Selasa, 17 September 2013

Adakah Pejabat Sekarang yang Mengikuti Jejak Bung Hatta?



Oleh Ngainun Naim
Jumlah pejabat yang berurusan dengan hukum kian hari kian meningkat. Kasus yang menjerat secara umum adalah korupsi. Semakin banyaknya pejabat yang korupsi menunjukkan bahwa mereka sesungguhnya tidak amanah. Mereka tidak menjalankan tugas sebagaimana sumpah jabatan yang mereka ucapkan. Mereka sedang menggerogoti daya tahan tubuh negeri ini. Mereka sesungguhnya sedang mengemudikan negeri ini menuju jurang kehancuran.
Kondisi yang semacam ini mengingatkan saya kepada Bung Hatta. Sosok Wakil Presiden pertama Indonesia ini adalah sosok yang perilaku hidupnya berkebalikan seratus delapan puluh derajat dengan perilaku para pejabat sekarang yang banyak tersandung masalah. Bung Hatta telah meninggalkan kita semua sekitar 33 tahun lalu, tetapi jejak hidup yang ditinggalkannya memiliki relevansi untuk terus disosialisasikan agar para pemimpin menyadari bahwa kepemimpinan itu bukan sarana untuk memperkaya diri sendiri. Memimpin itu sebuah pilihan hidup yang harus dijalankan dengan penuh pengorbanan.
Adakah pejabat sekarang yang mengikuti jejak Bung Hatta? Pertanyaan yang juga menjadi judul tulisan ini berangkat dari harapan saya secara pribadi terhadap para pemimpin sekarang ini. Jujur saja saya tidak memiliki data mengenai para pemimpin sekarang. Apa yang saya tulis ini sekadar sebuah ikhtiar menghadirkan sisi-sisi positif Bung Hatta yang barangkali bisa dijadikan bahan referensi hidup para pemimpin—dan juga calon pemimpin—agar kondisi negara ini semakin hari semakin baik.
Ada beberapa hal yang penting dari sisi hidup Bung Hatta yang layak diteladani. Pertama, rajin membaca. Bung Hatta dikenal sebagai pembaca ulung. Dalam kondisi apapun—saat muda, di penjara, menjadi wakil presiden—beliau selalu menyempatkan diri untuk membaca. Membaca telah menjadi bagian yang tidak bisa dilepaskan dari diri Bung Hatta. Bacaannya yang sangat luas itulah yang menjadikan Bung Hatta sebagai pemimpin yang mampu memahami berbagai persoalan dan memecahkannya secara cermat.
Bagaimana kondisi para pemimpin sekarang ini? Saya hanya berharap agar mereka memiliki tradisi membaca secara baik. Sesibuk apapun mereka masih mau menyempatkan diri untuk membaca. Melalui membaca diharapkan akan tumbuh pengetahuan, pemahaman, dan kesadaran mengenai bagaimana memimpin secara lebih baik.
Kedua, disiplin. Bung Hatta dikenal sebagai orang yang sangat disiplin. Kedisiplinannya bahkan sampai ke level detik. Tidak ada istilah jam karet dalam kamus Bung Hatta. Aktivitasnya dilakukan secara pasti berdasarkan pertimbangan yang matang. Orang yang memiliki janji bertemu dengan Bung Hatta harus datang beberapa menit sebelumnya karena kalau sampai terlambat satu menit saja, Bung Hatta akan menolaknya.
Bagaimana para pemimpin sekarang ini? Saya berharap tradisi jam karet diminimalisir. Sudah bukan rahasia lagi jika para pemimpin sekarang ini jarang yang memiliki kedisiplinan tinggi. Mungkin karena merasa sebagai pejabat atau mungkin ya karena memang tidak memiliki tradisi disiplin.
