Jumat, 21 Juni 2013

INTEGRITAS



Oleh Ngainun Naim

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KKBI), integritas berarti keterpaduan; kebulatan; keutuhan; jujur dan dapat dipercaya. Orang yang memiliki integritas akan menjadi teladan bagi orang lain. Mereka memiliki kesatupaduan antara apa yang diucapkan dengan yang dilakukan, antara nilai dengan perilaku, antara yang ideal dengan realitasnya.
Secara sangat mengesankan, Daniel Goleman menyatakan bahwa, ”Integritas—bersikap terbuka, jujur, dan konsisten—ikut mengantar orang menjadi jawara dalam bidang apa pun”. Jawara dalam makna ini, menurut saya, adalah kesuksesan. Karena itu, jika orang ingin sukses maka ia harus memiliki integritas pribadi.
Manusia yang memiliki integritas semakin hari tampaknya semakin berkurang. Lihat saja bagaimana para pemimpin dan tokoh masyarakat sekarang ini justru menunjukkan perilaku yang kurang mencerminkan integritas pribadinya. Sebagai orang penting, pemimpin dan tokoh masyarakat seharusnya mampu menunjukkan integritas pribadinya sehingga menjadi teladan bagi masyarakat luas. Tetapi realitas tampaknya sering kontradiktif dan tidak sesuai dengan harapan.
Banyaknya persoalan di negeri ini disebabkan oleh—salah satunya—faktor kepemimpinan yang kurang memiliki integritas. Jika kita cermati, ada beberapa hal yang dapat dicermati dari potret kepemimpinan yang semacam ini. Pertama, kebijakan pemimpin tidak berorientasi pada bagaimana mensejahterakan rakyat secara optimal, tetapi yang lebih diutamakan adalah image building. Implikasinya, kebijakan yang dibuat lebih bersifat pencitraan dan sarat kepentingan. Model kebijakan semacam ini biasanya bersifat trickle up effect yang menguntungkan kelompok tertentu yang menyokong kekuasaan.
Kedua, pemimpin pro status quo. Inovasi yang signifikan untuk merubah kondisi kehidupan menjadi lebih baik jarang dilakukan. Mereka ragu mengambil kebijakan tegas sehingga berbagai persoalan tidak pernah (di)selesai(kan) secara tuntas. Persoalan hubungan antaragama selalu saja menyisakan agenda dan peluang untuk terulang kembali karena inovasi untuk menyelesaikannya tidak dilakukan secara tuntas.
Ketiga, pemimpin memposisikan rakyat layaknya pemain dalam suatu proses perdagangan. Keputusan yang diambil harus mencerminkan hubungan untung-rugi. Kepekaan yang diasah bukan kepekaan krisis (sense of crisis) dan keprihatinan sosial, melainkan kepekaan pasar (sense of market).
Keempat, pemimpin yang hanya menampilkan silat lidah yang menakjubkan, bukan pemimpin yang mengedepankan mata hati sebagai oase kehidupan. Kita sebenarnya membutuhkan pemimpin altruistik yang bersenyawa dengan denyut nadi rakyat, bukan justru sebaliknya.
Kelima, pemimpin yang tidak mampu memberikan pencerahan bagi perubahan bangsa dan negaranya. Pemimpin semacam ini hanya menjalankan tugas kepemimpinan dengan orientasi yang tidak jelas. Jabatan hanya digunakan sebagai sarana untuk mencapai kepentingan pribadi dan kelompoknya.
Di saat semacam ini, muncul kerinduan terhadap adanya kepemimpinan yang berintegritas. Masyarakat sudah jenuh dengan model pemimpin yang kurang sesuai dengan harapan masyarakat. Dalam bahasa Karen Armstrong, manusia itu selalu merindukan bentuk kepemimpinan yang lebih penuh kasih dan berprinsip.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah berkenan membaca tulisan ini. Komentar anda sangat saya hargai.