instrumen penegakan. Larangan mudik adalah contoh yang bagus untuk mengukur tingkat disiplin masyarakat kita. Mudik telah menjadi tradisi yang berurat-berakar dalam masyarakat Indonesia. Ketika ada larangan mudik yang diikuti aturan ketat sejak pemerintah pusat hingga desa, masyarakat juga menaatinya. Ini menunjukkan bahwa tingkat disiplin masyarakat kita cukup tinggi.

Coba kita ingat-ingat kembali pelaksanaan puasa Ramadhan dan dan lebaran kali ini. Rasanya puasa tahun ini berjalan begitu cepat. Nuansa sakralnya menjadi hilang. Tidak ada buka bersama, tadarus bersama, dan acara-acara religius sebagaimana ramadhan pada tahun-tahun sebelumnya.

Lebaran begitu juga. Semuanya berlangsung dalam suasana yang benar-benar berbeda. Tidak ada saling kunjung. Pintu-pintu rumah tertutup rapat. Gang juga ditutup. Sebuah suasana yang sungguh memilukan tetapi memang harus dijalani dengan penuh penghayatan.

Berkaitan dengan lebaran, Prof. Dr. M. Quraish Shihab menjelaskan bahwa Idul Fitri itu maknanya bukan kemenangan. ”Kemenangan dari apa?” tanya beliau. Jika Idul Fitri dimaknai sebagai kemenangan maka sesungguhnya Idul Fitri justru menjadi media manusia untuk melakukan berbagai tindakan yang berlebihan: makan berlebihan, belanja berlebihan, mengeluarkan uang tanpa perhitungan, dan berbagai tindakan berlebihan lainnya. Jika ini yang terjadi maka makna kemenangan tentu kurang tepat.

Menurut beliau, makna Idul Fitri yang pas itu adalah kembali suci. Makna ini menunjukkan bahwa Idul Fitri merupakan bagian penting dari proses manusia yang telah menjalankan ibadah puasa selama sebulan penuh. Puasa sebulan seharusnya mampu menjadikan manusia kembali suci, yaitu manusia yang telah terhapus dosa-dosanya.

Satu hal menarik yang beliau sampaikan berkaitan dengan Idul Fitri yaitu janganlah merayakan Idul Fitri secara berlebihan. Saran ini beliau sampaikan karena banyak masyarakat merasa telah bebas, lepas, dan mendapatkan kemenangan dengan datangnya Idul Fitri. Untuk itu, berbagai perilaku yang sesungguhnya kurang sesuai dengan spirit Idul Fitri justru dilakukan. Pak Quraish menyatakan, ”Janganlah seperti mengurai benang yang ditenun satu persatu dengan pelan-pelan. Puasa ramadhan sebulan diibaratkan perempuan yang membuat kain tenun. Dirajutnya sabar, tawakal, kesederhanaan, kedisiplin, kejujuran, dan berbagai nilai positif lainnya. Semua tenunan akan terurai satu demi satu dengan hilangnya sabar, tawakal, kesederhanaan, kedisiplinan, dan sebagainya pada saat Idul Fitri”.

Menarik sekali merenungkan pendapat pakar tafsir Indonesia tersebut. Perjuangan puasa selama sebulan ibarat merajut benang tenun. Karena itu, janganlah kita mengurainya sendiri. Saat ini semua orang berbondong-bondong menyambut Idul Fitri. Pertanyaan penting yang layak diajukan adalah: Masihkan tersisa kuat ”rajutan” nilai-nilai ramadhan dalam diri kita? Jika memang masih kuat, itulah harapan kita. Tetapi jika telah terurai satu persatu, marilah segera kita perbaiki kembali. Jangan sampai puasa ramadhan selama sebulan penuh yang kita jalani menjadi kehilangan maknanya yang substansial.    

Pandemi memberikan hikmah yang besar kepada kita. Tulisan demi tulisan di buku ini merekamnya dalam berbagai perspektif. Sangat kaya data, makna, dan perspektif. Selamat membaca.

18 komentar:

  1. Mantab sekali. Saya juga punya kenangan lebaran dimasa pandemi covid-19.

    BalasHapus
  2. Pandemi ini memberi hikmahnya kepada kita agar dpt hidup lebih baik lagi
    Semoga kita selalu dalam lindungan Allah SWT aamiin
    Semoga Covid-19 cepat berlalu

    BalasHapus
  3. Banyak hikmah yang dapat dipetik di masa pandemi ini.Thanks pak.

    BalasHapus
  4. Mantab pak dosen. Smg hikmah Ramadhan dan idul Fitri masif membekas dan Pandemi sgr berlalu. Trina kadih pencerahannya

    BalasHapus
  5. Terima kasih sdh mengelola blognya dgn bak. Ayo terus menulis kawan kawan guru Indonesia

    BalasHapus
  6. Semoga yang terurai dapat diperbaiki sehingga akan menjadi tenunan yang indah untuk dipakai

    BalasHapus
  7. Mantab Prof...setiap kejadian pasti ada hikmahnya...

    BalasHapus
  8. Lebaran di saat pandemi memang jd kenangan tersendiri

    BalasHapus

Terima kasih sudah berkenan membaca tulisan ini. Komentar anda sangat saya hargai.