Bagian Pertama
Oleh
Ngainun
Naim
Beberapa hari terakhir saya membuat catatan ’agak serius’, khususnya
berkaitan dengan filsafat. Model catatan semacam ini secara intelektual
memuaskan saya, tetapi sering dikritik teman-teman karena sulit dipahami. Saya
memaklumi kritik tersebut karena dunia filsafat itu memang dunia ide yang
acapkali dinilai rumit, abstrak, tidak mudah dicerna, dan melangit.
Sebagai variasi, kali ini saya menulis persoalan yang ringan, yaitu
berkaitan dengan menulis. Tema tentang menulis juga sudah cukup lama tidak saya
buat. Karena itu, tulisan kali ini menjadi variasi lain yang—semoga—tidak
membuat para sahabat pembaca setia tulisan saya mengernyitkan dahi untuk
memahaminya. Tema yang saya angkat kali ini adalah ”sumber ide”.
Menulis setiap hari tanpa jeda itu bukan pekerjaan mudah bagi saya.
Kesibukan bekerja setiap hari—berangkat sekitar jam 6 pagi dan sampai di rumah
malam hari—benar-benar menyita energi. Saya memanfaatkan waktu di rumah untuk
bercengkerama dengan anak istri.
Kebersamaan dengan keluarga, bagi saya, menjadi sumber energi yang
mendorong saya untuk meniti hidup dengan baik.
Pertanyaan yang sering saya terima berkaitan dengan aktivitas menulis saya
adalah: kapan saya menulis dan darimana sumber ide menulis. Memang, saya nyaris
setiap hari membuat catatan yang kemudian saya up load di FB, blog, twitter, dan beberapa media sosial lainnya.
Saya juga masih menulis artikel untuk jurnal, buku, dan beberapa jenis tulisan
lainnya. Karena itu—semoga ini bukan bagian dari takabbur—saya ingin berbagi cerita berkaitan dengan kedua
pertanyaan yang sering saya terima tersebut.
Pertama, saya tidak memiliki waktu khusus yang saya pergunakan
secara istikomah untuk menulis. Saya menulis pada setiap kesempatan yang memungkinkan.
Tulisan ini, misalnya, saya buat di berbagai kesempatan. Gagasan awalnya sudah
ada di kepala saya beberapa hari lalu. Saya lalu mencatat gagasan ini di HP
agar tidak hilang. Begitu ada kesempatan menulisnya, saya pun mulai menuliskan
judulnya dan membuat paragraf pertama. Karena catatan ini saya buat pada hari
sabtu, peluang menyelesaikannya lebih luas dibandingkan dengan hari-hari lain
saat saya bekerja.
Namun saat baru mendapatkan satu paragraf, kegiatan ini harus terhenti
karena ada kegiatan lain yang harus saya lakukan. Bersama keluarga kami
menghadiri undangan resepsi seorang famili. Pulang acara sudah siang. Saya
tidur siang selama hampir dua jam karena inilah kesempatan mewah yang saya
syukuri sebab tidak setiap hari saya mendapatkannya. Bangun tidur saya tidak
menulis karena listri padam sejak pagi, sedangkan laptop baterai habis. Saya
kemudian berolahraga naik sepeda selama kurang lebih satu jam. Pulang olahraga
saya mandi, dan alhamdulillah, beberapa saat kemudian listrik menyala. Saya pun
melanjutkan membuat catatan ini.
Contoh lainnya adalah tulisan saya yang berjudul ”Mental Proses Iwan Setyawan”.
Tulisan itu saya buat agak cepak. Pagi hari saat menelusuri halaman demi
halaman koran Jawa Pos, saya mendapatkan berita menarik tentang novelis yang
sedang naik daun tersebut. Saya pun segera mengutip beberapa kalimat menarik
dari Iwan. Setelah mengajar, saya mulai menuliskannya. Tetapi belum sampai
selesai, harus terhenti karena kegiatan mengajar pada jam berikutnya. Dan
tulisan baru selesai setelah shalat dhuhur. Jadi, tulisan yang panjangnya hanya
sekitar satu halaman itu saya tulis melalui beberapa kali kesempatan. [Bersambung; Parakan, Sabtu, 1 Juni 2013].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah berkenan membaca tulisan ini. Komentar anda sangat saya hargai.