Ketiga, jujur. Kejujuran yang dimiliki Bung Hatta bahkan sudah mendarahdaging. Ada sebuah pelajaran menarik mengenai bagaimana Bung Hatta teguh dengan kejujurannya. Peristiwa ini terjadi pada tahun 1950-an. Saat itu beliau masih menjabat sebagai wakil presiden. Istri Hatta—Rahmi Hatta—sedang berjuang keras menabung karena berniat untuk membeli sebuah mesin jahit. Belum sampai uang yang ditabung memenuhi jumlah untuk membeli mesin jahit, pemerintah membuat kebijakan pemotongan Oeang Repoeblik Indonesia (ORI). Tentu saja, Rahmi kecewa dengan kebijakan tersebut. Ketika Hatta pulang dari kantor, ia mengeluh, ”Aduh, Ayah... mengapa tidak bilang terlebih dahulu bahwa akan diadakan pemotongan uang? Uang tabungan kita tidak ada gunanya lagi! Untuk membeli mesin jahit sudah tidak bisa lagi, tidak ada harganya lagi.”
Hatta lalu menjawab, ”Yuke (panggilan kesayangan Hatta kepada Rahmi Hatta), seandainya Kak Hatta mengatakan terlebih dahulu kepadamu, nanti pasti hal itu akan disampaikan kepada ibumu. Lalu kalian berdua akan mempersiapkan diri, dan mungkin akan memberi tahu kawan-kawan dekat lainnya. Itu tidak baik! Kepentingan negara tidak ada sangkut-pautnya dengan usaha memupuk kepentingan keluarga. Rahasia negara adalah tetap rahasia. Sungguh pun saya bisa percaya kepadamu, tetapi rahasia ini tidak patut dibocorkan kepada siapa pun. Biarlah kita rugi sedikit, demi kepentingan seluruh negara. Kita coba menabung lagi, ya!”.
Ihwal kejujuran Hatta diakui oleh putrinya, Meutia Hatta. Pengaruh sikap Hatta pada kebiasaan keluarga mereka sangatlah besar. Sampai sekarang, jika salah satu adik Meutia pergi ke luar kota atau ke luar negeri dan Meutia menitip uang untuk membeli sesuatu, maka sang adik yang dititipi akan mencatat dengan teliti; berapa uangnya, kursnya berapa, belanjanya berapa, dan sisanya sampai ke sen-sennya. ”Kami terbiasa jujur, biar pun Rp. 100 akan dikembalikan. Kami menganggap, sesama kakak beradik harus jujur dan adil, karena kita harus bergaul selama seumur hidup. Betapa pun masing-masing itu saudara, itu berbeda. Namun, berkat ajaran ayah dan ibu mengenai kejujuran dan kasih sayang, kami merasakan pentingnya bersatu,” kata Meutia.
Bagaimana kondisi pejabat sekarang ini? Sekarang semua orang tahu bahwa banyak pejabat tidak jujur. Jumlah pejabat yang menjadi tersangka korupsi semakin hari semakin banyak. Ini merupakan kondisi yang memprihatinkan. Semestinya para pejabat itu belajar kepada Bung Hatta mengenai bagaimana menjalankan kepemimpinan dengan penuh kejujuran.
Keempat, tidak korupsi. Ini merupakan bagian dari kejujuran Bung Hatta. Jika mau, Bung Hatta bisa memanfaatkan posisinya untuk mengeruk banyak kekayaan. Tetapi Bung Hatta adalah pemimpin yang teguh memegang prinsip. Uang yang tidak jelas asal-usulnya akan ditolak. Dirayu bagaimana pun pasti gagal. Prinsip itulah yang membuat Bung Hatta dikagumi oleh banyak orang. Secara ekonomi Bung Hatta tidak kaya. Kekayaannya bahkan kalah jauh dengan banyak pejabat sekarang ini. Tetapi nama baik beliau tidak akan terhapus dari ingatan kolektif bangsa ini. Sama dengan pejabat sekarang ini, hanya konteksnya yang berbeda. Jika Bung Hatta diingat kebaikannya, pejabat yang korupsi akan diingat dengan kebejatannya. Terlalu.
Salam Persaudaraan!
Trenggalek, 17 September 2013
Ngainun Naim
www.ngainun-naim.blogspot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah berkenan membaca tulisan ini. Komentar anda sangat saya hargai.